NovelToon NovelToon
Mentari Di Balik Kabut

Mentari Di Balik Kabut

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Dosen / Percintaan Konglomerat / Fantasi Wanita
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: Fika Queen

Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.

Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.

Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.

Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2 Lupa Waktu

Jam makan siang adalah waktu yang dinanti-nanti oleh hampir semua karyawan Wang Corp. Restoran di lantai bawah gedung selalu penuh dengan karyawan yang sibuk mencari energi tambahan untuk melanjutkan hari. Namun, hari ini berbeda bagi Roseane Park.

Ketika jam istirahat tiba, Rose baru saja merapikan dokumen yang selesai ia periksa. Perutnya sudah mulai berkeroncong, dan ia berniat turun ke kafetaria untuk makan siang. Tapi rencana itu langsung buyar ketika Dylan Wang tiba-tiba muncul di mejanya, membawa setumpuk dokumen tebal.

“Ini laporan dari tim pemasaran,” katanya singkat, meletakkannya di meja Rose dengan suara yang datar namun tegas. “Aku butuh analisis lengkapnya sebelum pukul 5 sore.”

Rose menatap dokumen itu dengan mata membelalak. Sebelum pukul 5? pikirnya. Itu hampir mustahil. Tapi Dylan tidak memberinya kesempatan untuk berargumen. Tanpa menunggu jawaban, ia sudah berbalik dan berjalan menuju ruangannya.

Rose mendesah pelan, melirik rekan-rekannya yang mulai bergerak menuju lift untuk makan siang. Dengan berat hati, ia kembali duduk dan mulai membaca dokumen-dokumen itu. “Ini ujian lain, Rose,” gumamnya pada diri sendiri.

Waktu berlalu lebih cepat dari yang ia kira. Ketika jarum jam menunjukkan pukul 4.30 sore, Rose masih tenggelam dalam tumpukan laporan itu. Analisis yang diminta Dylan memerlukan ketelitian tinggi, dan ia enggan memberikan hasil yang setengah matang.

“Rose, kau tidak makan siang?” tanya Liam, rekan magangnya, saat ia lewat di depan meja Rose dengan secangkir kopi di tangan.

Rose menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. “Tidak sempat. Aku harus menyelesaikan ini sebelum jam 5.”

Liam mengernyit, terlihat prihatin. “Pak Bos Dylan yang memberimu pekerjaan itu?”

“Iya,” jawab Rose singkat.

“Yah, sepertinya dia memang suka membuat orang sibuk di luar batas. Tapi kau harus makan. Kalau tidak, bagaimana kau bisa bekerja maksimal?”

Rose hanya tersenyum kecil tanpa menjawab. Ia tahu Liam benar, tapi prioritasnya saat ini adalah menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu.

Ketika akhirnya pukul 5 sore tiba, Rose menyerahkan dokumen yang sudah selesai ke ruangan Dylan. Ia mengetuk pintu dengan ragu, lalu masuk setelah mendengar suara dingin dari dalam.

“Laporannya sudah selesai, Pak,” kata Rose sambil meletakkan dokumen di atas mejanya.

Dylan mengambil dokumen itu tanpa mengucapkan terima kasih atau pujian. Ia membukanya dan membaca sekilas. Rose berdiri di sana, menahan napas, berharap pekerjaannya cukup memuaskan.

“Cukup baik,” kata Dylan akhirnya, meskipun suaranya terdengar lebih seperti pernyataan netral daripada pujian. “Tapi bagian proyeksi penjualan ini kurang detail. Lengkapi dan kirimkan padaku sebelum kau pulang.”

Rose merasa tubuhnya lemas, tapi ia hanya mengangguk. “Baik, Pak.”

Saat ia berbalik untuk keluar, suara Dylan menghentikannya.

“Kau makan siang hari ini?” tanyanya tanpa menatapnya, matanya masih terpaku pada dokumen.

Pertanyaan itu mengejutkan Rose. Ia menggeleng perlahan. “Belum, Pak. Saya terlalu sibuk.”

Dylan akhirnya mendongak, memandangnya dengan alis yang sedikit terangkat. “Tidak makan bukanlah kebiasaan yang baik, Nona Park. Kalau kau jatuh sakit, siapa yang akan menyelesaikan pekerjaanmu?”

Rose hampir tidak percaya dengan nada itu—seperti Dylan sedang memperingatkannya, meskipun dengan cara yang tetap dingin.

“Saya akan makan nanti, Pak,” katanya cepat, merasa sedikit malu.

Dylan mengangguk tipis. “Pastikan itu bukan sekadar janji.”

Pukul 8 malam, Rose akhirnya menyelesaikan pekerjaannya. Semua orang di lantai sudah pulang, kecuali beberapa staf keamanan. Ia mengirimkan laporan terakhir kepada Dylan melalui email dan bersiap membereskan mejanya. Namun, sebelum ia sempat bangkit, suara notifikasi muncul di laptopnya.

Sebuah email masuk dari Dylan Wang.

Rose membaca email itu dengan ekspresi campur aduk. Apakah ini bentuk perhatian? pikirnya. Tapi seperti biasa, Dylan tetap membuatnya terdengar seperti perintah.

Meski begitu, Rose tersenyum kecil. Hari ini mungkin melelahkan, tapi ia tahu ia berhasil melewati ujian lain. Dan, meskipun Dylan tetap sulit dipahami, ia mulai menyadari bahwa pria itu memperhatikannya lebih dari yang terlihat.

Sambil membawa tasnya, ia menuju kafetaria, perutnya akhirnya menang. Di tengah rasa lapar dan lelah, Rose tahu satu hal, ia harus lebih kuat jika ingin bertahan di bawah kendali Dylan Wang.

***

Keesokan harinya, suasana kantor terasa sedikit berbeda. Rose tiba lebih pagi dari biasanya untuk memastikan semuanya siap sebelum Dylan tiba. Namun, ia menyadari ada beberapa tatapan berbeda dari rekan-rekannya. Tatapan yang biasanya penuh keramahan kini berubah menjadi sorot mata penuh kecemburuan dan bisik-bisik yang tak sulit ia tangkap.

“Dia sok sibuk cuma karena bisa dekat dengan bos.”

“Pasti dia main cara licik. Baru kerja sebentar sudah dipercaya.”

“Lihat saja, dia pasti akan kena masalah nanti.”

Rose mencoba mengabaikan komentar-komentar itu, meskipun hatinya sedikit tersengat. Ia tidak pernah meminta perhatian khusus dari Dylan, dan semua yang ia lakukan murni karena tugas. Namun, ia tahu bahwa keberhasilannya mendampingi Dylan dalam rapat kemarin telah menyalakan api iri di hati beberapa orang.

Siang harinya, saat Rose tengah sibuk memeriksa laporan mingguan, tiga rekan kerja yang duduk tak jauh darinya mulai bergerak mencurigakan. Sophie, salah satu staf senior yang terkenal suka mencari perhatian, berjalan mendekati meja Rose dengan senyum yang sulit diterjemahkan.

“Rose, tadi aku dengar tuan Dylan ingin melihat laporan dari divisi kita besok pagi. Aku pikir kamu yang paling cocok untuk menyiapkannya, kan? Kamu kan orang kepercayaan baru dia,” ucap Sophie, suaranya terdengar manis tapi sarat dengan sindiran.

Rose mengerutkan dahi. “Tapi laporan itu biasanya ditangani oleh tim analisis, kan? Aku tidak punya akses ke data lengkapnya.”

“Oh, itu gampang,” Sophie menyela. “Aku bisa mengirimkan datanya malam ini. Tapi pastikan selesai sebelum jam 9 pagi, ya.”

Rose tahu ada sesuatu yang tidak beres, tapi ia tidak punya pilihan selain mengiyakan. Ia tidak ingin dianggap lemah atau tidak mau bekerja sama.

Malam itu, Rose menerima file dari Sophie. Namun, saat ia mulai menganalisis data tersebut, ia menyadari ada sesuatu yang aneh. Data itu tampak tidak lengkap, bahkan beberapa bagian terlihat sengaja dimanipulasi.

Rose langsung merasa curiga. Ia membuka kembali email dari Sophie, tetapi tidak menemukan apa pun yang mencurigakan selain pesan singkat berisi file. Apa ini jebakan? pikir Rose.

Tanpa membuang waktu, ia memutuskan untuk mencari data asli melalui sistem perusahaan, meskipun itu berarti ia harus begadang. Ia tahu risikonya: jika laporan itu salah, ia yang akan dimarahi Dylan.

Pagi harinya, Rose datang dengan mata sedikit lelah tapi penuh tekad. Ia menyerahkan laporan yang telah ia perbaiki kepada Dylan tepat waktu. Pria itu menerima laporan tersebut tanpa banyak komentar, seperti biasanya.

Namun, saat rapat dimulai, ekspresi Dylan berubah. Ia membaca laporan Rose dengan teliti, lalu menatap peserta rapat dengan pandangan tajam.

“Siapa yang menyiapkan data mentah untuk laporan ini?” tanyanya tiba-tiba.

Ruangan menjadi sunyi. Sophie tampak gelisah di tempat duduknya.

“Aku menemukan ketidaksesuaian pada beberapa data awal,” lanjut Dylan, suaranya dingin dan menusuk. “Tapi untungnya, laporan ini sudah dikoreksi dengan baik. Rose, kau melakukan pekerjaan yang bagus.”

Rose tertegun. Itu adalah pertama kalinya Dylan memberinya pujian secara langsung. Namun, ia bisa merasakan tatapan tajam dari Sophie dan beberapa rekan lainnya.

Setelah rapat usai, Dylan memanggil Rose ke ruangannya.

“Lain kali, jika ada yang mencoba menjebakmu seperti ini, beri tahu aku,” katanya tanpa basa-basi.

Rose menatapnya, bingung. “Bagaimana Anda tahu, Pak?”

Dylan hanya tersenyum tipis, tanpa memberikan jawaban pasti. “Fokuslah pada pekerjaanmu, dan biarkan aku yang mengurus sisanya.”

Rose keluar dari ruangan itu dengan hati yang lebih lega. Ia menyadari bahwa meskipun Dylan Wang terkenal dingin, ia adalah seseorang yang selalu memperhatikan setiap detail, termasuk orang-orang yang mencoba menjatuhkan bawahannya.

Hari itu, Rose belajar satu hal penting: ia tidak sendiri dalam menghadapi dunia kerja yang penuh persaingan. Meskipun Dylan Wang adalah bos yang sulit ditebak, ia tahu pria itu akan selalu ada di sisinya untuk memastikan ia tetap berdiri tegak.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!