SEKUEL dari Novel ENGKAU MILIKKU
Biar nyambung saat baca novel ini dan nggak bingung, baca dulu season 1 nya dan part khusus Fian Aznand.
Season 1 : Engkau Milikku
Lanjutan dari tokoh Fian : Satu Cinta Untuk Dua Wanita
Gadis manis yang memiliki riwayat penyakit leukemia, dia begitu manja dan polos. Mafia adalah satu kata yang sangat gadis itu takuti, karena baginya kehidupan seorang mafia sangatlah mengerikan, dia dibesarkan dengan kelembutan dan kasih sayang dan mustahil baginya akan hidup dalam dunia penuh dengan kekerasan.
Bagaimana jadinya ketika gadis itu menjadi incaran sang mafia? Sejauh mana seorang pemimpin mafia dari organisasi terbesar mengubah sang gadis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menghajar Penguntit
Suara tembakan menggema di ruangan besar bernuansa putih itu, peluru bahkan merusak properti yang ada di sana. Begitu banyak anak buah musuh yang harus ditumpas oleh Haven, pria berusia 28 tahun yang merupakan bos mafia di Italia, organisasi miliknya bernama Titan Tribe. Dia memiliki nama lengkap Haven Arthur Leister, yang memiliki bisnis gelap di berbagai penjuru dunia, seorang pengusaha muda yang sukses, Haven memiliki sikap yang kejam dan mematikan, dia tidak pernah menaruh rasa belas kasih pada siapapun yang menjadi musuhnya.
Malam itu Haven terdesak, karena orang kepercayaannya ternyata mengkhianati dia sehingga musuh-musuhnya dengan mudah menyerang markas utamanya.
Semua penjaga dan anak buah yang berjaga di markas itu tak bisa dipercaya karena mereka semua kompak untuk menghabisi Haven malam itu.
Namun tuhan masih berpihak padanya, tak lama pasukan dari organisasi besar dari Amerika datang membantu Haven. Mereka mengalahkan semua orang yang telah mengkhianati Haven malam itu dan akhirnya kemenangan berada di pihak Haven dan penyelamatnya.
“Apa aku datang terlambat?” tanya Zain pada Haven.
“Ya paling tidak kau datang sebelum ujung pedang bajingan itu menembus leherku.”
Zain membantu Haven untuk berdiri, malam itu sangatlah panjang untuk Haven, beruntungnya Zain dan pasukannya datang menyelamatkan dia.
“Darimana kau tau kalau aku sedang di serang?”
“Dari panggilanmu waktu itu.” Haven mengerinyitkan dahinya menatap Zain.
“Apa maksudmu?”
“Saat kita sedang bicara di telfon dan kau pamit untuk mengambil berkas penting, aku mendengar orang kepercayaanmu tengah bicara entah dengan siapa, aku yakin jika dia sedang dihubungi oleh seseorang dan aku mendengar semua perkataannya.” Haven tertawa sambil sedikit meringis saat Zain mengobati luka di wajahnya.
“Sialan kau Zain, kenapa kau tidak memberitahu aku saat itu, aku pasti akan membunuh mereka semua.”
“Aku hanya ingin melihat seberapa kuat kau.”
Mereka berdua kembali tertawa, Haven dan Zain kini menuju ke mansion milik Haven yang berada di pusat kota Italia. Mansion besar dan super mewah yang dijaga oleh beberapa orang penjaga, jika ada yang berusaha menyusup ke sana, sudah dipastikan kalau mereka semua akan menghabisi, tak peduli itu siapa.
Haven membersihkan dirinya lalu kembali duduk bersama dengan Zain yang jauh-jauh datang untuk menemui dan membantunya.
“Aku yakin kalau kau ke sini bukan hanya untuk membantuku Zain, kau bisa saja mengirimkan anak buahmu tanpa kau harus datang langsung membantuku.” Zain hanya menaikkan bahunya lalu meminum wine yang di sediakan oleh Haven.
“Aku ke sini itu memang bukan berniat untuk membantumu, hanya saja itu si Zoya mau main ke Italia, udah lama dia nggak main ke negara ini, karena papa sibuk dan Zeline masih sekolah nggak bisa ditinggal oleh mama, makanya aku dan Zay yang menemani Zoya liburan ke sini.” Haven tersenyum saat Zain menyebutkan nama Zoya.
“Ya memang cukup lama Zoya tidak ke Italia, mungkin ada sepuluh tahun ini.”
“Iya, makanya dia ngotot mau liburan ke sini, kau kan tau sendiri kalau Zoya itu paling manja dari Zeline.”
“Apa kau masih menyukai Zoya?” tanya Haven pada Zain, Zain malah tertawa.
“Entahlah, sampai detik ini aku masih tidak bisa mencerna, kenapa tuhan malah memberikan rasa cinta di hatiku untuk Zoya, awalnya aku hanya mengira hal ini biasa karena aku sangat menyayangi Zoya dan aku pikir ini hanya sebatas saudara kembar saja. Namun makin lama, rasa itu tumbuh dan itu memang bukan karena dia saudaraku, tapi memang aku mencintainya seperti seorang kekasih.”
“Gila kau Zain, jika sampai kedua orang tuamu dan saudaramu yang lain tau akan hal ini, bisa di usir kau dari rumah.”
“Haha ya ya aku tau itu, mau bagaimana lagi, memang ada yang bisa mengatur hati?”
“Terserah kau sajalah. Sekarang Zoya dimana?”
“Di apartemen papa, seharian tadi aku dan Zay menemani dia jalan-jalan, mungkin sekarang sedang tidur.” kata Zain yang melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 12 malam.
“Dia sendiri di apartemen?”
“Ada Zay di sana, mana mau Zoya ditinggal sendirian, dia itu penakut.”
Tak lama ponsel Zain berdering, ada panggilan dari seseorang yang langsung dia angkat, wajah Zain langsung berubah tegang dan cemas.
“Kenapa?” tanya Haven pada Zain ketika panggilan itu berakhir.
“Zoya nangis sendirian di apartemen, aku pulang dulu ya, terima kasih minumannya.”
“Bukannya dia bersama Zay.”
“Sialan itu keluar saat Zoya tidur tadi.”
“Kemana dia?”
“Balapan.”
Zain bergegas menuju apartemen nya dan menemui Zoya yang saat ini sedang meringkuk di atas kasur dengan mata sembab dan tubuh gemetaran.
Zoya langsung bangun dan memeluk Zain, seketika tangisnya pecah dalam pelukan saudara kembarnya itu.
“Udah tenang, jangan takut lagi, aku di sini.” ujar Zain menenangkan Zoya.
“Lain kali kalau mau pergi, bawa aku Zain, aku takut sendiri.” rengek Zoya pada Zain.
“Iya maaf ya, tadi aku ada urusan sebentar, karena tadi Zay ada dan dia bilang tidak akan kemana-mana makanya aku pergi.”
Zain menangkup wajah bening Zoya lalu menatap dengan penuh emosi.
“Apa yang terjadi? Kenapa wajahmu lebam begini Zee?” Zoya langsung menyembunyikan lebam di dekat rahangnya dengan rambut panjang miliknya itu.
“Bukan apa-apa Zain, tadi aku tidak sengaja jatuh di kamar mandi.”
“Jangan bohong Zee, aku tau kalau lebam itu karena sebuah pukulan, siapa yang memukulmu?”
“Aku tidak tau Zain.”
“Apa maksudmu tidak tau?”
“Tadi itu aku sedang tidur, lalu aku dengar suara aktivitas di luar kamar, aku pikir itu kamu dan Zay. Aku lanjut tidur, tak lama pintu kamar diketuk dan aku tanpa rasa curiga langsung membukakan pintu, ternyata mereka itu penguntit, mereka mencoba untuk menyentuhku tapi aku melawan dan mereka memukulku.”
“Mereka siapa? Berapa orang mereka datang?”
“Aku tidak tau, wajah mereka tertutup topeng, mereka bilang kalau mereka sudah menguntitku semenjak aku tiba di sini tiga hari yang lalu, yang aku tau mereka empat orang Zain.” Zain mengepalkan tangannya membentuk sebuah tinju mendengarkan cerita dari Zoya.
“Lalu apa yang mereka lakukan padamu?”
“Mereka mencoba untuk menyentuhku saja lalu aku melawan dan mereka emosi lalu memukulku hingga aku pingsan dan Zay datang menolongku tepat waktu.”
“Sekarang Zay dimana?”
“Tadi dia bilang mau keluar cari makanan, soalnya saat sadar tadi aku memang lapar Zain.” Zain membawa Zoya dalam pelukannya, dia sangat tahu bahwa Zay bukan keluar hanya untuk mencari makanan saja tapi dia memburu orang yang sudah melukai Zoya.
“Sekarang kamu masih lapar? Aku buatkan makanan ya.”
“Nggak ada bahan makanan di dapur, kalau ada, aku sudah masak dari tadi.”
“Kalau begitu mending kita keluar saja, masih banyak yang jual makanan di luar.”
“Nggak mau ah, aku takut.”
“Aku ada Zee.”
“Iya tapi aku nggak mau, tunggu aja Zay balik.” Zain pasrah, dia menuruti kemauan Zoya.
...***...
Zay datang seorang diri ke markas empat pria yang hampir menodai saudarinya tadi, Zay datang ke sana dengan tangan kosong lalu santai melangkah mendekati mereka. Ternyata, mereka itu hanya berandalan liar yang hanya tidur di lorong-lorong bangunan.
Sebenarnya mereka ramai, namun Zay dengan mudah melukai mereka yang membuat keempat pria itu merinding ketakutan.
“Maafkan kami, sebenarnya kami begitu tertarik dengan kecantikan adikmu, tolong maafkan kami, bukankah di apartemen tadi kau sudah memaafkan kami.”
“Iya, aku tidak memukul kalian karena saudariku itu sangat takut dengan kekerasan, makanya aku biarkan kalian pergi dengan mudah.” balas Zay dengan santai, mereka semakin ketakutan karena tidak ada rasa takut sama sekali yang terpancar di mata Zay saat ini.
Mereka berempat langsung bersujud di kaki Zay untuk meminta ampunan, Zay hanya menatap mereka dengan santai dan sedikit senyum di wajah tampannya.
“Sebenarnya jika kalian hanya mencuri di apartemenku ya tidak masalah, mungkin aku akan memberikan kalian uang juga.” Zay menghela napasnya lalu wajah itu berubah jadi bengis dan mematikan, tatapannya tajam.
“Tapi kalian sudah menyentuh adikku, aku tidak mentoleransi apapun jika menyangkut adikku.”
BUGH!! BUGH!! BUGH!!
Hantaman serta pukulan dilayangkan oleh Zay pada mereka berempat hingga mereka semua tak bernyawa lagi hanya dengan pukulan Zay saja.
Zay meludahi keempat manusia yang sudah tidak bernyawa itu lalu pergi meninggalkan tempat kumuh tersebut.
Zoya sudah tertidur sambil memeluk kaki Zain, Zain saat ini sedang menonton televisi di kamar Zoya, sedari tadi Zoya sudah mengeluh karena lapar.
“Zee, maaf aku telaa...”
“Shhtt.”
Zay memelankan langkahnya dan mendekati Zain dan Zoya.
“Apa mereka kau bunuh atau kau buat cacat?” tanya Zain langsung karena dia sangat tahu bagaimana Zay jika sudah menyangkut keluarganya.
“Aku hanya membantu mereka untuk menghadap tuhan.” Zain tertawa mendengar ucapan santai dari Zay.
“Kau sendiri bagaimana? Apa misimu menyelamatkan Haven berhasil?”
“Ya aku datang saat pedang tajam itu hampir memutus kepala si Haven.”
“Telat sekali kau, aku hanya ingin memperingatkan kau, jangan sampai keluarga kita tau kalau kau itu seorang pemimpin mafia, mengerti, jika mama sampai tau, bisa jantungan dia.”
“Iya Zay, kau tidak perlu mengulang kata itu terus padaku, sekarang tugasmu membangunkan Zoya, dia sudah kelaparan dari tadi.” Zay mendekati Zoya lalu membangunkan adiknya itu.
“Lama sekali kamu Zay, aku sudah laoar dari tadi.” Gerutu Zoya ketika bangun.
“Ya maaf Zee, aku tadi keliling-keliling nyari yang jual makanan, untung dapat.”
Mereka bertiga berjalan ke arah dapur, Zoya menyantap makanan dengan lahap lalu memakan cemilan yang dibeli oleh Zay tadi. Zay menatap lamat-lamat wajah Zoya, bagian rahang Zoya lebam, tangannya terulur menyentuh wajah cantik itu.
“Sakit ya Zee?” tanya Zay.
“Iya lumayan, tapi sekarang udah nggak papa.”
Selesai makan, Zoya kembali tidur, kali ini bukan di dalam kamar melainkan di ruang tamu sambil menonton televisi, Zain dan Zay menonton bola, setelah memastikan Zoya tidur lelap, mereka menukar siaran dengan acara tinju.
“Bagaimana organisasi mu?” tanya Zay pada Zain.
“Baik, semua berjalan lancar dan tidak ada masalah, kenapa? Kau tertarik untuk ikut denganku?”
“Tidak, aku lebih baik menghabiskan waktu di arena balap ketimbang mengurus bisnis gelap seperti kau. Kalau Zee tau kau ini seorang mafia kejam dan bengis, mungkin dia akan menjauh darimu atau tidak akan menganggap kau saudaranya lagi.”
“Haha dramatis sekali pikiranmu.”
“Eh kau tau tidak, tadi aku bertemu gadis cantik di arena balap, menarik.” Zain seakan tidak tertarik dengan ucapan Zay.
“Sialan kau Zay, kau senang-senang dan kenalan dengan wanita di luaran sana, sedangkan Zee sendiri di rumah, dasar brengsek.”
“Heh aku pikir Zee akan tidur nyenyak, biasanya kan kalau dia sudah lelap ya bakalan bangun besok pagi, ya mana aku tau kalau bakalan ada penguntit datang ke sini.”
“Dasar bodoh, untung saja dia tidak kenapa-napa, kalau tidaaakkk.” Zain sudah menunjukkan tinjunya pada Zay.
“Aku salah, aku tidak akan mengulanginya lagi. Tapi soal wanita yang tadi, aku pikir dia cocok untukmu Zain.”
“Heh sialan, aku tidak mau dicari-carikan begitu.”
“Sampai kapan kau akan menyukai Zoya hah? Kau ini sudah gila apa? Memangnya kau mau rasa cinta itu membunuhmu hah? Ingat Zain, dia itu saudara kembar mu.”
“Aku tau itu, kau pikir aku ini gila? Aku juga tidak akan nekad untuk menikahi Zoya.”
“Ya mana tau pikiranmu itu jadi konslet.” Zain menatap tajam ke arah Zay, yang ditatap hanya nyengir tak bersalah.
“Bagaimana menurutmu kalau Zoya kita jodohkan dengan Haven?” Zay yang sedang meneguk minuman langsung tersedak, dia memukul kepala Zain.
“Kau mau Zoya mati karena serangan jantung hah?”
“Bukan begitu, menurutku Haven bisa menjaga dan melindungi Zoya.”
“Jangan gila kau, mendengar kata mafia saja dia takut bukan main, kau malah menjodohkan dia dengan bos mafia, otak mu ini benar-benar rusak ya? Apa saat melakukan penyerangan tadi ada yang memukul kepalamu?” Zay berseru dengan nada kesal pada Zain.
“Santai bos, aku kan hanya mengemukakan ide saja.”
“Ide gila yang kau kemukakan.”
Mereka kembali fokus menonton hingga semua tertidur di depan televisi yang masih menyala itu, Zoya tidur sambil memeluk erat lengan Zay, dia tidur di tengah-tengah karena memang begitu mereka sehari-hari jika menonton bersama, kalau di rumah, pasti Sean yang akan menggendong dia ke dalam kamar.
Zain memiliki kebiasaan jika tidur dekat Zoya, dia pasti akan melilitkan ujung rambut Zoya ke jari telunjuknya, entah itu untuk apa tapi hal itu sudah menjadi kebiasaannya dari kecil.
Kalau Zay lain lagi, dia memiliki kebiasaan memainkan jari jempol Zoya jika sudah duduk bersama.
Dan mereka berdua, pasti akan mencari Zoya jika sedang demam atau tidak enak badan, bagaikan mendapat obat, Zain dan Zay akan membaik jika mereka memeluk kaki Zoya saat demam. Dari kecil, Zain dan Zay memang sering demam bersamaan, tidak dengan Zoya.
...***...