NovelToon NovelToon
Fading Stitches

Fading Stitches

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Trauma masa lalu / Careerlit
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: AMDee

Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31

"Kejutan!"

Aline melompat kaget ketika James dan teman-temannya muncul dan berteriak dari bawah pintu. Tidak hanya James, Uli, Elin, Stev, Ode, dan Levi juga hadir di depan kamar Aline.

Aline menundukkan kepalanya di hadapan mereka. Ia merasa malu dan menyesal, apalagi setelah melihat penampilan Stev yang tampak lusuh dengan hanya menggunakan setelan kaos oblong berwarna putih dan celana jeans belelnya. Kantung matanya yang menghitam jelas menandakan bahwa Stev begitu kelelahan.

Aline semakin merasa bersalah mengingat apa yang sudah dilakukannya malam tadi pada Stev. Aline tidak bisa membayangkan betapa cemasnya Stev ketika mengetahui bahwa Aline sudah tidak ada di ruang rawat tadi malam.

"Aline, aku kangen banget sama kamu!" Uli yang sejak tadi berdiri di belakang tiba-tiba menggeser tubuh James dan langsung menghambur memeluk Aline. Sikap Uli berhasil memecahkan suasana canggung di antara mereka.

"Pelan-pelan saja, Ul. Kasihan loh, Aline masih kesakitan," Ode mencoba mengingatkan, tapi Uli tidak mau mendengarkannya.

Aline terbatuk-batuk kecil dan meringis kecil.

"Tuh, gara-gara kamu sih," Elin menimpali.

"Aduh, maaf, maaf, Lin," Uli langsung cemas dan memandangi wajah Aline. "Mananya yang sakit?" tanya Uli sembari memegangi keningnya.

Aline tersenyum kecil dan menggeleng. Sejujurnya, dibandingkan rasa sakitnya, ia lebih mencemaskan masalah apa yang ada di depannya saat ini. Tidak heran. Kehadiran mereka yang tiba-tiba membuat Aline bertanya-tanya. Apa yang akan mereka lakukan di tempat ini? Aline takut ia akan mendapat ejekan luar biasa dari Elin dan Uli. Namun, alih-alih sibuk memikirkan hal buruk itu, Aline segera tersadar. Ia tahu bahwa Uli dan Elin tidak akan mungkin melakukan hal buruk padanya. Aline memperhatikan satu per satu wajah tamu-tamunya itu, mereka terlihat cemas sama seperti Aline. Aline tidak ingin membuat mereka bertambah cemas karena itu sambil memamerkan senyum tipisnya, Aline langsung membuka pintu kamarnya lebar-lebar.

"Maaf, tidak seharusnya aku membuat kalian berdiri di sini. Silakan masuk,"

"Wah, masuk kamar Aline. Tentu saja aku mau. Ayo, El, James ..." Ajak Uli sembari menyeret mereka ke dalam ruangan itu.

"Sebentar, ya, aku ambil minuman dulu."

"Eh, nggak usah repot-repot, Lin. Kami nggak akan lama, kok." Ode mencegah Aline yang baru saja melangkahkan kakinya menuju dapur.

"Sama sekali tidak merepotkan, Kak. Kalian semua kan sudah jauh-jauh datang ke sini, masa aku nggak sediakan minum."

"Ya sudah, aku bantu, ya."

"Nggak usah, Kak. Sebentar saja, kok."

"Baiklah."

Mendapat penolakan dari Aline, Ode akhirnya menyerah dan memutuskan untuk duduk di ruang tamu.

Ketiga sahabat Aline begitu terkejut melihat isi rumah gadis itu. Dinding yang dicat putih terlihat kontras dengan furnitur yang mencerminkan gaya retro dan vintage. Semuanya tampak persis seperti ciri khas Aline selama ini.

Uli mendecakkan lidahnya saat melihat beberapa hiasan di dinding dan lemari Aline. Ia memuji mood board yang dibuat entah oleh siapa. Papan itu berisi desain-desain Aline, yang seingat Aline, semua itu sudah ia hancurkan pada malam itu.

"Wah, rumah kamu bagus juga, Lin. Kapan-kapan aku boleh menginap, ya." canda Uli yang langsung mendapatkan protes dari Elin dan James.

Aline tak dapat mengatakan apa-apa, ia hanya tersenyum tipis. Sekilas, Aline melirik Stev yang sibuk memasukkan barang-barang Aline yang sempat tertinggal di rumah sakit, termasuk menata beberapa buket bunga aster, cherry plum, dan honeysuckles di meja ruang tamunya.

Padahal Stev bisa saja meninggalkan bunga-bunga itu di sana, kenapa dia harus repot-repot membawanya?

Begitu Aline melihat nama pengirimnya, Aline pun mengerti mengapa Stev membawa buket bunga itu dari rumah sakit. Rupanya bunga-bunga itu dikirim oleh Margin dan Raga.

Stev yang sedari tadi memasang ekspresi masam kini melangkah dan mendudukkan tubuhnya di sofa—di samping James, Uli dan Elin. Sementara itu, Ode dan Levi duduk di kursi yang terpisah.

"Kak Stev, aku minta maaf soal semalam." Ucap Aline sedikit ragu karena Stev kelihatannya masih marah sekali.

Stev menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak keberatan kalau kamu pulang ke sini. Tapi setidaknya, kamu bicarakan baik-baik dulu. Jangan asal pergi begitu saja. Aku panik tahu."

"Maaf, Kak." Aline menundukkan kepalanya.

Suasana di ruangan itu terasa panas, padahal matahari tidak seterik itu siang ini. Uli mengipasi dirinya dengan telapak tangan. Elin dan James ikut-ikutan. Mereka bertiga sibuk menonton dan mendengar pembicaraan Aline dengan kakak tingkatnya yang selama ini tidak pernah bicara serius.

"Jangan terlalu keras begitu, Stev. Kasihan Aline."

Stev yang mendengar keluh kesah Ode segera meminta maaf. "Semalam kamu pulang sama siapa? Nggak mungkin kan, kamu jalan kaki jauh-jauh ke sini? Aku nggak bawa uang sepeser pun di saku jaketku. Ponsel kamu juga tertinggal di rumah sakit. Bagaimana caranya kamu bisa sampai ke asrama?"

Aline menyentuh belakang telinganya. Wajahnya agak merah. "Soal itu, semalam aku bertemu teman lamaku di jalan."

"Ha? Hebat banget, udah kayak adegan drama TV. Apa aku harus percaya begitu saja?" Stev masih kelihatan kesal. Aline bertambah tidak enak sekarang. Ia hampir kehabisan kata-kata untuk membalas Stev.

Uli tahu kalau Aline merasa bersalah. Ia tidak ingin membuat sahabatnya tambah sedih gara-gara sikap Stev yang terus menginterogasinya.

Tanpa ragu Uli segera menjambak rambut Stev yang kusut. "Kak Stev, berani-beraninya kakak marah sama Aline. Jangan sok senior, deh. Kakak juga kerjanya cuma tidur terus, kan? Waktu Aline pergi saja kakak nggak tahu. Padahal kalian satu ruangan. Terus kenapa sekarang kakak menyalahkan Aline, hah? Siapa yang sebenarnya nggak becus kerja di sini?"

"Astaga. Lev, lihat adikmu, nih. Aduh... Uli lepasin, nggak? Rambutku itu sakral tahu. Aaaaa ... sakit, sakit! Jangan main jambak rambut, dong!" Stev kesal dan terus mengadu pada Levi.

"Minta ampun, enggak?"

Uli menjambak rambut Stev lebih keras. Aline sudah berusaha melerainya, begitu juga dengan Elin dan James yang tampak kesusahan karena Uli menindih tubuh mereka. Namun, Uli tak ingin berhenti begitu saja, ia masih belum puas dan terus menjambak Stev meskipun pria itu sudah merintih kesakitan.

"Uli, sudah, dong. Lepaskan! Kasihan Kak Stev. Ini salah aku."

Uli menatap wajah Aline yang memohon, bibir Uli cemberut, pelan-pelan tangannya diturunkan. "Aku melepaskan Kak Stev hanya karena Aline yang minta."

Stev mendelik.

"Adik kamu ganas banget, sih." sungut Stev sembari mengusap kepalanya yang terasa perih akibat jambakan Uli.

Levi yang biasanya ikut memarahi Uli hanya tertawa kecil.

"Maaf ya, kedatangan kami malah membuat kerusuhan di rumah kamu."

"Tidak apa-apa, Kak. Aku sebenarnya senang melihat kalian lagi." jawab Aline, tersenyum kecil.

Sepasang bola mata Ode tak luput menatap tangan kanan Aline yang masih diperban. Ode menggigit bibirnya, merasakan sesak yang cukup beralasan.

Levi yang memiliki mata setajam elang memandang Ode yang menunduk diam, tangannya segera menggenggam pergelangan tangan Ode, menguatkan gadis itu agar tidak mengatakan sesuatu yang membuat Aline merasa bersalah lagi.

Ode mengembuskan napas. Mengatur emosinya yang kembang-kempis.

Levi bersuara mewakili Ode. "Aku benar-benar meminta maaf atas sikap aku waktu itu. Aku hanya—"

"Tidak apa-apa, Kak. Aku mengerti maksud kakak. Kakak juga pasti ingin menjaga Kak Raga, kan?"

"Eh?"

Ode terbengong. Ia menatap Aline dengan kening yang mengernyit. "Apa maksudnya dengan menjaga Raga?"

"Wah, bakal perang, nih." bisik Elin.

"Perang? Kenapa?" tanya James.

Elin menunjuk dengan mulutnya. "Lihat saja mereka. Rasakan getaran emosinya. Kak Ode pasti cemburu sama Aline."

Uli berdecak pelan. "Enggak mungkin. Kak Ode itu sudah lama tunangan sama Kak Levi." ungkap Uli sembari terkikik.

Elin hampir tak bisa berkedip. Mulutnya terbuka lebar dengan mata yang membelalak. Ia begitu kaget mendengar berita itu. Elin merasa telah ketinggalan berita sepanas ini. Padahal, Uli tahu betul kalau dulu Elin sempat menaruh rasa pada Levi. Bahkan, Elin meminta Uli Untuk menjodohkannya. Tapi, Uli sama sekali tidak pernah bercerita tentang hubungan Ode dan Levi.

"Ini bohong, kan?"

Kekagetan Elin rupanya dirasakan pula oleh James.

"Kamu yang benar, Ul? Mereka tunangan?"

"Kalau kalian tidak percaya mah, cek saja akun instagram mereka." Logat Sunda Uli yang kental pun keluar. Nadanya kedengaran sinis, sama seperti tatapan Ode pada Stev saat ini.

Stev yang duduk di antara mereka hanya melenguh kecil, ia bersandar sambil memijit dahinya dengan tangan kiri.

"Stev sempat bilang apa saja, Al?"

Aline tak segera menjawab, ia melirik Stev sejenak dan berkata. "Kak Stev hanya bercerita tentang masa lalu Kak Raga."

"Masa lalunya?"

Aline mengangguk.

Tangan Ode mengepal. Mata sipit Ode langsung beralih pada Stev yang sibuk menggaruk kepalanya.

"Hei! Kamu bicara apa saja sama Aline?" Ode mulai menatap tajam.

Uli, Elin, dan James jadi terdiam tak berkutik. Mereka sudah paham, biasanya kalau Ode sudah marah, ia pasti akan berubah menjadi beringas.

Tapi hal itu tidak terjadi karena Levi segera memegang tangan Ode. "Pelankan suara kamu. Tenanglah."

Ode mengatur napasnya. "Stev, please! Kamu enggak bilang soal itu, kan?"

"Enggaklah. Aku enggak bilang macam-macam. Cuma mengetes Aline saja, soalnya aku takut Raga ditipu lagi sama cewek."

"Eh? Benar begitu, Al?"

Aline mengangguk. "Makanya, waktu Kak Levi berkata begitu, aku langsung paham. Kalian pasti menganggap aku suka sama Kak Raga dan berniat untuk memanfaatkannya, kan?"

"Pfff!"

Perkataan Aline membuat Ode, Levi dan Stev tertawa tanpa alasan. Dahi Aline mengernyit begitu juga dengan ketiga temannya.

"Apa senior kita sudah gila?" tanya James.

"Ya, sepertinya begitu."

James bergidik melihat sikap mereka. "Sepertinya kita harus segera pergi dari sini, deh. Sebelum kita ketularan gila."

"Kalau kamu mau pulang, pulang saja sendiri." Uli menjulurkan lidahnya. James berdesis.

"Kamu sudah salah paham, Al."

Levi lalu menjelaskan tentang sifat Stev dan persahabatan mereka dengan Raga.

"Lho, jadi semua yang dibilang Kak Stev itu bohong?"

"Yoi." Stev mengedipkan matanya. "Aku ini aktor kelas tiga di klub teater. Jadi, soal tes mengetes sih cukup gampang buat aku. Dan kamu adalah orang yang sangat naif. Kamu mudah tertipu oleh kata-kata aku."

Aline kelihatan kesal. Tadinya ia merasa sangat bersalah pada Stev, tapi kembali lagi—sikap Stev memang seperti itu. Stev adalah makhluk yang menyebalkan. Sekalipun Stev bisa marah, namun pria itu tidak akan pernah berubah. Stev hanyalah makhluk paling mengesalkan yang pernah Aline temui.

"Sudahlah. Aku minta maaf atas segala kesalahpahaman ini. Yah, sebagai sahabatnya Raga, aku juga ingin meluruskan, kalau Raga tidak pernah mengalami kejadian mengerikan seperti itu. Masuk penjara, ditipu cewek, dituduh ini dan itu ... semuanya hanya karangan aku saja. Murni karena aku ingin mengetes kamu layak atau tidak. Maaf, ya." ujar Stev sungguh-sungguh.

Aline menyesal. Seharusnya ia memang tidak usah percaya pada orang ini.

"Ya sudahlah, mau bagaimanapun juga semuanya sudah terlanjur."

Aline berusaha netral. Mereka senang melihat reaksi Aline. Stev memiringkan senyumnya.

"Kami punya sesuatu untuk kamu, Al."

"Eh?"

Levi mengeluarkan kotak kecil berwarna biru gelap. "Ini, tolong kamu terima. Anggap saja ini adalah hadiah dari kami untuk kamu."

"Apa ini?"

"Buka saja."

"Lho, ini kan?" Aline melirik Ode, Stev dan Levi bergiliran. Mereka menganggukkan kepala.

"Itu kunci auditorium. Mulai sekarang kamu resmi menjadi bagian dari kami."

Aline masih bengong menatap kunci dengan kepala mahkota itu.

Tiba-tiba Uli nyeletuk. "Aline dikasih hadiah istimewa, kok kita enggak?"

Levi menyeringai. "Kalau kalian mau dapat hadiah, cobalah untuk melampaui Aline terlebih dulu."

"Hah, dasar Levi pelit!" Uli mengerucutkan bibirnya.

Gelak tawa kembali memenuhi ruangan itu. Sejujurnya Aline senang. Ia tidak pernah berpikir bahwa akhirnya akan menjadi seperti ini. Hari ini, Aline benar-benar merasa seperti terlahir kembali. Tidak ada rasa takut lagi sekarang. Ia benar-benar terbebas dari ikatan masa lalunya.

"O ya, Al. Kami juga punya sesuatu untuk kamu." Elin menyuruh Uli untuk memberikan bingkisan mereka.

"Oh, terima kasih."

Aline membuka kotak pemberian Uli. Namun, alangkah terkejutnya ketika kotak itu terbuka, isinya hanya sebutir strawberry dan sisa-sisa cream di pinggir dusnya saja.

"Ini cupcake-nya hilang ke mana?"

Uli nyengir. "Maaf, maaf. Tadi sewaktu di perjalanan perut aku keroncongan. Aku jadi terpaksa memakannya karena takut cacing-cacing di perut aku malah melilit."

"Astaga, Uli! Itu kan untuk Aline!"

Uli berlari ke luar. Elin dan James mengejarnya karena kesal. Sedangkan Aline tertawa lepas melihat tingkah tiga bocah itu.

Sore hari menjelang magrib, mereka berpamitan. Uli memberikan catatan salinan untuk Aline. Katanya sebagai pengganti cupcake yang sudah ia makan. Elin dan James juga memberi flashdisk berisi hasil presentasi dan video dosen yang diam-diam mereka rekam sewaktu pembelajaran berlangsung. Mereka ingin Aline mempelajarinya dan segera kembali ke kampus.

"Jangan pikirkan masalah lalu, kami akan melindungimu kalau ada yang mengejek usia kamu."

Aline tersenyum.

"Aku akan menantikan kamu, Lin. Rasanya sudah tidak sabar ingin bersaing dengan kamu."

"Nantikanlah. Saat aku kembali, aku akan mengalahkan kamu lagi." sahut Aline. Suaranya terdengar berapi-api.

"Baiklah, sampai jumpa besok."

James, Uli, dan Elin melambaikan tangannya. Mereka pulang dengan mobil James. Sedangkan Ode, Levi dan Stev masih berada di rumah Aline.

"Mereka sudah pulang?"

"Hm."

"Al, bisa kita bicara sebentar?" pinta Ode.

Aline mengangguk cepat. Ia duduk di hadapan Ode dan dua temannya.

"Kalian lama tidak? Kalau lama, aku pulang duluan, deh." Stev beranjak dari kursi. Levi menahannya.

"Tunggu sebentar, kita pulang bareng."

Stev menghela napas, kembali duduk di sebelah Levi sembari memperhatikan Ode dan Aline.

Ode membuka tasnya, mengambil map portofolio berisi lembaran kertas penuh sketsa, lalu menyodorkan selembar kertas berisi poster pengumuman.

"Apa ini?"

"Bacalah! Dan setelah itu kembalilah ke kampus."

"Eh, kompetisi dari Luna?"

Ode mengangguk. "Ini adalah kesempatan untuk kamu. Jika kamu menang, kamu bisa berkolaborasi dengan Luna. Kamu juga akan mengikuti student exchange di sekolah akademi Luna di Tokyo."

"Ini serius, Kak?"

"Ya, itu sudah menjadi keputusan terakhir dari Luna."

"Keputusan terakhir?"

"Benar." Ode menyahut dengan tegas dan dingin. Suara napasnya yang berat terdengar di ruangan itu. "Sebetulnya, aku sangat malu untuk mengatakan ini, tapi aku harus mengakuinya di hadapan kamu."

Aline tambah bingung. Ia mengerutkan dahinya. "Apa maksud Kak Ode?"

Aline bertanya sembari memperhatikan sudut mata Ode yang memerah. Aline tidak mengerti, sebenarnya apa yang membuat Ode tiba-tiba ketus seperti ini.

"Intinya, aku yang sudah mengusulkan semua ini untuk keputusan final kita. Tapi, jika kamu berhenti dan tidak kembali ke kampus, maka kamu akan membunuh aku."

"Eh?"

Stev menatap Aline. Dalam benaknya merasa kasihan namun ia tidak bisa menjelaskan apa-apa.

Levi menghela napas dalam-dalam. "Intinya, Ode sedang merasa terancam. Ibunya mengusulkan Luna untuk menjadikan Ode sebagai muridnya. Namun yang Luna inginkan hanyalah kamu. Luna mengetahui kemampuan kamu. Tapi begitulah—ibunya Ode adalah orang yang sangat ambisius. Beliau akan melakukan banyak cara agar Ode bisa masuk ke sekolah akademi milik Luna. Sedangkan Ode tidak ingin melakukannya. Karena itu, Aline, aku mohon sekali—tolong selamatkan Ode. Kami tahu, luka kamu juga sudah cukup banyak, namun Ode juga sama menderitanya. Tolong bantu Ode untuk menghadapi ibunya. Kamu bisa, kan?" jelas Levi.

Dahi Aline berkerut. "Aku masih tidak mengerti. Apa maksud kalian mengatakan hal seperti ini?"

"Kamu tidak perlu mengerti. Cukup kembali saja ke kampus dan tunjukkan bahwa kamu berhak ada di sana."

"Eh?"

"Maaf, kami permisi dulu."

Levi, Ode dan Stev berdiri. Mereka keluar meninggalkan Aline yang masih kebingungan mencerna kalimat terakhir dari Levi.

Meski mereka telah pergi, Aline masih duduk termenung sembari melihat brosur di tangannya.

"Apa maksudnya?"

1
Ian
kenapa tuh
Ian
Bukan peres kan??
Ian
Bikin geregetan
Ian
/Panic/
Ian
Ikut kemana??!!
Ian
Pikirannya terlalu kolot /Smug/
Ian
Tertusuk
Ian
sending a virtual hug to Aline
Ian
Jadi kepikiran buat nulis ginian juga
Aimee
Terima kasih ya, Kak Eurydice sudah baca dan kasih dukungan di karya ini. Semoga nggak bosan buat terus mengikuti kisahnya Aline. Salam hangat dari Aline. (´∩。• ᵕ •。∩`) (*^3^)/~♡
Aimee
Sayangnya author nggak bisa menggambar, kalau nyomot gambar punya orang nanti kena pelanggaran hak cipta, Kak. Bikin gambar pakai AI aja ada hak ciptanya hiks
Eurydice
suka kesel sama orang yg suka nganggap urusan orang lain tuh enteng
Aimee: Hehe, betul. Aku juga begitu sebenarnya... (╥﹏╥)
total 1 replies
Eurydice
coba ditukar posisinya
Eurydice
gk peka dih
Eurydice
mental alind yg harus diperhatikan/Scream/
Eurydice
🥺😭
Eurydice
hebat bener kebalikannya aline
Eurydice
😭
Eurydice
akhirnya tau kenapa diawal pesimisbgt
Eurydice
dulu aku jga daftar di FD cuma gak keterima
Aimee: Wah, serius, Kak?
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!