Tujuannya untuk membalas dendam sakit hati 7 tahun lalu justru membuat seorang Faza Nawasena terjebak dalam pusara perasaannya sendiri. Belum lagi, perasaan benci yang dibawa Ashana Lazuardi membuat segalanya jadi semakin rumit.
Kesalahpahaman yang belum terpecahkan, membuat hasrat balas dendam Faza semakin menyala. Ashana dan perusahaan ayahnya yang hampir bangkrut, tak memiliki pilihan selain berkata 'ya' pada kesepakatan pernikahan yang menyesakkan itu.
Keduanya seolah berada di dalam lingkaran api, tak peduli ke arah mana mereka berjalan, keduanya akan tetap terbakar.
Antara benci yang mengakar dan cinta yang belum mekar, manakah yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LYTTE 25 — Guest
“Kau mau ke mana, Ashana?” tanya Danendra saat melihat sang putri sudah berpakaian rapi.
Ashana menoleh, menatap sang ayah, Ashana pun tersenyum. “Aku mau bertemu dengan Nayanika, Yah. Kami sudah berjanji akan bertemu untuk mengerjakan tugas,” alibinya dengan gugup.
Danendra bangkit dari duduknya, meraih sebuah amplop coklat yang sudah ia persiapkan sebelumnya lalu menyembunyikannya di belakang tubuh.
“Kau mau menemui pria miskin itu, kan? Kali ini apa yang kau rencanakan, Ashana? Kenapa kau tidak mendengarkan perkataan ayah?” tanya Danendra sedikit kecewa dengan sikap sang putri.
Ashana menggeleng cepat, “Tidak, Ayah. Aku … aku,” kata Ashana gugup. Ia sudah tertangkap basah oleh sang ayah.
“Jangan berbohong lagi, Ashana!” sentak Danendra murka. “Sudah berapa kali kau berbohong pada orang tuamu demi pria miskin itu?” maki Danendra menghina.
“Ayah … namanya Faza, bukan pria miskin.” Ashana masih saja heran kenapa sang ayah tak pernah menyukai Faza. Padahal, Faza adalah pria yang baik, menurut Ashana.
“Terserah apa katamu! Bagiku dia tetap pria miskin yang tak pantas bersanding denganmu!” seru Danendra.
“Ayah!” protes Ashana tak terima Faza terus disebut-sebut sebagai pria miskin.
“Apa lagi yang kau pikirkan sekarang, Ashana? Kau sudah terlalu diperdaya olehnya sampai tak bisa menggunakan akal sehatmu lagi.” Danendra menghela napas panjang.
Ashana tertunduk di hadapan sang ayah dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku mencintainya, Ayah.”
“Cinta? Apakah kau pikir cinta saja sudah cukup membuat hidupmu nyaman? Kau mau tahu apa itu cinta? Lihatlah ini, Ashana.” Danendra mengulurkan amplop coklat itu pada putrinya.
Dengan agak ragu Ashana meraih amplop coklat itu dan membukanya. Matanya terbelalak kaget saat melihat isinya.
Danendra tersenyum kecil saat merasa rencananya berhasil. “Kau sudah tahu sekarang seperti apa pria yang kau cintai itu, kan? Dia hanya mengelabuimu, Nak. Percayalah, Ayah hanya ingin yang terbaik bagimu.”
Menatap beberapa lembar foto itu, Ashana mulai terisak pelan, rasanya sangat sulit percaya bahwa Faza mengkhianatinya di belakang. Mendongak dan menatap nanar sang ayah, Ashana meminta maaf dengan lirih
“Ayah … maaf … maafkan aku!“
Melihat sang putri terisak, Danendra pun meraihnya dalam pelukan. Ia mengusap punggung Ashana dengan lembut dan membiarkan putrinya melampiaskan semua kesedihannya.
“Jangan menangis lagi, Nak. Ayah menyayangimu.”
“Maafkan aku, Ayah. Aku … aku sudah berteriak pada Ayah barusan. Sebenarnya … “ kata Ashana tak melanjutkan ucapannya.
“Sebenarnya apa?” tanya Danendra dengan lebih lembut.
Ashana mengusap pipinya yang basah. “Sebenarnya hari ini aku berencana untuk bertunangan secara diam-diam bersamanya. Aku pikir dengan cara itu, Ayah bisa merestui kami, tapi ternyata ….’” Ashana kembali terisak dalam pelukan Danendra.
Mendengar pengakuan sang putri membuat otot di sekitar leher Danendra mengeras. Tetapi ia bersyukur rencananya berhasil dan putrinya sendirilah yang memutuskan.
***
Ashana termenung di dalam kamarnya, mengingat kembali kepingan kejadian tujuh tahun lalu nyatanya tak bisa membuat suasana hatinya membaik.
Sudah lima hari sejak ia meninggalkan kediaman Nawasena dan kembali ke rumah, tapi tak sekalipun pria itu mencoba menemuinya atau pun menghubunginya. Membuat Ashana semakin kesal dari hari ke hari.
“Apa sih yang kupikirkan? Mana mungkin dia menghubungiku,” lirih Ashana.
Ia merasa jadi perempuan paling merana di dunia. Apakah kehadirannya memang tidak penting bagi Faza?
Saat pikiran-pikiran buruk menghantuinya, Ashana selalu merasa bahwa semesta sedang menghukumnya. Ia pandangi lekat-lekat foto kedua orang tuanya yang berada di dalam bingkai kayu besar.
“Kak, maaf mengganggu.”
Suara Bi Asih dari balik pintu mengalihkan atensi Ashana untuk sesaat. Bergerak membuka pintu, ia lantas bertanya, “Ada apa, Bi?”
“Itu, ada tamu, Kak,” kata Bi Asih memberitahu.
Ashana mengernyit, “Siapa? Bilang saja kalau aku sedang tidur, Bi.”
“Tapi, Kak … katanya sangat penting.”
Siapa sih yang mau menemuiku sore-sore begini? pikir Ashana. Setelah berpikir selama beberapa saat, akhirnya ia memutuskan akan menemui tamu itu.
Ia meminta Bi Asih untuk kembali turun menemui tamu itu, menyediakan teh dan kudapan ringan sementara ia berganti baju.
***
Waaah, siapa tuh yang datang 😮💨