Max Stewart, yang merupakan ketua mafia tidak menyangka, jika niatnya bersembunyi dari kejaran musuh justru membuatnya dipaksa menikah dengan wanita asing malam itu juga.
"Saya cuma punya ini," kata Max, seraya melepaskan cincin dari jarinya yang besar. Kedua mata Arumi terbelalak ketika tau jenis perhiasan yang di jadikan mahar untuknya.
Akankah, Max meninggalkan dunia gelapnya setelah jatuh cinta pada Arumi yang selalu ia sebut wanita ninja itu?
Akankah, Arumi mempertahankan rumah tangganya setelah tau identitas, Max yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chibichibi@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mafia 17
Melihat keadaan Arumi begitu karena ulahnya, Max menjadi tak tega. Di sebabkan rasa bersalahnya, sebuah kata tak biasa pun meluncur dari bibir ketua mafia yang arogan dan kejam itu.
"Maaf."
Mendengar ucapan singka dari, suaminya. Arumi yang menunjuk langsung mendongakkan wajahnya. Terlihat, pipinya basah akibat sakit yang dia rasakan dalam hatinya.
"Aku hanya butuh kamu ... di sini," ungkap Max dengan nada yang lebih rendah, serta sorot mata teduh. Arumi pun membalas tatapan itu, sehingga hatinya kembali bergetar. Ia merasakan perasaan yang lebih kuat dan dalam dari sebelumnya.
"Tapi tadi, Mas terlihat kesakitan. Sehingga Arum takut kalau itu berbahaya," jelas Arumi, menegaskan maksudnya yang tidak bermaksud membantah.
"Tetaplah di sini. Kamu jangan terlalu khawatir. Hal ini biasa terjadi," jelas Max, meyakinkan Arumi.
"Baik lah, Arum tidak akan kemana-mana. Tapi, tangannya jangan banyak bergerak dulu ya, nanti infusannya macet." Arumi melepas cekalan suaminya secara perlahan dan meletakkan tangan itu di atas kasur.
"Bagaimana dengan yang ini? Apa masih terasa sakit?" tanya Arumi lagi, seraya menyentuh pelan lengan Max yang berbalut perban.
"Sudah tidak, hanya kaku saja. Bahkan untuk sekedar menggerakkan jari pun berat." jelas Max, sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari wajah istrinya itu. Saat ini, Arumi mengenakan selembar kain berwarna hijau yang ia dapat dari anak buah Max.
"Kain apa yang kamu gunakan untuk menutupi kepalamu?" tanya Max heran. "Ah, ini entahlah," jawab Arumi, seraya mengalihkan pandangannya. Dia takut dengan cara, Max menatapnya.
"Maaf. Aku telah membawamu ke dalam masalah," lirih Max. Sejak bertemu Arumi, dirinya mudah sekali mengatakan kalimat yang belum pernah ia katakan pada orang lain. Bahkan, Max pantang mengucapkannya.
"Bolehkah, Arum bertanya. Siapa, Mas sebenarnya? Kenapa, Mas sampai memiliki musuh yang seperti itu?" cecar Arumi. Kebetulan, Max membahasnya maka dirinya langsung mengungkapkan apa yang sangat menggangu pikirannya sejak tadi.
"Jika aku beri tau kamu yang sebenarnya, apakah kamu akan membatalkan pernikahan kita?" tanya Max, sehingga kening Arumi berkerut bingung.
"Kenapa, Mas bertanya demikian? Kita sudah berikrar di hadapan Allah dan malaikatnya serta, pakde dan orang-orang kampung. Bahwa kita akan selalu bersama dalam keadaan senang maupun susah. Sejak malam itu, Arumi sudah berjanji dalam hati untuk menerima takdir ini. Dengan kata lain, Arumi sudah siap menerima siapapun, Mas sebenarnya," tutur Arumi panjang lebar.
Max, menghela napasnya seperti kecewa dengan jawaban Arumi. Tapi dirinya kembali yakin, bahwa perempuan seperti Arumi tidak akan kuat lama-lama ada di sisinya. Kehidupannya keras dan penuh pertarungan berdarah.
*
*
Pagi ini, Arumi terlihat tengah memotong buah kiwi dan meletakkan pada piring kecil. Lalu ia kembali duduk di atas brangkar suaminya, mulai menyuapi pria tampan itu tanpa memandangnya.
Arumi saat ini berusaha menetralkan debar jantungnya yang berdetak tak normal sejak tadi. Rasanya malu sekali setiap dia mengingat apa yang sudah dilakukannya semalam.
Tetapi, Arumi melakukannya karena tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Cepat atau lambat dirinya pasti akan melakukannya. Dari pada, Arumi menyerahkan tugas tersebut pada anak buah, Max dan hal itu mendatangkan dosa padanya, lebih baik Arumi bersusah payah menahan rasa malunya.
Arumi berkali-kali mendorong suapan berisi potongan buah pir. Tapi, kenapa pas di tarik garpunya seperti tertahan. Arumi pun memberanikan diri untuk mendongakkan wajahnya.
"Eh!" Arumi terperanjat kaget, lantaran Max menggigit ujung garpu tersebut.
"Garpunya mengenai lidahku!"
"Maaf," lirih, Arumi, meringis penuh penyesalan. "Ah, kenapa sampai melukainya," batin Arumi.
"Ck. Kau ini kenapa?" decak Max gemas sekali. Bagaimana tidak salah tusuk, kalau istrinya terus menunduk seperti itu.
"A-Arum, permisi mau ke toilet dulu," Arumi segera turun dari kasur kemudian meletakkan piring buah ke atas meja.
"Hei, hati-hati!" teriak Max tertahan karena melihat Arumi berlari ketika hendak ke toilet.
"Wanita itu ...." Max gemas sekali akan tingkah laku Arumi sejak semalam. Sayang saja kedua tangannya belum bisa bebas bergerak. "Infus ini menyusahkan saja," omelnya, seorang diri.
BRAK!
Arumi tak kelepasan sehingga menutup pintu kamar mandi dengan cukup keras. Arumi pun memilih bersandar di belakangnya dengan tangan yang memegangi dadanya. Jantungnya berdegup tak beraturan lagi saat ini.
"Kamu ini kenapa sih, Rum?" monolognya,seraya berkali-kali memukuli kepalanya pelan. Ia malu sekali, sangat malu.
"Kenapa sih Arum bisa seagresif itu semalam. Kalau tau begini, lebih baik perawat saja yang mengantarnya ke toilet. Eh, tapi nanti Arumi dosa dong. Aduh, gimana sih?" gumamnya bingung.
Tak lama dirinya keluar dari toilet dan mendapati deringan suara ponsel yang berasal dari atas nakas di samping brangkar.
"Rum, ambilkan ponselku itu dan bawa kesini!" titah Max, yang mau tidak mau selalu menyuruh Arumi sebagai pengganti kedua tangannya dan kakinya. Max, belum bisa bebas bergerak karena luka dalam yang ia terima.
Arumi mendekati suaminya dengan menunduk, sebelumnya dia hanya mengangguk kecil tanpa bersuara. Aura ruangan itu jadi berubah sejak semalam.
Ingin rasanya Arumi bertanya apa yang terjadi karena, raut wajah suaminya berubah semenjak menerima telepon.
"Brengsek! Sial!" umpat, Max dengan rahang saling beradu.
"Astagfirullah, Mas. Kita tidak boleh menggunakan lidah untuk mengumpat. Sebaiknya, Mas mengucapkan istighfar apabila marah atau kecewa," kata Arumi, dengan suaranya yang lembut.
Akan tetapi, Max justru memberi tatapan tajam pada Arumi. Sehingga istrinya itu menghela napasnya. Jika biasanya, Max akan menembak siapapun yang berani memberikan kritikan padanya. Tapi, kali ini ketika kata-kata itu keluar dari bibir Arumi, dia tak bisa berbuat apa-apa. Max, hanya bisa memejamkan kedua matanya demi meredam emosi.
"Perhatikan kondisi, Mas saat ini. Jangan membebani pikiran terlalu berat dulu. Biarlah para anak buah, Mas yang banyak itu mengurusnya," saran Arumi dengan raut penuh kekhawatiran. Dia menyentuh bahu suaminya seraya mengusapnya perlahan. Dia tau bahwa masalah yang dihadapi suaminya pasti berat. Meski pun Arumi belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Namun, dari penjelasan Max semalam, sedikitnya Arumi tau kalau suaminya ini seorang kriminal kelas kakap.
"Apakah dia akan setenang ini jika tau, bahwa dirinyalah sasaran utama dari penyerangan kemarin," batin Max.
Pria itu membuka matanya tatkala merasakan sentuhan hangat di pundaknya.
"Mulai saat ini, kau dalam pengawalan ketat. Jangan sembarangan pergi tanpa penjaga. Ah, tidak. Mulai malam ini kita akan kembali ke mansion dan kamu tidak boleh keluar dari sana apapun yang terjadi!" tegas Max, tak bisa di bantah.
Arumi kaget, sehingga tanpa sadar dia membuka mulutnya tak percaya. Benar juga sih, dia juga takut dan trauma bila berjalan seorang diri sekarang. Bayangan kejadian seram kemarin itu, terus menari di kepalanya. Semoga malam nanti tak ada mimpi buruk lagi.
"Kenapa mereka menginginkan kematianku?" gumam Arumi pelan, akan tetapi masih bisa terdengar jelas oleh Max.
"Karena kamu, kini telah menjadi bagian dari black hawk."