"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 | Uang Kas
‘Aura, aku mencintaimu. Hanya mencintaimu, apa berat bagimu untuk menerimaku?’
‘Aura, kenapa kamu nggak bisa menerima perasaanku?’
“Ah! Ryan, kenapa kamu malah jatuh pada cewek sialan itu!” Isabella membanting ponselnya dengan geram, suara itu membuat seluruh kantin sejenak terdiam.
Wajahnya memerah karena marah dan matanya penuh emosi yang membara. Ia duduk di meja dekat jendela, ponselnya tergeletak di meja dengan layar yang masih menyala. Sisa-sisa percakapan dari meja sekitarnya seolah teredam oleh kemarahan yang tak bisa ia sembunyikan.
“Aku nggak terima dia jadian sama cewek itu!” Isabella menggeram, suaranya terdengar lebih nyaring dari biasanya. Setiap kata yang keluar seperti tajam, seperti pisau yang menusuk. Ia tak bisa lagi menahan perasaan yang semakin membengkak. Rasanya, semua orang di kantin bisa mendengar kemarahannya.
Vanesa, yang duduk di seberang Isabella, langsung mengerutkan kening, bingung. “Bella, dari mana kamu dapat rekaman itu?” tanyanya, sambil menatap layar ponsel Isabella yang menampilkan video yang jelas membuat temannya marah. “Kok bisa ada video seperti itu?”
Isabella menggeram lagi, tampak terburu-buru dan marah. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri, tapi kemarahan di wajahnya jelas terlihat.
“Ada yang ngirim video ini ke nomorku,” jawabnya dengan nada geram. “Tapi nomor pengirimnya anonim. Aku nggak tahu siapa. Yang pasti, itu dari orang yang ingin menghancurkan semuanya. Aku nggak bisa diam aja.”
Vanesa mengangkat bahu, mencoba menenangkan temannya, meskipun ia sendiri merasa cemas. “Tapi, mungkin itu cuma salah paham. Bisa aja bukan Ryan di video itu.”
Isabella menggelengkan kepala dengan cepat. “Tidak, itu pasti Ryan. Aku kenal suaranya,” ujarnya dengan suara penuh keyakinan. “Aku harus dapatkan Ryan kembali. Cewek itu nggak berhak ada di hidupnya.”
Vanesa menghela napas, merasa cemas dengan sikap Isabella yang semakin terbawa emosi. “Bella, jangan buru-buru ambil keputusan. Kita harus pastikan dulu siapa yang ada di video itu sebelum kamu buat keputusan. Jangan sampai kamu jadi merasa menyesal.”
Isabella menatapnya tajam, namun wajahnya tampak lebih serius daripada sebelumnya. “Ryan itu milikku, Vanesa. Dia udah lama jadi bagian dari hidupku. Nggak ada cewek yang bisa menggantikan aku di hidupnya.”
Kalimat itu keluar dengan nada penuh keyakinan yang menyentuh inti hati Vanesa, namun juga membuatnya merasa cemas. Suasana di kantin yang sebelumnya ramai dengan suara tawa dan percakapan tiba-tiba terasa lebih sunyi, seakan seluruh dunia terhenti mendengar ketegangan di meja Isabella. Beberapa teman sekelas yang duduk di dekat meja mereka mulai menoleh, penasaran dengan apa yang sedang terjadi.
“Jadi, apa yang mau kamu lakukan? Mengunci cewek itu lagi di dalam toilet?” tanya Vanesa.
Isabella menghela napas, menatap layar ponselnya yang masih menunjukkan video itu. “Nanti saja lah aku pikirkan … yuk, balik ke kelas.”
...»»——⍟——««...
Mereka berdua pun beranjak dari kantin, berjalan kembali ke kelas. Sesampainya di kelas, suasana seakan sedikit lebih tenang. Namun, ketegangan tetap terasa di udara. Mereka mendapati Ryan dan aku yang berdiam diri masing-masing di bangku mereka, seolah dunia mereka terpisah jauh dari keramaian kelas.
Isabella, yang merasa suasana itu sedikit membosankan, memutuskan untuk memulai percakapan dengan Ryan. Senyum manis yang dipaksakan menghiasi wajahnya saat dia mendekat ke arah Ryan. Namun, tatapan mata Ryan yang kosong dan tampak jauh membuat hatinya sedikit tersentak.
“Ryan, kamu tadi daftar ekstrakurikuler apa?” tanyanya, berusaha membuka percakapan.
Namun, Ryan hanya terdiam, matanya terpaku pada buku yang dia baca. Isabella merasa sedikit kesal, tapi dia tetap melanjutkan dengan nada menggoda. “Tunggu, biar kutebak. Pasti basket, kan? Cowok populer kayak kamu pasti mainnya basket.”
Ryan tetap tidak mengubah posisinya, hanya fokus pada buku yang ada di tangannya.
“Ryan …” Isabella menggoyangkan pundak Ryan dengan lembut, berusaha menarik perhatian Ryan yang tampak semakin terasing.
“Apaan sih …” Ryan menghindar darinya, terlihat terganggu dengan kehadiran Isabella yang terus mengajaknya bicara.
Isabella tidak menyerah begitu saja. “Aku Cuma mau ngobrol sama kamu, tapi kamu malah cuek aja.”
Dengan sengaja, Isabella duduk di kursi depan Ryan, menatapnya dengan wajah penuh harapan, meskipun hatinya mulai merasakan sesuatu yang tak bisa ia terima.
“Terserah deh,” jawab Ryan singkat, kembali tenggelam dalam bukunya.
Isabella menatapnya dengan penuh rasa kecewa yang sulit disembunyikan. Namun, dia tahu, dia harus melakukan sesuatu agar Ryan mau memberikan perhatian padanya. Dia tak bisa membiarkan semua itu berakhir begitu saja.
“Oh, iya. Hari ini waktunya bayar kas. Kamu nggak lupa narikin anak-anak, kan?” tanya Ryan, dengan nada yang lebih santai, seolah percakapan mereka sebelumnya tidak terjadi.
Isabella merasa sedikit tersinggung, namun dia berusaha menutupi dengan senyuman. “Sudah. Aku sudah suruh mereka semua buat bayar,” jawabnya dengan semangat, merasa sedikit lega karena akhirnya Ryan mulai bicara padanya.
“Sudah dihitung uangnya? Nanti langsung setorkan ke Bu Tiara, ya.” Ryan melanjutkan, tetap fokus dengan buku yang ada di tangannya.
Isabella bergegas kembali ke bangkunya untuk mengambil dompet berisi uang kas itu. Dia merasa sedikit lebih tenang, setidaknya dia bisa menyelesaikan tugasnya sebagai bendahara dengan baik. Namun, ketika membuka dompet, ekspresinya langsung berubah menjadi terkejut.
“Hah! Uangnya hilang!” teriak Isabella panik, matanya membelalak saat melihat dompetnya yang kosong. “Uang kasnya hilang!”
Teriakan itu langsung membuat suasana kelas menjadi kacau. Ryan, Vanesa, dan beberapa teman lainnya yang berada di kelas langsung menoleh, merasa terkejut dengan kejadian mendadak itu. Semua mata kini tertuju pada Isabella yang tampaknya benar-benar cemas.
“Apa? Uang kas hilang?” Vanesa segera berdiri dan berjalan ke arah Isabella, mencoba menenangkan temannya. “Tenang, Bella. Mungkin kamu cuma lupa naruhnya.”
Ryan yang awalnya tidak begitu peduli, kini menurunkan bukunya dan menatap Isabella dengan serius. “Apa kamu yakin hilang, atau kamu cuma salah simpan?” tanya Ryan dengan nada datar.
Isabella mulai panik, keringat dingin mengalir di dahinya. “Aku nggak salah simpan, Ryan! Ini dompetku yang selalu aku bawa. Uang kasnya pasti hilang!”
Wajahnya semakin pucat, ia mulai melangkah mundur, mencoba mencari-cari di tasnya, seolah berharap uang itu akan muncul tiba-tiba.
Vanesa menggelengkan kepala, berusaha lebih rasional. “Jangan langsung panik, Isabella. Mungkin ada orang yang ngambil, atau mungkin ada yang salah simpan. Kita harus cari tau dulu.”
Isabella mendengus kesal, matanya melirik sekeliling kelas yang masih sepi. Semua teman sekelas mereka sedang keluar untuk melihat pameran ekstrakulikuler, kecuali Aura yang terlihat duduk diam di bangkunya. Isabella berjalan mendekat dengan langkah cepat, ekspresinya semakin tegang.
“Kenapa kamu masih di sini, Aura?” tanya Isabella dengan nada sinis. “Semua orang pada keluar, tapi kamu malah sendirian di dalam kelas. Ada apa? Jangan-jangan kamu sengaja nyari kesempatan buat ambil uang kas yang hilang itu?”
...»»——⍟——««...
(✊ cemunguuutt otor..!! selalu kutunggu up'nyaa..)