Ratri Swasti Windrawan, arsitek muda yang tidak ingin terbebani oleh peliknya masalah percintaan. Dia memilih menjalin hubungan tanpa status, dengan para pria yang pernah dekat dengannya.
Namun, ketika kebiasaan itu membawa Ratri pada seorang Sastra Arshaka, semua jadi terasa memusingkan. Pasalnya, Sastra adalah tunangan Eliana, rekan kerja sekaligus sahabat dekat Ratri.
"Hubungan kita bagaikan secangkir kopi. Aku merasakan banyak rasa dalam setiap tegukan. Satu hal yang paling dominan adalah pahit, tetapi aku justru sangat menikmatinya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Tak Bisa Dipahami
“Kamu sungguh keterlaluan. Aku sedang berduka, dan kita membahas masalah seperti ini.”
“Kurasa, ini lebih baik daripada membahas tentang kepergian orang-orang yang kita sayangi,” balas Sastra tenang. “Aku tidak punya niat buruk.”
“Apanya yang tidak punya niat buruk?” protes Ratri. “Kamu akan bertunangan dan menikah dengan Elia. Namun, di sisi lain kamu berpikir ingin menjalin hubungan gelap dengan wanita lain. Ya, ampun. Itu lebih dari sekadar buruk.”
Sastra menggeleng tenang, diiringi embusan napas pelan dan dalam. “Aku hanya butuh penyegaran pikiran. Dalam dua tahun terakhir, Elia mengikatku dengan lembut, tetapi justru terasa begitu kencang.”
“Maksudmu?” Ratri menatap tak mengerti.
Namun, Sastra tidak segera menjelaskan. Pria tampan dengan T-shirt lengan pendek hitam polos itu menatap lurus ke depan. Sorot matanya menerawang jauh, menembus dinding rumah sederhana yang jadi tempat tinggal ayah dan adik semata wayang Ratri.
“Sejujurnya, aku merasa terjebak dan seakan terpenjara dalam hubungan yang kujalani selama ini,” ungkap Sastra, dengan tatapan terus tertuju ke depan.
“Omong kosong macam apa itu? Tidak mungkin bisa bertahan sampai dua tahun, jika kamu merasa tak nyaman. Selama yang kutahu, kamu dan Elia justru selalu mesra, meskipun menjalani hubungan jarak jauh.”
“Jangan tertipu dengan apa yang terlihat di luar.”
Ratri menggeleng pelan. “Termasuk kamu,” ucap wanita muda itu. “Kamu juga penipu.”
Bukannya tersinggung dan marah, Sastra justru menanggapi dengan senyum kalem. “Elia memang terlalu baik untuk pria brengsek sepertiku. Itulah kenapa, aku merasa bagai dipenjara olehnya.”
“Apa yang kamu lakukan selama di Skotlandia? Aku jadi ragu.” Ratri menatap penuh selidik.
Mendengar pertanyaan seperti itu, tak membuat Sastra jadi gugup atau semacamnya. Entah bagaimana, pria tampan berdarah campuran tersebut bisa memiliki bahasa tubuh yang teramat tenang dan elegan, di balik penampilan eksentriknya.
“Aku tidak melakukan apa pun. Aku jadi kekasih yang baik,” ujar Sastra, terdengar meyakinkan.
“Siapa yang akan percaya dengan ucapanmu?” Ratri justru membalas dengan keraguan besar.
Mendengar perkataan wanita muda itu, membuat Sastra kembali tersenyum kalem. “Inilah yang tidak kudapat, dari hubungan yang terjalin selama ini dengan Elia. Dia tidak pernah membantah kata-kataku. Dia tidak peduli apakah aku pria brengsek atau bukan. Elia bahkan seperti menutup mata dan berpura-pura tidak tahu, atau memang benar-benar tak mau peduli. Satu yang pasti, aku merasa hambar dan ….”
Sastra mengembuskan napas berat. “Hambar dan teramat membosankan. Itulah kenapa aku ingin sesuatu yang berbeda. Sedikit bersenang-senang, pertengkaran, kegilaan.”
“Pemikiran yang sangat aneh,” ujar Ratri, setengah mencibir. “Di saat semua pasangan bersyukur karena memiliki hubungan yang aman damai tak ada perselisihan, kamu justru berpikir sebaliknya.”
“Aku hidup, sehat, dan bernapas dengan normal,” ucap Sastra tenang. “Di saat kamu melakukan kesalahan, tetapi selalu dimaafkan tanpa ada teguran tegas atau hukuman yang membuat jera, di saat itulah aku merasa seperti mati,” jelasnya kemudian, diiringi embusan napas pelan dan dalam.
Sastra mengalihkan perhatian kepada Ratri. “Aku tidak tahu kenapa Elia begitu baik. Selama dua tahun menjalin hubungan, hanya sanjungan dan senyum manis yang selalu diperlihatkan di hadapanku. Menurutmu itu sesuatu yang wajar?”
“Kamu hanya mencari alasan dan pembenaran dari kenakalanmu, Sastra.”
“Begitukah?”
“Terserah. Aku tidak memahami jalan pikiranmu. Aku hanya berharap kalian selalu menjaga hubungan dengan baik. Apalagi, jika kamu berencana melamar Elia.”
Setelah berkata demikian, Ratri beranjak dari duduk. Dia meninggalkan Sastra seorang diri di ruang tamu. Ratri tak ingin menanggapi kegilaan pria itu. Dia harus tetap fokus pada tujuan. Terlebih, setelah sang ayah tiada.
“Sha?” panggil Ratri tidak terlalu nyaring, diiringi ketukan pelan di pintu kamar sang adik. Akan tetapi, tak ada jawaban dari dalam sana. Penasaran, Ratri membuka pintu yang ternyata tidak dikunci.
“Asha,” panggil Ratri lagi, seraya mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar berukuran standar itu. Namun, sosok sang adik tidak ada di sana.
Berhubung Asha tak ada di kamarnya, Ratri memutuskan ke kamar mendiang sang ayah. Ternyata, Asha ada di sana. Remaja 19 tahun tersebut sedang duduk termenung di tepian tempat tidur.
“Sha,” panggil Ratri cukup pelan.
Asha segera menyeka air mata, sebelum menoleh sekilas. Asha menunduk, menyembunyikan wajah yang dipenuhi kesedihan mendalam.
“Kakak kira kamu ada di kamar,” ucap Ratri, seraya duduk di sebelah sang adik.
Asha tidak menyahut. Dia juga terus menunduk, seakan tak ingin memperlihatkan kesedihannya di depan Ratri.
Meskipun begitu, Ratri paham betul dan dapat memahami guncangan hebat yang dirasakan Asha. Terlebih, saat melihat sang adik duduk sambil memegang foto mendiang ayah mereka.
Selama ini, Asha lebih dekat dengan Windrawan dibanding Ratri, yang lebih lama hidup merantau. Setelah lulus SMA dan mendapat beasiswa, Ratri melanjutkan kuliah di luar kota. Ternyata, dia kembali mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan di Wina, Austria. Di sanalah, Ratri menggembleng diri, hingga bisa jadi arsitek muda berbakat seperti sekarang.
“Kamu yakin tidak ikut Kakak?” tanya Ratri, membuka perbincangan.
Asha menggeleng pelan.
“Kakak tidak bisa menemanimu di sini ___”
“Aku tahu. Tidak apa-apa,” ucap Asha, menyela kalimat Ratri. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum kembali bicara. “Kalau aku pergi dari sini, siapa yang akan merawat makam papa?”
“Ada Bi Lestari,” sahut Ratri lembut.
Namun, Asha kembali menggeleng sebagai tanda penolakan. “Kasihan Bi Lestari. Beliau sibuk di pasar setiap hari,” ucapnya.
“Tapi ….”
“Jangan khawatir, Kak. Aku bisa menjaga diri. Aku masih ingat dengan semua nasihat papa.”
Ratri tersenyum simpul, seraya mengusap-usap pelan pundak Asha. “Kakak akan bekerja keras dan berusaha jadi yang terbaik untuk kamu. Sebagai pengganti papa dan ….” Ratri seperti sengaja menjeda kalimatnya. Dia tahu Asha tak akan menyukai kelanjutan dari perbincangan itu.
Sesaat kemudian, Ratri berdiri. “Kamu sudah makan belum?” tanyanya.
Asha menggeleng pelan.
“Kakak ke dapur dulu. Siapa tahu, Bi Lestari sudah masak.” Ratri berbalik ke pintu. Namun, setelah keluar dari kamar, dia tak langsung pergi ke dapur. Ratri berdiri sambil bersandar pada dinding selama beberapa saat.
Ratri berusaha mengendalikan gemuruh hebat dalam dada. Sebenarnya, dia sama terluka. Namun, dirinya berusaha terlihat kuat, hanya agar Asha tidak makin terpuruk.
“Neng.” Sapaan lembut Bi Lestari, membuat Ratri tersadar.
Ratri segera menyeka air mata, lalu menoleh.
“Makan dulu,” ucap Bi Lestari lagi, diiringi senyum hangat.
Ratri balas tersenyum, kemudian mengangguk.
“Sebenarnya, Bibi belum sempat masak hari ini. Untung saja, teman Neng Ratri memesan banyak makanan enak.”
Ratri terdiam. Lagi-lagi, Sastra memberikan perhatian lebih.
taukan ela itu pemain drama
apa prama yaa
☹️☹️
betkelas dech pokoknya
" ternyata baru kusadari sirnanya hatimu yg kau simpan untuknya
aku cinta kepadamu,aku rindu dipelukmu
namun ku keliru t'lah membunuh cinta dia dan dirimu... oh...ohh..ohhh"
😅😅😅😘✌
jangan2 emaknya ratri ibu tirinya sastra...