Dulu, nilai-nilai Chira sering berada di peringkat terakhir.
Namun, suatu hari, Chira berhasil menyapu bersih semua peringkat pertama.
Orang-orang berkata:
"Nilai Chira yang sekarang masih terlalu rendah untuk menunjukkan betapa hebatnya dia."
Dia adalah mesin pengerjaan soal tanpa perasaan.
Shen Zul, yang biasanya selalu mendominasi di Kota Lin, merasa sedikit frustrasi karena Chira pernah berkata:
"Kakak ini adalah gadis yang tidak akan pernah bisa kau kejar."
Di reuni sekolah beberapa waktu kemudian, seseorang yang nekat bertanya pada Shen Zul setelah mabuk:
"Ipan, apakah kau jatuh cinta pada Chira pada pandangan pertama, atau karena waktu yang membuatmu jatuh hati?"
Shen Zul hanya tersenyum tanpa menjawab. Namun, pikirannya tiba-tiba melayang ke momen pertama kali Chira membuatkan koktail untuknya. Di tengah dentuman musik yang memekakkan telinga, entah kenapa dia mengatakan sesuatu yang Chira tidak bisa dengar dengan jelas:
"Setelah minum minumanmu, aku milikmu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pria Bernada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fitnah
Besok paginya, pas Chira masuk kelas, belum juga nyampe ke pintu, dia udah ngerasa tatapan aneh dari temen-temen sekelas bikin dia mikir buat ngurangin langkah.
Begitu nyampe di mejanya, baru deh dia ngerti kenapa dia jadi pusat perhatian.
Mejanya dicorat-coret pake cat merah, buku-buku di atas meja juga kena percikan. Di atas cat merah itu, ada yang nulis dua kata gede pake tinta hitam: "Cewek Murahan."
Nabila, yang duduk di sebelahnya, keliatan cemas karena mejanya juga kena cipratan cat merah.
Gak heran kalau banyak orang berkerumun.
Chira, walaupun biasanya pendiem, sebenernya orang yang optimis. Ngeliat kejadian ini, dia gak kayak kebanyakan cewek yang bakal nangis, tapi malah senyum.
Orang-orang di sekitar langsung diem, beberapa keliatan ragu, kayak gak tau mesti bantu atau enggak.
"Nabila, lo baik-baik aja kan?" Chira malah mikirin keadaan Nabila, bukannya mejanya sendiri.
"Rara, gimana dong? Meja lo kayak gini, gimana lo mau belajar?" Nabila hampir nangis.
"Gak papa kok," Chira nenangin. "Meja lo aja yang dibersihin dulu."
Sedangkan mejanya sendiri, dia udah gak mau mikirin lagi.
Pas itu, ada yang nanya, “Chira, perlu bantuan gak?”
Chira noleh dan ngeliat seorang cowok tinggi kurus berkulit coklat, ketua kelas mereka, Raya, namanya punya arti dan cita-cita yang jauh ke depan.
Gak ada salahnya nerima bantuan, Chira angguk. "Ketua kelas, bisa bantuin dorong meja ini ke belakang kelas?"
Raya kaget. "Didorong ke belakang?"
Chira angguk lagi. "Iya, cukup dorong ke belakang aja."
“Rara, kenapa lo dorong meja ke belakang? Lo gak mau duduk bareng gw lagi?” Nabila panik, sambil megang pergelangan tangan Chira.
Chira liat sekeliling, ngeliatin temen-temen yang lagi mantengin dia, terus dia bilang ke Nabila, “Bukan gitu, Bila. Lo ikut gw keluar sebentar, ya.”
Nabila bingung, tapi tetep ngikutin Chira keluar kelas.
“Nabila, untuk sementara, lo duduk sendiri dulu ya. Abis gw tau apa yang terjadi, gw bakal jelasin.”
“Rara,” Nabila pegang tangan Chira. “Gw denger mereka bilang lo dapet peringkat satu karena nyontek. Mungkin ini penyebabnya?”
“Siapa yang bilang gitu?” tanya Chira.
“Gw gak tau. Mereka bilang ada yang ngecek catatan nilai lo sebelumnya, katanya nilai lo di SMA Nanshi gak bagus-bagus amat,” Nabila jelasinnya. “Gw juga gak tau siapa yang nyebarin rumor ini. Gimana kalau kita lapor ke wali kelas soal meja lo?”
Chira belum sempet jawab, tapi tiba-tiba dia liat Pak Ajat, wali kelas mereka, lagi jalan ke arah mereka.
"Chira, ikut saya sebentar." Ekspresi Pak Ajat keliatan serius, cukup bikin siapa aja sadar kalau ada yang penting.
Chira pun ikut Pak Ajat. Di ruang guru, ternyata gak cuma wali kelas yang nyariin dia, tapi juga kepala sekolah.
Kesan pertama kepala sekolah tuh pria paruh baya yang gendut dan agak licin. Meski wajahnya keliatan serius, sosoknya bikin Chira keinget guru galak waktu SD.
“Kamu Chira?”
“Iya.” Dia kayaknya udah nebak alasan kepala sekolah nyariin dia.
“Pas lo pindah dari SMA Nanshi, berkas yang lo bawa termasuk catatan nilai,” kepala sekolah langsung to the point, ngeluarin selembar kertas dan naruhnya di meja. “Ada yang mau lo jelasin soal nilai-nilai ini?”
Chira ngeliat sekilas nilai-nilai lamanya yang penuh kenakalan remaja, terus narik pandangannya. Tatapannya ke kepala sekolah tetep tenang, gak ada ragu atau takut.
“Gak ada yang perlu dijelasin.” Nilai itu emang bener, walau sebenernya gak mencerminkan kemampuan dia yang sebenernya.
"Ada yang melaporkan bahwa kamu melakukan kecurangan menyontek dalam ujian bulanan kali ini. Apa tanggapanmu?" Nada kepala sekolah terdengar sedikit agresif.
Mendengar itu, Chira tersenyum tipis. "Hanya karena nilai saya di kelas dua dan hasil ujian ini berbeda jauh?"
Munculnya transkrip nilai ini memang mengejutkannya. Chira sama sekali tidak tahu bahwa pindah sekolah akan disertai dengan lampiran nilai lama. Ia menduga kepala sekolah punya maksud tersembunyi.
"Tak mungkin nilai seseorang melonjak drastis dalam satu liburan musim panas. Sebagai pimpinan kelas tiga, saya harap kamu mau jujur," lanjut kepala sekolah.
Jujur tentang apa? Jujur bahwa dulunya ia memberontak dengan berpura-pura bodoh, padahal punya kemampuan akademis?
Jujur bahwa ia bermain peran sebagai gadis sederhana, namun sebenarnya menguasai pelajaran dengan cemerlang?
Chira merasa ini lucu. Bukan karena ia tidak menghormati pimpinan, tetapi cara tuduhan itu disampaikan seolah menekankan bahwa ia benar-benar bersalah atas kecurangan yang dituduhkan.
"Jadi, maksud Anda, saya harus mengakui bahwa saya menyontek?" Chira bertanya dengan tegas. "Kalau begitu, tolong tunjukkan saya siapa yang saya tiru jawabannya. Ada kamera di ruang ujian, kan? Kalau ada, Anda bisa tunjukkan buktinya pada saya."
"Sikap apa itu?" Kepala sekolah mulai tidak senang. "Coba lihat lembar jawabanmu sendiri."
Biasanya, setelah ujian selesai, lembar jawaban akan dikembalikan kepada siswa. Tapi, karena kali ini lembar jawaban diacak, para ketua kelas harus mengambilnya dari ruang khusus dan mendistribusikannya di kelas masing-masing.
Sayangnya, ada beberapa lembar jawaban yang tidak dikembalikan dengan benar, termasuk lembar jawaban Chira , yang dia sendiri malas mencarinya.
Kini, lembar jawaban itu ada di depannya, dan ia tak bisa menahan senyum.
"Teman yang duduk di depanmu saat ujian adalah siswa dari kelas 1. Kami memeriksa lembar jawaban kalian, dan untuk semua soal pilihan ganda, kalian memiliki kemiripan lebih dari delapan puluh persen. Di soal fisika, bahkan pada soal pilihan ganda yang memiliki beberapa opsi, kalian berdua memilih tiga jawaban yang sama—dan salah."
"Hanya dengan bukti itu?" Jika ia tidak menyaksikannya sendiri, Chira takkan percaya bahwa ada guru yang berasumsi sepihak seperti ini.
"Ruang ujian memang memiliki kamera, dan saya sudah melihat rekamannya." Ekspresi kepala sekolah menjadi lebih serius. Biasanya, tidak ada siswa yang berani bersikap seperti ini padanya.
Chira mendengus. Ia tidak tahu pasti apakah kamera itu aktif atau tidak, tetapi yang pasti, ia tidak menyontek. Ia tidak akan mengakui sesuatu yang tidak pernah ia lakukan.
"Kalau begitu, tunjukkan buktinya pada saya. Putar rekamannya."
"Kamu benar-benar keras kepala." Kepala sekolah membuka komputer di mejanya dan memutar rekaman pendek dari CCTV yang merekam saat ujian berlangsung.
Dalam video itu, terlihat Chira berhenti menulis, menopang dagu dengan tangan, dan menatap ke depan.
Sekitar lima belas menit kemudian, ia kembali menundukkan kepala dan menulis dengan cepat.
Sekilas, tindakan itu memang tampak seperti melihat jawaban teman di depannya lalu buru-buru menuliskannya di lembar jawaban.
Rekaman serupa ditunjukkan dua atau tiga kali oleh kepala sekolah.
Chira menatap kepala sekolah, lalu mengalihkan pandangan pada Pak Ajat, yang wajahnya tampak muram, namun tetap berusaha membantu murid barunya.
“Pak Kepala Sekolah, saya rasa ini pasti hanya sebuah kesalahpahaman,” ujar Pak Ajat.