Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Singgah
Dalam tempo langkah kecil, Agvia dan Abdi mengejar bayangan Anisa yang seolah menjauh dengan setiap gerakan. Sementara itu, Kusuma memilih melangkah pelan, seperti daun yang ditiup angin, menikmati perjalanannya sendiri.
Namun, saat mata Agvia menangkap gerak Anisa yang terkesan tak selaras, seperti bunga layu di tengah taman, ada sesuatu yang membuat dadanya sesak oleh rasa ganjil.
“Kenapa ya, gadis itu seperti bunga yang kehilangan warnanya? Wajahnya kosong, seperti patung tanpa jiwa. Kamu nggak merasa aneh, Kusuma?” tanya Agvia sambil menoleh ke sebelah kirinya.
Hening. Jawaban yang ia tunggu tak kunjung datang.
“Kusuma?” Dengan cemas, Agvia memutar tubuhnya ke belakang dan baru menyadari bahwa Kusuma tertinggal jauh, seperti bayangan senja yang menghilang perlahan.
"Waduh kalau nanti kambuh sakitnya bagaimana?"
Agvia yang sangat memperhatikan sahabatnya merasa ketakutan sendiri, karena ia takut kejadian di masa kuliah dulu terulang.
"Memangnya dia sakit apa?
Sudah, jangan berpikiran yang aneh-aneh kamu!" seru Abdi sembari menjitak kepala Agvia.
"Aduh! Sakit tahu, Mas!" gumam Agvia dengan mengelus-elus kepalanya. Sedangkan Abdi hanya menjulurkan lidah tanda meledek.
"Kamu ini juga, Mas. Ngapain ikut kita. Harusnya Mas ikut tidur bersama teman Mas Abdi yang dokter-dokter itu."
Dari tiga puluh relawan hanya ada lima dokter dengan sepuluh perawat yang akan masuk ke area bencana dan sisanya di rumah sakit.
"Sama saja, kan disana kita hanya dua malam dan besoknya ke area bencana tanah longsor.
"Kenapa kamu tengak-tengok? Apa perlu kita berhenti dulu nunggu Kusuma. Tapi gimana sama perawat Anisa?" tanya Abdi.
"Atau kita berpencar. Nanti aku bisa telepon kamu kalau sudah sampai rumah singgah," ujar Agvia.
"Anisa kaya hantu jalannya, sedangkan Kusuma malah kaya kura-kura jalannya." Abdi menggeleng-gelengkan kepala dengan mencari keberadaan Kusuma.
"Aku juga nggak habis pikir, sudah berusaha untuk mempercepat langkah agar berdampingan dengannya, tapi seakan-akan dia melayang dan sekeras apa pun aku mengejarnya, dia malah semakin di depan," ucap Agvia terheran-heran.
"Mungkin mesinnya Yamaha, Vi. Agvia.. semakin di depan," sahut Kusuma sambil mencontohkan sebuah iklan motor yamaha yang membuat mereka bertiga tertawa.
"Dari mana saja, kamu?" tanya Agvia dengan kedua tangannya mencubit pipi Kusuma yang tiba-tiba datang.
"Mungkin saat ini kamu masih bisa tertawa, Vi. Akan tetapi lihat saja nanti setelah matahari terbenam. Apakah kamu masih bisa tertawa seperti ini," lanjut Kusuma, dengan wajah tegang pertanda bahwa ada sesuatu yang ia lihat.
"Awas minggir-minggir, Kusuma mau berubah jadi Mak Lampir," canda Agvia dengan tertawa terbahak-bahak.
"Dasar bodoh!" teriak Abdi kepada Agvia dengan memukul kepalanya sekali lagi.
"Aduh sakit.. aku kan cuma mau mencairkan suasana, habis dari tadi kita melewati pohon-pohon besar yang membuatku merinding," keluh Agvia yang tiba-tiba menempel ke tubuh Kusuma.
Gadis itu hanya menatap Agvia dengan lirikan mata yang tajam, membuat pria itu takut dengan sendirinya.
Hahaha..
Kusuma dan Abdi tertawa dengan kerasnya melihat tingkah Agvia yang sok berani padahal penakut.
Tak lama kemudian, akhirnya mereka tiba di tempat yang disebut rumah singgah.
Rumah dengan gaya Victoria telah dibuat pada zaman Belanda yang dikelilingi pohon-pohon besar dan rindang. Di depan rumah juga terdapat tanaman bunga mawar dan sebuah ayunan dari tali tambang yang terikat dengan sebuah pohon besar.
"Aduh rumah antik lagi. Siang hari saja suasananya sudah mencekam begini, bagaimana kalau malam nanti." Dalam hati Agvia ketakutan.
"Ayo, masuk." Anisa mempersilahkan mereka masuk.
Tampak dari luar rumah, banyak sekali perabotan antik jaman dahulu. Sementara ruang tamu, berisi sofa yang terletak di sebelah kiri pintu dengan meja antik, serta jam dinding yang entah sudah berapa lama ada di rumah itu.
Foto-foto dengan rapinya menempel di dinding bangunan tua itu, seakan memberitahu bahwa foto besar tergambar sebuah keluarga-pemilik rumah.
"Kalian bisa pilih kamar yang menurut kalian nyaman untuk tinggal sementara selama kalian bertugas di sini. Selamat beristirahat. Saya harus segera kembali bertugas, permisi." Anisa berkata dengan lirih dan hampir tak terdengar.
"Iya, terima kasih. Apakah ada orang lain selain kami?" tanya Kusuma. Karena tak ada jawaban, ia pun menoleh ke belakang.
"Wah, dimana itu orang. Cepat sekali menghilangnya."
"Sumpah banget, aku juga heran sama dia." Agvia menggelengkan kepalanya.
Kusuma berjalan menuju koridor tempat deretan kamar berada. Sisi kiri dan kanan masing-masing memiliki dua kamar. Agvi dan Abdi sepakat untuk tinggal satu kamar, sedangkan Kusuma berada di seberang kamarnya. Mereka masuk ke kamar masing-masing untuk melepas lelah.
Dreeet! Dreet!
Panggilan ponsel berdering milik Abdi membuatnya harus pergi dari rumah singgah. Mereka ada pertemuan untuk membahas kelanjutan esok hari dalam pembagian tugas.
"Aku mau kumpul dulu dengan teman-teman." Abdi segera menemui beberapa relawan yang sedang berkumpul di aula rumah sakit sementara Kusuma dan Agvia tertinggal di rumah singgah. Karena mereka berdua akan membantu dinas malam ini dan esok pergi ke area bencana.
Jam masih menunjukkan pukul tiga sore hari. Bergegas mereka berdua beristirahat sebentar karena masih ada sisa waktu dua jam.
"Kamar yang sangat nyaman, tempat tidur antik, kasur yang empuk, ah nyaman sekali," batin Agvia sembari merebahkan tubuhnya di kasur. Agvia memejamkan mata, belum juga terlelap pria tinggi itu mendengar ketukan yang sangat keras dari luar.
Dug! Dug! Dug!
"Siapa sih ganggu orang istirahat saja!" keluh Agvia dengan memukulkan kedua tangannya di kasur.
Suara ketukan itu terdengar sangat keras. Ia pun beranjak dari ranjang dengan gontai dan membuka pintu dengan sedikit rasa kesal. Ketika pintu terbuka tak ada satupun wujud manusia di depan pintunya. Rasa penasaran dan takut beradu menjadi satu. Mencari kedua sahabatnya di kamar tak ia dapati. Agvia mencari ke setiap sudut ruangan di dalam rumah sembari memanggil kedua sahabatnya.
"Kusuma! Abdi!" Namun, kedua sahabatnya tak pernah menjawab panggilannya.
Sayup-sayup lalu terdengar suara tawa anak kecil dari luar.
Agvia dengan segera beranjak ke luar rumah, dilihatnya seorang gadis kecil sedang bermain ayunan.
Pria berambut ikal itu mendekatinya dan menyapa, "Hai kamu siapa? Om baru di sini. Boleh kita kenalan?" Anak kecil itu hanya menatap dan tersenyum.
Agvia berangsur mundur selangkah demi selangkah dan bergidik melihat wajah anak itu. Lama kelamaan wajah cantik itu berubah menjadi menyeramkan.
Belum sempat dia beranjak dari tempat, anak kecil itu sudah melompat menyerang Agvia lalu mencekik lehernya. Hanya suara rintihan yang keluar dari tenggorokannya. Detak jantungnya pun semakin tak berirama dan nafasnya tersengal-sengal seakan kematian akan mendatanginya.
"Astaghfirullah, ternyata cuma mimpi. Alhamdulillah, untung cuma mimpi!" keluh Agvia dengan sekujur tubuh penuh dengan peluh keringat.