Menolak dijodohkan, kata yang tepat untuk Azalea dan Jagat. Membuat keduanya memilih mengabdikan diri untuk profesi masing-masing. Tapi siapa sangka keduanya justru dipertemukan dan jatuh cinta satu sama lain di tempat mereka mengabdi.
"Tuhan sudah menakdirkan kisah keduanya bahkan jauh sebelum keduanya membingkai cerita manis di Kongo..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Usaha Aza
"Prof!" teriak Aza dengan langkah super cepat, habis mata kuliah pertama saja Aza sudah menyelanginya dengan pelajaran olahraga, sepertinya selain lulus sebagai dokter ia juga akan menyabet gelar atlet sprint selepas wisuda dari kampus.
Sosok yang hampir di seluruh bagian depan kepalanya botak itu menoleh singkat dan si alnya masih terus saja berjalan tak peduli Aza yang sudah bernafas senin kamis demi mengejarnya.
"Gue lempar granat juga nih dosen, kalo ngga inget guru adalah pelita dalam kegelapan." Dumelnya mengejar, mempercepat laju larinya, "gue kejar ampe Cina sekalipun!" kembali Aza berujar ambisi.
Ckittt! Bahkan suara sol sepatunya berdecit ketika ia mulai mengerem langkah, memotong jalan sang profesor yang terkenal tegas, galak, sedikit memiliki rasa belas kasihan.
"Astagfirullah," ia berdecak berwajah masam, kaya asam jawa.
Aza mengatupkan kedua tangannya di depan wajah, layaknya umat mau do'a sama dewa, "prof. please....masa ngga ada kebijakan buat benerin nilai...ini kan bukan ujian. Saya bener-bener udah ngerjain, menghafal dengan sungguh-sungguh sesuai makalah yang saya buat dari beberapa sumber referensi terpercaya, makalah pun saya sendiri yang mengerjakan..." jelasnya tanpa jeda sekalipun untuk mengambil nafas.
May be....nafasnya masih belum teratur akibat mengejar profesor Suwitmo.
Pria tua itu menggeleng, jelas saat presentasi, kalimat yang ia ucapkan berbeda dari makalah yang ia tulis, sedikit melenceng berimprovisasi tapi sulit untuk ia tolerir.
"Prof...prof...tolong, baru kali ini kan saya berbuat kesalahan. Sebelum-sebelumnya..."
"Sudah banyak." Tukas pria itu. Aza tak menyerah, "prof..." rengeknya.
"Begini saja, apa yang bisa memperbaiki nilai saya? Buat makalah baru, presentasi ulang, atau membuat makalah dengan tema lain yang melampirkan bukti konkret dan studi kasus?" sorot matanya berujar sungguh-sungguh. Tak dapat pungkiri, Azalea adalah salah satu mahasiswi terbaiknya, gadis ini juga begitu berambisi untuk meraih gelar cumlaude di angkatannya.
"Tapi please." ia kembali menunduk mengatupkan kedua tangannya, "kasih saya kesempatan buat memperbaiki."
Netra tua itu menatap gerak gerik memohon Aza di depannya, ia tau Aza akan menahannya disini, sampai ia berkata sesuatu yang ia harapkan, bahkan mungkin sampai ia ken cing berdiri sekalipun, Aza akan tetap menahannya disini.
"Oke."
Satu kata itu membuat wajah gadis itu bercahaya persis bohlam.
"Lakukan tugas praktek menjadi tenaga kesehatan bersama dokter berpengalaman, hanya ikut saja! Camkan! Perhatikan dan amati, lalu catat ilmu apa yang kamu dapat disana sesuai studi kasus, kemudian minta beliau memberikan penilaian atas apa yang sudah kamu lakukan disana, sebagai nakes."
"Maksudnya jadi asisten dokter?" bukankah itu ada waktunya? Ia mengernyitkan dahinya.
"Seperti itu."
"Berapa lama?" tanya Aza.
Pria tua itu terlihat berpikir, "anggap saja saya sudah memberikan kamu waktu untuk menjadi koas sebentar, memberikan gambaran lapangan menjadi dokter koas." Segaris senyum tersungging di sebelah bibirnya, semakin membuat Aza berbinar. "syaratnya...." telunjuk buntet pria itu menunjuk Aza.
"Bukan di rumah sakit. Melainkan berbaur di masyarakat yang benar-benar membutuhkan nakes."
"What? Bakti sosial maksudnya, prof? Semacam relawan?"
"Smart girl. Nanti saya kasih surat pengantar dan rekomendasi bila diperlukan..." ucapnya melenggang meninggalkan Aza, yang kini kembali berdecih, "mesti kemana?!" ia menggigit kuku jari tangannya, pertama kali pikirannya tercetus adalah pusat kesehatan masyarakat, tapi puskesmas mana yang menyelenggarakan kesehatan gratis, ia tak memiliki info atau chanel apapun pasal itu, "kota mana yang lagi kena bencana?!"
Aza menyipit dengan senyuman smirknya, kebetulan sekali... Sekali dayung 2, 3 pulau terlampaui. Jika ia bisa mendapatkan tempat yang cocok maka tidak menutup kemungkinan hal ini pula yang akan membatalkan perjodohannya dengan anak teman bunda dan ayah. Yesss! Allah masih sayang gue!
"Konggoooo?!" jeritnya berseru, Angga mengangguk seraya anteng menyedot jus strawberrynya di kantin rumah sakit ternama, "Pemerintah yang kasih surat edaran langsung dibawah bendera perserikatan bangsa-bangsa. Rumah sakit diminta mengirimkan nakes terlebih dokter yang mau jadi relawan."
"Buat apa adek nanya-nanya charity yang bakalan diadain rumah sakit?"
Aza terlihat sedang berpikir keras tak mengindahkan pertanyaan Angga, memikirkan segala perkara tentang jarak yang jauh, resiko yang akan ia tanggung, dan hubungannya dengan Angga, tapi bukankah ini demi Angga juga?
"Mas...mas mau buktiin sama ayah bunda, kalo mas serius sama aku, ngga?" Angga mau tak mau menatap serius pada kekasihnya itu.
"Ada apa?"
"Sebenernya...." Aza menceritakan semua masalah yang sedang menerpanya belakangan ini termasuk perjodohan yang tengah dilakukan kedua orangtuanya itu.
"Bantu aku masuk ke dalam list nakes ke Kongo, aku mau jadi relawan....mas ijinin aku kan? Demi kita, demi masa depanku..."
.
.
Aza melambaikan tangannya ketika Angga mengantarkannya ke rumah, meski masih saja ia belum rejekinya bertemu ayah bunda.
*Kamu gila? Kamu ngga pikirin aku*?!
*Ayah sama bunda juga pasti ngga akan ijinin kamu jauh*.
*Ngga aku ngga mau, sekalipun aku bisa*.
*Resikonya tinggi, negara konflik bersenjata, ditambah wabah penyakit virus mematikan, Azalea*!
*Kamu masih terbilang mahasiswa, belum jadi dokter*.
Seruan bernada kesal dari Angga masih terngiang di ingatan Aza, bahkan jus strawberry favorit keduanya saja tak mampu meredam amarah Angga, namun Aza adalah gadis keras kepala yang memiliki pendirian teguh, "mas. Aku ini calon dokter. Selama masih di bumi, di belahan manapun sumpahku adalah mengabdi untuk kemanusiaan, secara universal."
Aza berjalan gontai, sembari mulutnya lirih mengucapkan salam, tanpa mau menoleh ataupun melakukan apa-apa ia langsung nyelonong ke arah kamar dan menjatuhkan dirinya di kasur.
"*Aku tau mas! Aku sudah tau. Bukankah akan selalu ada resiko yang harus kita ambil di dalam hidup ini? Untuk apa yang kita mau, bukankah akan butuh perjuangan untuk sesuatu yang kita semogakan, yang kita harapkan*?!"
"*Aku sudah menimbang-nimbang dan menghitung semuanya. Masukin namaku kalo mas sayang aku*."
Lalu keduanya terdiam setelah perdebatan itu.
***Ting***!
Ponselnya berdenting tanda notifikasi masuk.
*Butuh surat ijin orangtua, dek*.
Aza menghela nafas dalam-dalam, kembali...ia akan kesulitan meminta ijin orang-orang sekitarnya apalagi bunda. Bagaimana caranya ia membujuk kedua orangtuanya?
Otak yang sudah lancip kembali ia asah dan paksa berputar, hingga akhirnya ia menemukan jawaban dan bergegas mencari kertas yang tempo hari ia buang, mulai dari bawah kasur, meja, laci meja, lalu ia ingat jika menaruhnya di meja ruang tengah. Sedikit melotot, apakah bunda menemukannya dan marah?! ia lantas bergegas ke ruang tengah, namun tak jua menemukan hingga hampir putus asa.
"Duh, dimana!"
Bu Ita melintas dengan membawa keranjang berisi pakaian kering dari luar, "bu!"
"Iya neng?"
"Bunda kemana?"
"Bu Sarah tadi bilang mau arisan, neng. Neng Aza udah makan? Bu Sarah titip pesen sama ibu, katanya kalo neng Aza mau makan ibu udah masak..."
Bu Ita yang hanya membantu mencuci dan menyetrika saja di rumahnya itu datang hanya di waktu siang hingga ke sore, apakah ia tau kertas CV itu?
"Kalo gitu ibu lanjut dulu gosok ya neng..." pamitnya, namun belum ia berlalu jauh, Aza kembali bertanya, "bu, ibu ada liat kertas ngga bu, di meja situ...ada foto tero risssnya?" tunjuk Aza ke arah meja putih pendek namun lebar.
"Kertas, tero riisss? Yang hitem-hitem, yang data data orang bukan?" Aza mengangguk demi pernyataan bu Ita, "iya bener."
"Oh, itu ibu taro di bawah meja yang ada majalahnya neng...takutnya kertas penting."
Belum selesai bu Ita berbicara Aza langsung berjongkok dan melongokan kepalanya ke bawah meja dimana tumpukan majalah lama bercampur dengan majalah baru berbagai tema. Ia menurunkan semuanya sampai terlihat acak-acakan lalu mencarinya cepat, "alhamdulillah!"
"Tugas neng?"
"Heem. Tugas negara!" angguk Aza pergi tanpa mau membereskan kembali perbuatannya.
Baru kali ini ia benar-benar membaca dengan seksama data diri Jagat, sembari melangkah ke arah kamar, "Jagat Adyaksa..." lirihnya.
Langsung saja Aza menyambar ponselnya dan mengetik nomor Jagat lalu tanpa sungkan dan segan menghubunginya, ia yakin bunda dan ayah akan luluh jika calonnya lah yang berbicara, apalagi kabar istimewanya adalah ia yang sudah berkabar dengan calon menantu idaman bunda, pasti semakin luluh!
Tutth....
Tutt....
Aza sampai menatap ulang berkali-kali layar ponselnya saat tengah menghubungi nomor tanpa foto profil itu, "asli...ngga diangkat?! Shombonggg amat bro! Ha." ia membuang nafas kasar dan singkat bernada sumbang.
Lalu Aza mencobanya lagi, "wehheyyy siapa sih lo! So banget sampe ngga mau angkat panggilan aku!" omelnya lagi pada ponselnya.
Alis Jagat terangkat sebelah, cukup dibuat terkejut nan kesal saat mengangkat panggilan yang entah nomor siapa, karena tak ia save lalu si orang yang ada di sebrang panggilan malah ngomel-ngomel menghinanya.
"Siapa ini?" tanya Jagat membuat mata indah itu membeliak karena rupanya Jagat sudah mengangkatnya ketika ia sibuk mengomel.
"Hallo, ini Jagat Adyaksa?!"
Jagat terdiam saat Aza justru berseru kegirangan, tadi marah-marah sekarang seneng kebangetan, apa perempuan ini baru saja pulang dari RSJ?
"Jagat, atau mungkin bisa saya panggil bang Jagat...."
"Saya tanya ini siapa?" pungkas Jagat tak mau berbasa basi tak penting, waktunya tak banyak melayani orang aneh.
"Aku Aza...Azalea...."
Deg.....
Kini Jagat yang menatap berkali-kali layar ponselnya, tak percaya.
.
.
.
.
kalau ada aza mesti rameeee🤣...
semangat up terus ya mak sin 💪😅🙏