"Hanya satu tahun?" tanya Sean.
"Ya. Kurasa itu sudah cukup," jawab Nadia tersenyum tipis.
"Tapi, walaupun ini cuma pernikahan kontrak aku pengen kamu bersikap selayaknya istri buat aku dan aku akan bersikap selayaknya suami buat kamu," kata Sean memberikan kesepakatan membuat Nadia mengerutkan keningnya bingung.
"Maksud kamu?"
"Maksud aku, sebelum kontrak pernikahan ini berakhir kita harus menjalankan peran masing-masing dengan baik karena setidaknya setelah bercerai kita jadi tau gimana rasanya punya istri atau suami sesungguhnya. Mengerti, sayang!"
Loh, kok jadi kayak gini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sakit
"Gimana?" tanya seseorang dibalik telpon. Nada bicaranya terdengar begitu penasaran. Nadia Sanjaya atau yang lebih akrab disapa Nadia itu bisa membayangkan bagaimana wajah lucu sahabatnya sekarang. Hal itu membuatnya tersenyum simpul.
"Nadia, kamu masih di sana kan?" Baiklah Nadia bisa menebak beberapa saat yang lalu Gina, sahabatnya pasti memeriksa ponselnya takut jika Nadia sudah memutus sambungan telpon itu secara sepihak. Padahal Nadia tidak mungkin melakukannya.
"Ada benjolan lain lagi yang tumbuh," jawab Nadia setelah meloloskan satu helaan napas panjang seiring dengan senyum tipisnya yang memudar.
Gina ikut menghela napas panjang di seberang telpon.
"Ya ampun! Padahal kamu baru aja operasi beberapa bulan yang lalu tapi udah ada yang tumbuh lagi." Tak hanya Gina, Nadia pun menyayangkan hal tersebut. Seakan apa yang sedang dia lakukan itu hanya sia-sia saja. Rasa sakit dan pengorbanannya seakan tidak ada artinya.
"Gina?" panggil Nadia pelan setelah mereka terdiam beberapa saat. Larut dalam pikiran masing-masing.
"Iya, Nad?" sahut Gina.
"Aku ngerasa kalau apa yang terjadi sekarang sama aku itu adalah karma atas apa yang aku lakukan lima tahun lalu," ujar Nadia lirih. Sebenarnya dia ingin melupakan kejadian itu selamanya namun entah kenapa saat penyakit itu menyerangnya, Nadia kembali teringat seakan takdir mengatakan padanya jika dirinya tidak boleh lupa. Dan inilah balasannya.
"Bisa gak kita gak usah mengaitkannya dengan kejadian itu? Memangnya kamu salah apa? Kamu itu gak salah, Nadia," kata Gina penuh penekanan di setiap katanya.
Nadia sudah menduga jika jawaban Gina pasti akan seperti itu. Bahkan sejak dulu Gina selalu berkata demikian. Jika apa yang terjadi itu bukan salah Nadia. Lalu salah siapa? Semua orang juga tahu jika itu salah Nadia. Bahkan Tuhan juga. Lihat! Sekarang Dia menghukum Nadia, bukan?
"Gimana kalau kamu ngikutin saran dokter aja?" tanya Gina kemudian mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin mendengar Nadia bicara yang tidak-tidak lagi.
Nadia mengernyitkan keningnya. "Maksud kamu tentang menikah dan punya anak?"
"Iya. Bukannya itu cara paling efektif untuk menekan pertumbuhannya? Bahkan kamu bisa sembuh total, loh, Nadia."
Itu memang benar. Sebelum menjalani operasi pertama pun, dokter yang merawatnya sudah menyarankan hal tersebut. Namun Nadia menolaknya. Dia berpikir dengan operasi dia bisa sembuh. Sayangnya kenyataan menamparnya. Sebagai seorang dokter juga Nadia sangat tahu hal itu.
"Tapi aku gak mau menikah, Gina." Nadia menekankan kembali prinsip hidupnya pada sang sahabat.
"Aku tahu. Tapi keadaan kamu sekarang gak membiarkan kamu buat lanjutin prinsip itu." Kata-kata yang cukup menohok. Nadia pun sukses terdiam.
"Pikirin lagi deh. Kalau kamu setuju aku bakalan ngasih tau suamiku dan dia bakalan ngenalin kamu sama dia." Sejak Gina tahu jika dokter menyarankan Nadia untuk menikah dan punya anak agar bisa sembuh, dia sudah memberitahu sahabatnya itu jika Tama, suaminya, punya kenalan yang juga kebetulan sedang mencari calon istri. Namun Nadia selalu saja menolak dengan dalih jika operasi bisa membuatnya sembuh. Tapi, lihat sekarang. Tidak ada yang berubah. Penyakit itu tetap datang.
Sungguh Nadia masih ragu untuk setuju. Seperti kata Gina. Dia harus memikirkannya terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. Dan Nadia butuh waktu sekitar tiga hari untuk mengiyakan hal tersebut. Itupun dengan sebuah syarat.
"Oke. Aku mau ketemu sama dia tapi kalau seandainya kami gak cocok, biarin aku menganggap jika penyakit ini adalah karma untuk menebus kesalahanku. Oke?" ujar Nadia. Dan entah kenapa dia berharap Gina akan menolak syarat tersebut.
"Oke!" Ironisnya Gina justru langsung mengiyakan persyaratan yang diajukan Nadia. Wanita itu sampai heran sendiri. Gina seakan begitu yakin jika Nadia akan setuju menikah dengan pria yang akan dikenalkannya dan bukannya mati karena penyakitnya.
Tama, suami Gina yang mengatur pertemuan mereka. Dia sudah menelpon Nadia jika besok pria itu akan datang ke Alatha dan menemuinya.
Tidak. Nadia tidak sespesial itu sampai pria tersebut datang khusus untuknya. Awalnya Nadia berpikir demikian namun Tama mematahkan pikiran itu dengan mengatakan jika pria itu juga datang karena mengurus bisnisnya di Alatha.
Ingat, Nadia! Kamu tidak boleh terlalu percaya diri karena hal itu bisa membuatmu kecewa dan kamu tidak mau kan kecewa lagi?
Saat ini mereka memang sedang berjauhan. Maksudnya antara Nadia dan Gina. Antar kota. Nadia dan Gina dulu tinggal bersama di Alatha namun setelah menikah dengan Tama wanita itu harus ikut tinggal dengan suaminya di Eligra, kota yang berbeda dengan Nadia. Meski demikian mereka masih tetap saling menghubungi. Buktinya Gina lebih tahu bagaimana keadaan Nadia daripada keluarganya sendiri yang tinggal satu kota dengannya. Sejak punya klinik sendiri Nadia lebih memilih hidup sendiri. Meski itu sangat ditentang oleh kedua kakak laki-laki dan ibunya. Soal ayah, nanti Nadia akan beritahukan pada kalian seiring cerita.
Kembali ke keadaan sekarang dimana Nadia sudah menunggu pria yang akan ditemuinya di sebuah restoran yang cukup terkenal di kota tersebut.
Nadia melirik ke arah jam yang melingkar dengan sempurna di tangannya. Jika pria itu tepat waktu maka dia akan datang lima menit lagi.
Dan benar saja, lima menit kemudian seorang pria dengan kemeja satin putih yang dipadukan dengan celana hitam menghampirinya.
"Selamat malam. Dengan Nadia?" sapanya lebih dulu lalu bertanya memastikan jika dia adalah sosok yang akan ditemuinya malam ini.
"Malam. Ya benar. Anda Sean?" timpal Nadia tersenyum tipis lalu bertanya juga.
"Benar sekali," jawabnya kemudian duduk di depan wanita itu. Nadia memperhatikan pria bernama Sean itu--ya, hanya itu yang Nadia tahu selebihnya Tama mengatakan jika Nadia harus mencari tahu sendiri--dari ujung kaki hingga ujung rambut. Dia tampak berwibawa, berkelas, sopan dan tentunya tampan.
Entah kenapa Nadia merasa diejek. Pria seperti di depannya ini tidak mungkin sulit menemukan wanita yang bisa dia jadikan pasangan. Lalu bagaimana bisa dia setuju bertemu dengan Nadia? Atau tepatnya kenapa dia setuju kencan buta dengan wanita yang tidak dia kenali?
Aneh sekali. Nadia merasa jika pria itu mencari calon istri bukan hanya karena ingin menikah semata namun karena ada tujuan lain. Tapi, bukankah itu bagus? Sebab Nadia pun demikian. Dia mau menerima tawaran sahabatnya berharap mereka cocok dan bisa menikah. Meski Nadia sendiri belum terlalu yakin.
"Kita pesan makanan dulu ya?" Nadia baru akan angkat bicara namun Sean sudah lebih dulu menyelanya. "Jujur aku udah lapar banget," ujarnya tersenyum hangat sedikit tersipu malu. Dan sepertinya senyuman itu menular pada Nadia. Buktinya wanita itu ikut tersenyum lalu mengangguk.
"Oke," jawabnya singkat.