Bintang panggung dan penulis misterius bertemu dalam pertemuan tak terduga.
Rory Ace Jordan, penyanyi terkenal sekaligus sosok Leader dalam sebuah grup musik, terpikat pada pesona Nayrela Louise, penulis berbakat yang identitasnya tersembunyi. Namun, cinta mereka yang tumbuh subur terancam ketika kebenaran tentang Nayrela terungkap.
Ikuti kisah mereka....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FT.Zira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. LOML 20.
Nayla kembali masuk ke dalam ruang kerjanya dengan segelas air di tangan, duduk bersandar pada kursi sembari memberikan pijatan ringan pada pelipisnya, lalu melirik ke arah jam yang kini sudah menunjukkan pukul dua siang.
Beberapa jam berlalu tanpa ia sadari sejak pertemuannya dengan Rory berakhir, menenggelamkan diri pada naskah yang tengah ia tulis hingga melupakan tidur dengan tujuan agar ia bisa mengirimkan naskah barunya pada asistennya.
Berulang kali Nayla menekan pelipis saat merasakan sakit pada kepalanya, cukup untuk membuat wanita itu beranjak dari duduknya, berniat untuk beristirahat di dalam kamar.
Tepat ketika Nayla bangkit dari duduknya, pandangannya mengabur. Ia mengelengkan kepala, berharap dengan cara itu pandangannya kembali normal, namun pandangannya justru menggelap seketika diikuti dengan kepalanya yang terkulai dan terjatuh di atas meja.
'Pyarr,,,!?!
Suara keras dari gelas pecah terdengar ketika secara tidak sengaja tangan Nayla menyenggol gelas yang berada di atas meja, meninggalkan keheningan bersamaan dengan Nayla yang tak sadarkan diri.
...%%%%%%%%%%...
Rose memeriksa ponsel setelah beberapa menit lalu notif pesan terdengar, lalu memeriksa komputer begitu ia selesai membaca pesan dari Nayla yang mengatakan naskah sudah dikirim.
"Hmmm,,, dia sudah menyelesaikannya," ucap Rose.
"Menyelesaikan apa, Rose?" Adrian bertanya tanpa menambahkan kata 'Nona' setelah bisa menyesuaikan diri salama beberapa hari.
"Naskah baru darinya," jawab Rose.
"Naskah?" ulang Adrian tak percaya.
"Bukankah deadline masih dua minggu lagi?" imbuhnya dengan tatapan terkejut.
"Dia tidak pernah mencapai deadline jika berkaitan dengan karyanya. Bahkan karya untuk dua bulan nanti sudah dia siapkan," jelas Rose.
"Tunggu sebentar, aku akan menghubunginya dulu," imbuhnya.
"Apakah tidak sebaiknya menghubungi Nona Nayla nanti saja?" tanya Adrian.
"Tidak," jawab Rose singkat.
'Kau tidak tahu bagaimana dia, Adrian. Tapi, secepatnya kau juga harus mengetahui semua tentang dia sebelum aku pindah,' lanjutnya dalam hati.
Wajah Rose berubah cemas setelah melakukan beberapa panggilan namun tak kunjung diangkat, dalam benaknya memikirkan satu-satunya kemungkinan yang menjadi penyebab Nayla tidak menerima panggilan darinya. Kebiasaan buruk yang selalu Nayla lakukan.
"Apakah terjadi sesuatu?" Adrian kembali bertanya, melihat kecemasan dari wajah wanita itu.
"Aku berharap tidak ada yang terjadi," jawab Rose mulai gusar.
"Ayolah Nay,,,, Angkat teleponnya!" harap Rose.
"Mungkin Nona sedang istirahat, itulah mengapa dia tidak manjawab panggilanmu," ucap Adrian menenangkan.
"Dia tidak pernah mengabaikan penggilanku ketika dia baru saja mengirimkan naskah," jawab Rose masih dalam usahanya menghubungi Nayla.
"Tidak,,, Tidak,,, Tidak,,, Jangan lagi!" Rose berkata panik.
"Tenanglah! Bukankah biasanya Nona akan menghubungimu setelah tahu kamu menghubunginya?" tanya Adrian tak mengerti dengan sikap wanita di depannya.
"Aku sama sekali tidak bisa tenang jika seperti ini situasinya," jawab Rose cemas.
"Kita kesana sekarang! Kau ikutlah denganku! Tinggalkan dulu pekerjaanmu!" perintah Rose seraya mengambil tasnya dan berjalan cepat meninggalkan ruangan.
Pria itu mengangguk, mengikuti Rose dari belakang dengan berbagai pertanyaan dalam benaknya tentang sikap Rose yang bersikap diluar biasanya. Bahkan, ketika keduanya meninggalkan kantor dengan Adrian yang mengemudikan mobil, kecemasan di wajah wanita itu tidak memudar sedikitpun.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Rose?" Adrian bertanya hati-hati.
"Kau akan tahu nanti, percepat saja mobilnya!" jawab Rose tegas.
Begitu mereka tiba di Apartemen, Rose segera mengeluarkan kunci cadangan Apartemen Nayla dan melangkah cepat menuju ruang kerja Nayla.
Adrian mengikuti Rose menuju sebuah ruangan, melangkah masuk dengan ragu-ragu, namun tubuhnya seketika membeku ketika ia justru dihadapkan dengan Nayla dalam keadaan tidak sadarkan diri dengan posisi duduk dan kapala di atas meja.
"Nay,,, hei,,,Nay,,, sadarlah!" ucap Rose cemas sembari mengguncang pelan bahu Nayla.
Tidak mendapatkan respon apapun, wanita itu menegakkan punggung Nayla, menepuk pipi wanita itu, namun tetap tidak mendapatkan respon apapun.
"Adrian! Bantu aku membawanya ke Rumah sakit!"
Suara keras dari Rose cukup untuk menyadarkan Adrian dari ketertegunannya, membuat pria itu segera menghampiri wanita itu dengan langkah hati-hati ketika menyadari terdapat pecahan gelas di lantai.
'Ya tuhan,,, Nona ringan sekali, apakah Nona baik-baik saja?' ratap Adrian dalam hati.
'Apakah Nona Nayla baik-baik saja?'
Rasa cemas mulai merayap ke dalam hati Adrian ketika pria itu melangkah cepat keluar dari Apartemen dengan Nayla berada dalam gendongannya. Merasakan betapa ringan tubuh wanita itu dengan wajah kian memucat.
Adrian menginjak pedal gas dalam-dalam, mengemudi secepat yang ia bisa sembari menghindari para pengemudi lain hingga mereka tiba di rumah sakit dalam waktu singkat.
Kedatangan mereka segera disambut oleh seorang perawat yang membawa sebuah brankar (tempat tidur dorong), lalu membawa Nayla ke sebuah ruangan khusus yang menjadi tempat di mana Nayla selalu dirawat.
Bahkan Adrian bisa melihat dokter pria segera masuk ke dalam ruang rawat tanpa mengatakan apapun, namun menunjukkan kekhawatiran di wajah dokter itu.
"Bagaimana?"
Rose segera bertanya begitu melihat dokter itu keluar.
"Kenapa sulit sekali memintanya untuk makan dengan benar?" gerutu Dokter itu seraya meletakkan tangan di dahinya.
"Kamu tahu persis bagaimana dia bukan?" jawab Rose lesu.
Dokter itu mendesah panjang, lalu tersenyum pada Rose yang masih menunggu jawaban dari pertanyaan yang dia ajukan.
"Dia baik-baik saja. Kemungkinan dia akan sadar besok. Kamu bisa datang besok siang Rose, atau setelah selesai bekerja," ucap sang Dokter.
"Tapi_,,,"
"Aku yang akan menjaganya di sini. Jam kerjaku selesai sebentar lagi," potong sang Dokter.
Adrian mengamati cara dua orang di depannya berbicara secara bergantian, membuat dirinya menarik kesimpulan bahwa Rose mengenal dokter itu.
"Jadi, Apakah dia yang akan menjaganya setelah ini?" tanya Dokter itu menunjuk Adrian menggunakan dagunya.
"Ya, ku harap," Rose menjawab lirih.
"Bolehkah aku melihatnya?" tanya Rose.
"Tentu, tapi hanya sebentar," jawab Dokter.
"Terima kasih, Chris," ucap Rose.
Dokter yang disebut Chris itu mengangguk, tersenyum singkat pada Adrian sebelum berlalu pergi meninggalkan mereka berdua. Sementara Rose segera masuk ke dalam ruang rawat Nayla diikuti Adrian di belakangnya.
"Kenapa kau suka sekali menakutiku, Nay?"
Rose mendesah pelan, memandang wajah pucat dari wanita yang menjadi sahabatnya, lalu meraih tangan wanita itu sembari memberikan remasan lembut.
"Ada yang harus kau ketahui tentangnya Adrian," Rose berkata lirih.
"Maksudmu?" sambut Adrian.
"Kejadian seperti ini pasti terulang lagi. Dia sangat buruk untuk menjaga dirinya sendiri," Rose menjawab.
"Entah bagaimana aku harus mengatakan ini padamu, tapi aku sangat berharap kamu bisa menggantikan aku untuk menjaganya,"
Adrian menatap Rose dengan sorot bingung. Namun wanita itu justru memberikan isyarat untuk berbicara di luar ruangan.
Mereka kini duduk di kursi yang berada di depan ruang rawat Nayla, terdiam selama beberapa menit sampai Adrian membuka suara setelah menunggu, namun Rose tak kunjung bicara.
"Apa maksudmu mengatakan aku perlu menjaganya? Bukankah dia memiliki seorang kakak? Teman kita di kantor mengatakan padaku Nona Nayla selalu pergi mengunjungi kakaknya setiap kali karyanya selesai diterbitkan atau setiap kali Nona memenangkan penghargaan,"
Rose mengelengkan kepala, menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
"Yang dimaksudkan oleh mereka sebenarnya adalah, dia mengunjungi kakaknya, lebih tepatnya_,,, makam kakaknya," ungkap Rose.
Adrian melebarkan matanya dengan rasa tak percaya atas apa yang baru saja ia dengar.
"Dia tak memiliki siapapun. Keluarga, saudara, tidak ada satupun yang dia miliki. Alasan dia tidak memakai nama asli dalam karyanya, satu kantor yang diminta untuk tidak menyebutkan nama serta karya yang dia tulis diluar kantor, semua berkaitan satu sama lain. Karena itulah syarat yang dia minta dari kantor jika ingin karyanya diterbitkan oleh perusahaan kami," papar Rose.
"Bukankah jika tentang nama, itu kantor yang menentukan?" tanya Adrian tak mengarti.
"Itu berlaku jika dia yang melamar ke kantor. Tetapi, kantor kamilah yang melamarnya, dan dia mengajukan syarat sederhana. Merahasiakan identitasnya," ungkap Rose.
"Nayla kehilangan kakak, satu-satunya keluarga yang dia miliki saat berumur tujuh tahun. Aku mengetahui fakta ini dari seorang penjaga perpustakaan yang mengatahui masa lalu Nayla,"
"Nayla tidak pernah menceritakan apapun tentang masa lalunya pada siapapun, dan aku mengerti mengapa dia melakukan itu setelah aku menyelidiki lebih dalam tentang masa lalunya,"
Adrian terdiam, tidak bisa mengatakan apapun setelah mengetahui fakta yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Dibalik sosok Nayla yang terlihat datar, terkadang dingin, dan selalu tersenyum, ada luka yang teramat dalam.
"Sejujurnya, andai aku bisa, aku tidak ingin pindah. Bahkan suamiku merasa berat untuk pindah. Semua yang sudah dia lakukan untukku dan suamiku tidak terhitung. Kami hanya bisa membalas dengan menjaganya, memberinya kasih sayang layaknya keluarga walau itu tidaklah cukup untuk mengisi ruang kosong yang dia rasakan,"
"Harapanku saat ini hanyalah kamu bisa menjaganya. Hubungi aku kapanpun jika terjadi sesuatu menyangkut Nayla," ucap Rose dengan pengharapan.
"Pasti Rose!" Adrian menjawab cepat.
"Sekarang memang belum, tapi aku akan berusaha untuk lebih mengerti semua tantang Nona,"
Rose mengangguk, memberikan sorot terima kasih tanpa mengucapkannya.
"Jika aku boleh bertanya,apa yang terjadi pada kakak nona Nayla?" tanya Adrian.
Rose terdiam sejenak untuk berpikir. merasa berat untuk menceritakan semua kebenaran pada Adrian.
"Tidak sekarang," ucap Rose mengelengkan kepala, namun cukup membuat pria itu mengerti.
"Aku akan kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaan yang tersisa. Kamu bisa di sini lebih lama dan pulang setelahnya," ucap Adrian lembut.
Rose menoleh dengan gerakan cepat, menatap Adrian dengan sorot ragu.
"Tidak apa-apa, aku bisa menanganinya. Aku tahu kamu masih menghawatirkannya. Akan lebih baik jika kamu menenangkan diri sejenak disaat aku bisa melakukan hal yang bisa aku lakukan," hibur Adrian, lalu tersenyum.
"Terima kasih, Adrian," ucap Rose balas tersenyum.
"Tidak perlu berterima kasih padaku untuk hal seperti ini, lagipula pekerjaan ini akan kulakukan seorang diri setelah kamu pindah nanti," sambut Adrian.
"Aku pergi dulu Rose! Hubungi aku jika terjadi sesuatu!" pinta Adrian, lalu bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan wanita itu seorang diri.
Setelah kepergian Adrian, Rose masuk ke dalam ruang rawat Nayla , lalu duduk disamping tempat wanita itu terbaring.
"Kamu harus baik-baik saja Nay, dan tersenyumlah seperti biasa. Memberiku perintah melakukan semua yang kamu inginkan seperti yang biasa kamu lakukan," Rose berkata lirih sembari meraih tangan Nayla, lalu meremasnya lembut.
"Setiap kali kamu seperti ini, aku tidak akan pernah bosan mengatakan itu padamu," imbuhnya.
Waktu berlalu dengan cepat, senja pun menyapa bersamaan dengan pintu yang terbuka dan Chris melangkah masuk hanya dengan kemeja putih tanpa jas dokternya.
"Kamu belum pulang?" tanya Chris.
"Sebentar lagi," jawab Rose.
"Kamu tidak perlu khawatir Rose. Dia kurang asupan, itu sangat jelas, tapi aku yakin dia lebih baik dari sebelumnya." hibur Chris.
"Aku sangat berharap begitu," jawab Rose.
"Pulanglah! Aku yang akan menjaganya, aku juga tidak pulang malam ini," bujuk Chris.
Rose mengangguk, memandangi wajah Nayla sekali lagi sebelum beranjak dari duduknya
Chris duduk disamping tempat tidur Nayla setelah Rose menutup pintu, menatap wajah Nayla dengan tatapan sedih dan bangga.
"Apa kau tahu, Nick? Adikmu, adik kita, kini menjadi wanita cantik dan kuat. Kau tentu bangga padanya bukan? Sama seperti aku yang bangga padanya," gumam Chris.
"Louise kita telah dewasa,"
Chris berkata lirih, menggenggam tangan Nayla dengan penuh kasih, lalu menopang dagunya menggunakan satu tangan dengan bertumpu pada sisi tempat tidur sampai tanpa ia sadari kedua matanya terpejam.
. . . . .
. . . . .
To be continued....