Aku di kenal sebagai gadis tomboy di lingkunganku. Dengan penampilanku yang tidak ada feminimnya dan hobby ku layaknya seperti hobby para lelaki. Teman-teman ku juga kebanyakan lelaki. Aku tak banyak memiliki teman wanita. Hingga sering kali aku di anggap penyuka sesama jenis. Namun aku tidak perduli, semua itu hanya asumsi mereka, yang pasti aku wanita normal pada umumnya.
Dimana suatu hari aku bertemu dengan seorang wanita paruh baya, kami bertemu dalam suatu acara tanpa sengaja dan mengharuskan aku mengantarkannya untuk pulang. Dari pertemuan itu aku semakin dekat dengannya dan menganggap dia sebagai ibuku, apalagi aku tak lagi memiliki seorang ibu. Namun siapa sangka, dia berniat menjodohkan ku dengan putranya yang ternyata satu kampus dengan ku, dan kami beberapa kali bertemu namun tak banyak bicara.
Bagaimana kisah hidupku? yuk ikuti perjalanan hidupku.
Note: hanya karangan author ya, mohon dukungannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Aku, Senja
Namaku Assyifa Senja, orang-orang memanggilku Senja. Nama itu pemberian ayah, yang katanya karena aku lahir saat matahari terbenam. Aku suka namaku, meskipun hidupku tak pernah seindah langit senja.
Aku dikenal sebagai gadis tomboy. Dengan penampilan jauh dari kesan feminin, jeans belel, kaus oversized, dan sneakers yang sudah lusuh. Aku sering dianggap aneh oleh orang-orang di lingkunganku. Perempuan seperti ini? Bukannya terlihat manis atau anggun, aku malah sering dianggap keras kepala, terlalu bebas, bahkan tidak jarang ada yang berbisik bahwa aku penyuka sesama jenis.
“Kalau memang iya, mau apa?” gumamku di depan cermin suatu pagi, mengulang kembali ucapan salah satu teman kampus yang meledek. Sebenarnya aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan, tapi kadang, semua bisikan itu seperti duri kecil yang menancap di hati.
Aku punya alasan kenapa memilih menjadi seperti ini. Aku hidup sendiri, tanpa siapa pun yang bisa kujadikan tempat bersandar. Ayah meninggal karena kecelakaan kerja di pelabuhan, sedangkan ibu pergi menyusulnya setahun kemudian karena kanker yang menggerogoti tubuhnya. Sejak itu, aku belajar mandiri, membiayai hidupku sendiri dari pekerjaan serabutan.
Tapi, hidupku tidak melulu soal kerja keras. Aku punya kafe kecil-kecilan yang kubangun dari tabungan. Kafe itu adalah hasil kerja keras bertahun-tahun, dan aku bangga bisa menciptakan sesuatu dari nol. Selain itu, ada dua hal lain yang selalu membuatku bahagia: membantu anak jalanan dan memberi makan hewan-hewan liar.
Namun, meski aku sering terlihat kuat, aku tetap manusia biasa. Ada saat-saat di mana kesepian begitu menyiksa. Di saat seperti itu, aku selalu berharap ada seseorang yang datang, menepuk bahuku, dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Hari itu, aku tidak tahu bahwa harapan kecil itu akan segera menemukan jalannya.
...***...
Pagi itu, aku mendapat pesan dari seorang teman, Rani. Dia memintaku datang ke acara penggalangan dana untuk anak yatim di masjid dekat kafe. Sejujurnya, aku jarang menghadiri acara seperti ini. Tapi kali ini, ada sesuatu yang membuatku ingin datang.
Saat aku tiba, masjid sudah penuh dengan orang-orang. Aku mengambil tempat di barisan belakang, berusaha tidak menarik perhatian. Tapi, mataku tertuju pada seseorang di sudut ruangan. Seorang wanita paruh baya dengan gamis syar’i berwarna cokelat muda dan cadar hitam.
Dia duduk dengan tenang, sesekali mengangguk saat ada orang yang menyapanya. Wajahnya tidak terlihat, tapi dari sorot matanya, aku bisa merasakan keteduhan yang luar biasa.
Setelah acara selesai, aku melihat wanita itu masih duduk di tempatnya. Orang-orang sudah mulai meninggalkan masjid, tapi dia tampak kebingungan. Aku mendekatinya tanpa alasan yang jelas.
“Assalamu’alaikum,” sapaku.
“Wa’alaikumussalam,” jawabnya, lembut.
“Um… maaf, apa saya bisa membantu?” tanyaku, merasa canggung.
Dia tersenyum di balik cadarnya. “Terima kasih, Nak. Saya sedang menunggu kendaraan, tapi tampaknya taksi yang saya pesan tak kunjung datang.”
Tanpa berpikir panjang, aku menawarkan tumpangan. “Saya bisa mengantar, kalau tidak keberatan.”
Dia tampak ragu sejenak, lalu mengangguk. “Terima kasih. Nama kamu siapa?”
“Senja,” jawabku.
“Nama yang indah. Panggil saja saya Ummi.”
Perjalanan pulang bersama Ummi menjadi awal dari sesuatu yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
...***...
Setelah pertemuan itu, aku mulai sering mengunjungi Ummi. Dia tinggal sendirian di rumah yang tidak terlalu besar, tapi nyaman dan penuh dengan suasana hangat.
Dari obrolan kami, aku tahu bahwa Ummi adalah istri almarhum seorang ustadz yang cukup terkenal. Dia memiliki tiga anak, seorang putri yang sudah menikah, seorang putra yang masih kuliah, dan seorang putri yang sedang belajar di Tarim, Yaman.
“Aku merasa seperti menemukan sosok ibu lagi,” kataku suatu hari, saat kami duduk di beranda rumahnya.
Ummi tersenyum lembut. “Dan aku merasa seperti memiliki seorang putri lagi. Allah selalu punya cara untuk mempertemukan hati-hati yang membutuhkan.”
Sejak itu, aku mulai menganggap Ummi sebagai ibuku sendiri. Dia sering memberiku nasihat, mendengarkan keluh kesahku, dan bahkan membantuku dalam urusan kafe. Tapi, aku tidak tahu bahwa di balik semua itu, dia menyimpan niat lain.
...***...
Suatu hari, Ummi mengajakku bicara serius.
“Senja, bagaimana kalau kamu mengenal anak keduaku?”
Aku mengernyit. “Maksud Ummi?”
“Namanya Galaksi Malik Hadyan. Dia kuliah di kampus yang sama denganmu. Aku ingin kamu dan dia… mencoba saling mengenal.”
Aku terdiam. Dalam benakku, nama itu tidak terdengar asing, tapi aku tidak bisa mengingat di mana aku pernah mendengarnya.
Namun, pertemuan pertama kami tidak berjalan baik. Itu terjadi di kantin kampus, saat aku sedang bertengkar kecil dengan salah satu temanku.
“Hei, jangan asal bicara!” seruku, menunjuk wajah temanku.
Galaksi muncul entah dari mana, menatapku dengan sorot mata dingin. “Bisa tenang sedikit? Ini tempat umum.”
Aku mendengus kesal. “Bukan urusanmu.”
Dia tidak membalas, hanya mengangkat bahu dan pergi.
Aku tidak menyangka bahwa lelaki yang membuatku kesal itu adalah putra Ummi. Sungguh dunia ini kecil sekali, apa yang terjadi jika dia tahu aku sering mampir kerumahnya.
...***...
Hari demi hari, aku dan Galaksi terus bertemu tanpa sengaja. Entah itu di kampus, di kafe, atau di acara-acara sosial. Awalnya, kami tidak pernah berbicara banyak. Aku merasa dia terlalu kaku dan perfeksionis, sementara dia mungkin menganggapku terlalu berisik dan tidak teratur.
Namun, ada sesuatu yang perlahan berubah.
“gue tidak mengerti kenapa lo suka membantu anak jalanan,” katanya suatu hari, saat melihatku membagikan makanan di depan kafe.
“Dan gue tidak mengerti kenapa lo harus mempertanyakannya,” balasku.
Dia terdiam sejenak, lalu berkata, “Mungkin karena gue ingin tahu lebih banyak tentang lo.”
Kata-katanya membuatku terkejut. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatku mulai berpikir, mungkin dia tidak seburuk yang kupikirkan.
Namun, di balik semua itu, ada rahasia besar yang kusimpan rapat-rapat. Rahasia tentang masa laluku, tentang luka yang masih membekas di hatiku. Aku takut, jika Galaksi atau Ummi mengetahuinya, mereka akan melihatku dengan cara yang berbeda.
Tapi, semakin aku mencoba menyembunyikannya, semakin berat rasanya. Aku tahu, jika aku ingin melangkah maju, aku harus menghadapi masa laluku. Tapi, apakah aku cukup kuat untuk melakukannya?
Cerita ini masih panjang, dan perjalananku baru saja dimulai.
...****************...
...To Be Continued...
Assalamualaikum sahabat Salju, aku hadir lagi dengan novel terbaru. Cerita ini berbeda dengan novel yang lain. Yuk simak lanjutannya. Mohon dukungannya ya semuanya dengan like, komen and vote. Happy reading 🤗🤍
apa yg dikatakan Senja benar, Galaksi. jika mmg hanya Senja di hatimu, tidak seharusnya memberi Maya ruang dalam hidupmu. padahal kamu tahu betul, Maya jatuh hati padamu.
Tidak bisa menjaga hati Senja, berarti kesempatan lelaki lain menjaganya. jangan menyesal ketika itu terjadi, Galaksi