"sudah aku katakan sedari dulu, saat aku dewasa nanti, aku akan menjadikan kakak sebagai pacar, lupa?" gadis cantik itu bersedekap dada, bibirnya tak hentinya bercerocos, dia dengan berani masuk ke ruang pribadi pria di depannya.
tidak menjawab, Vallerio membiarkannya bicara seorang diri sementara dia sibuk periksa tugas para muridnya.
"kakak.."
"aku gurumu Au, bisa nggak panggil sesuai profesi gitu?"
"iya tahu, tapi kalau berdua begini nggak perlu!"
"sekarang kamu keluar!" ujar Vallerio masih dengan suara lembutnya.
tidak mengindahkan perintah pria tampan itu, Aurora malah mengikis jarak, dengan gerakan cepat dia mengecup bibir pria itu, baru berlari keluar.
Vallerio-Aurora, here!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
baru hari pertama!
Karena jam ke empat gurunya tidak masuk, Caca dan Aurora berlama lama di kantin. Sementara Cava? Dia sudah ke ruangan osis.
Tahu alasan Aurora malas masuk ke dalam kelas? Ya karena dia tidak mau bertemu dengan Devon lagi untuk sementara. Masih ada rasa kesal di hatinya.
Tapi bukankah tidak asyik jika hanya duduk dan bercanda berdua begini? Rasanya sangat kosong dengan tidak adanya ponsel.
Untuk Caca, karena tadi gadis itu ke kantin membawa serta ponselnya maka dia sibuk sendiri. Aurora? Dia mana sempat mengambil ponsel tadi, kalimat Devon berhasil membuat Aurora berlalu begitu saja dari dalam kelas menuju kantin.
Alhasil saat ini dia jengah sendiri melihat Caca yang asyik dengan ponselnya.
“Ca..” panggilnya berkali kali. Hanya sebentar Caca tanggapi, karena setelahnya dia fokus dengan game.
“aihhh, kamu nggak asyik!” sontak Aurora menggerbak meja, berdiri dari sana dan pergi ke kelasnya.
“Heh, Ra tunggu..” teriak Caca dari belakang. Bisa di lihat gadis itu berlari kecil untuk menyamai langkah cepat Aurora. Hingga sampai di depan kelas, Aurora merubah mimik wajahnya dengan tatapan datar.
Di dalam kelas, Devon memperhatikan langkah gadis tersebut.
“Kenapa lihat lihat?” bentak Aurora. Devon tidak menjawab, dia memaklumi Aurora yang mungkin marah benaran terhadapnya. Harusnya dia mendekatinya perlahan, sedikit menyesal dengan perbuatannya tadi, Devon jadi merasa bersalah.
“Ra, aku minta maaf karena lancang, tapi tentang itu aku serius” mulai, Aurora menghentikan gerakannya yang membuka saku tas untuk mengambil ponsel, menatap Devon datar.
“apa aku terlihat peduli?” tanyanya, kemudian berlalu dari sana, keluar lagi.
Kali ini tujuannya bukan ke kantin tapi ke rooftop. Tempat yang menenangkan menurut Aurora.
Sampai di rooftop, dia langsung menyalakan ponselnya.
Ting
Banyak sekali notif pesan yang terkirim di ponselnya.
Hal pertama yang dia lihat tentu saja nomor Vallerio. Aurora tersenyum tipis membaca banyaknya pesan uang masuk, dan semua isinya adalah suara hati pria itu yang kesal lantaran tak kunjung dia balas.
Seketika dari senyuman, Aurora tertawa lepas. Rasanya sangat lucu hubungan mereka, karena ternyata bukan hanya Aurora yang resah di hari pertama, prianya pun sama saja.
“kenapa kamu tertawa sendiri?” tanya Caca yang kini nongol.
“ada yang lucu” jawab Aurora tanpa memberi tahu jelasnya.
Pacar Rora~~~
Selamat siang kak, maaf baru baca!
Balas Aurora. Setelah itu dia menelusuri yang lain, matanya terpaku pada nomor kakak iparnya.
“Banyak sekali pesannya, ada apasih?” tidak mau berlama lama, Aurora membuka pesan Alena.
kakak ipar~~~~
‘Selamat siang Aurora Manggala..’
‘Bagaimana sekolahnya hati ini? Baik?’
‘pasti kamu sedih karena pacar kamu tidak lagi ngajar disana ya?’
‘aku saranin sih tidak perlu sedih, cukup cari bocah yang lebih ganteng disana’
‘oh iya, kakak ada info nih!’
‘kamu kenal?’
Matanya begitu jeli membaca satu persatu pesan yang Alena kirim. Awalnya dia tersenyum tipis, tapi semakin ke bawah, wajahnya berubah masam.
“apaan ini!!” pekiknya sembari memperbesar foto yang Alena kirimkan. Terlihat jelas kedua manusia itu, Vallerio dan Riska yang memang duduknya berdekatan. Kebetulan mama Nisa tidak tampak disana karena posisi dia saat itu di kursi berseberangan dengan Vallerio dan Riska.
“Sial, baru juga hari pertama dia sudah mulai berulah!!!” geram Aurora seraya menghentak hentakan kakinya membuat Caca yang melihat itu tak habis pikir. Baru juga tertawa tapi sekarang terlihat kesal, bukankah itu sangat aneh? Begitu pikir Caca dalam hati.
“kamu kenapa sebenarnya Ra?” tanya Caca tapi sama sekali tidak di jawab.
“Aku pulang sekarang!!” dia berlari cepat keluar, berjalan hingga sampai di kelas, mengambil tas lalu keluar lagi.
“Kamu mau kemana Ra?” Cava yang baru pulang dari ruangan osis tak sengaja berpapasan dengan Aurora.
“Ayo Cava, antar aku pulang sekarang!” tanpa menunggu jawaban dari Cava, gadis itu menyeretnya menuju tempat parkir.
Hafal betul dengan motor Cava, dia mengambil helm lalu fi pakaikan di kepalanya.
.
.
.
Sudah siap?” tak perlu bertanya sebenarnya karena sejak tadi gadis itu tengah duduk rapi di atas motor.
“Hmmmm” jawabnya singkat. Setelah di pastikan benar benar siap, Cava melajukan motornya meninggalkan halaman sekolah. Mereka bahkan tidak izin, keluar begitu saja.
“Jangan ke rumah!” melihat Cava yang benar benar mengambil jalur ke arah rumahnya, cepat Aurora memberitahu pria itu.
“loh. Katanya pulang?” heran Cava.
“tidak jadi, aku mau ke alamat ini!” dia menyebutkan alamat kantor Vallerio pada Cava.
Meski dalam hati bertanya tanya, tapi Cava tidak mengeluarkan pertanyaannya. Biarlah dia penasaran dari pada harus kena rembet Aurora yang memang terlihat jelas murkanya.
Dua puluh menit perjalanan, akhirnya motor pria itu benar benar sampai di depan gedung tinggi, DA group.
“Makasih ya Cav sudah ngantar..” ujar Aurora begitu tulus.
Cava mengangguk singkat “eh, tapi kamu ngapain kesini Ra?” tanya Cava setelahnya.
“ada urusan, kamu tidak perlu tahu!”
“ouhhh ya udah, terus aku tunggu atau__”
“Pulang saja, ntar aku minta pak joko untuk jemput!” jawab Aurora cepat. Mendengar itu, Cava bersiap pulang.
‘Ya udah, aku pulang dulu ya..”
“oke, hati hati di jalan, jangan ngebut ngebut!!” begitu Cava sudah berlalu, Aurora masuk ke dalam gedung.
Dia menghampiri resepsionis, “mbak, aku mau bertemu dengan pak Vallerio, apa boleh?” tanyanya dengan suara yang di buat buat selembut mungkin.
Resepsionis itu tak kunjung menjawab, dia lebih dulu memperhatikan Aurora, dari style gadis itu hingga wajah yang menurutnya tidak asing.
“apa nona ada janji sebelumnya?” tanya wanita itu pada akhirnya.
Aurora menggeleng, “mbak bisa sampaikan pada pak Vallerionya langsung” ujarnya lagi.
“Baiklah, tunggu sebentar ya, namanya siapa kalau boleh tahu?.”
“Aurora”
resepsionis itu terlihat menelpon, dan di pastikan dia sedang menghubungi Vallerio.
Tak lama setelahnya dia kembali menemui Aurora.
“Sebentar ya nona, ntar asisten pak Vallerio satang jemput” mengangguk cepat, Aurora duduk di sofa yang ada di sana sembari memainkan ponselnya.
Dia tidak menjawab telepon Vallerio lagi, sama sekali dia enggan. Bahkan di detik ini saja, Vallerio masih mengirimnya beberapa pesan dan telepon, tapi Aurora sudah kunjung panas, makanya tidak satu pun yang dia jawab.
Sesaat dia duduk, Gino, asisten Vallerio benar benar menjemputnya.
"lihatlah, dia menyuruh asistennya untuk menjemputku, pasti dia tengah bersenang senang dengan wanita itu!!!" gumannya.
"btw tampan juga asistennya, kayaknya bakalan oleng sama dia aja nih aku!!"
"nona Aurora?" tanya Gino saat sudah dekat dengan Aurora. cepat dia mengangguk.
"saya di surut untuk menjemput anda nona.." Aurora bangkit, mengekori tubuh tegap Gino dari belakang.
hingga sampai di depan ruang kerja Vallerio, dia menarik nafas kasar sebelum masuk..
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
lagian knpa emgga bilng kalo udah punya pacar .. 🗿🔪