Kisah sebuah pertemanan yang berawal manis hingga renggang dan berakhir dengan saling berdamai. Pertemanan yang salah satu diantara keduanya menaruh bumbu rasa itu terjadi tarik ulur. Sampai memakan banyak kesalahpahaman. Lantas, bagaimanakah kisah selanjutnya tentang mereka? apakah keduanya akan berakhir hanya masing-masing atau asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zennatyas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Bertemu lagi
Pagi ini tim inti pemain basket SMA Harapan Bangsa telah sampai di lokasi pertandingan, tepatnya di SMA Merpati. Ya, sekolahan nya Adhara sebelum ia pindah ke kota Jakarta.
Para pemain inti itu di berangkatkan sejak pukul 4 pagi, mereka menaiki kereta api agar cepat sampai ke daerah pedesaan.
"Semangat Lang, mainnya." ucap Dhara memberikan dukungan.
Langit tersenyum, "Di sini aja sama anak-anak, jangan keluar dari area ini." ujar Langit menatap Dhara.
"Kenapa? ini kan lapangan basket yang udah biasa gue datangi setiap ada pertandingan." jawab gadis itu heran.
Langit yang sudah bersiap akan bertanding itu pun memasuki lapangan basket. "Aku nggak mau kamu sakit lagi." Bukan jawaban yang puas bagi Adhara mendengar ucapan Langit. Mengapa ia bilang seperti itu?
Dhara mengerutkan keningnya. "Kenapa kamu ngomong gitu? maksud kamu apa sih?" tanya gadis tersebut penasaran.
Teman-teman Adhara hanya diam saja sambil sesekali melihat dua seorang penulis itu berbicara empat mata. "Kita harus jagain Adhara terus, jangan sampai cowok itu ketemu sama dia." lirih Rachel dengan gaya duduk sambil bersidekap.
"Beruntung kita dikasih tau sama cewek itu," sahut April yang duduk di sebelah Rachel.
"Maksud kamu apa sih, Lang?" tanya Adhara tak mendapati jawaban dari Langit.
Jarak antara Rachel dan teman temannya itu sedikit jauh dari Adhara dan Langit. Sehingga Dhara tak akan mendengar obrolan mereka.
"Kamu di sini aja, aku mau kumpul bentar lagi dimulai." katanya pergi dari Dhara.
Dhara berdecak kesal, setelah itu Rachel dan kawan kawan pun menghampiri Adhara. "Lo tau nggak sih, kalo Langit itu sayang sama lo." celetuk Rachel yang pandangannya masih lurus.
"Lo ngomong apa sih, Hel? dari tadi nggak lo nggak Langit sama-sama aneh tau nggak!" ujarnya dengan nada sedikit tinggi.
"Dia nggak mau lo sakit hati. Dia cowok yang paling tulus menurut gue. Ya meskipun sifatnya cuek dan irit ngomong." balas April.
Belum sempat Adhara menjawab tiba tiba ada seseorang yang memanggil namanya. "Ra, lo di sini?" seorang cowok dengan seragam identitas SMA MERPATI.
Gadis itu menoleh dan seketika menjawab. "Iya," jawabnya singkat. Di sisi lain teman temannya Adhara pun berdecak kesal.
"Sial, malah ketemu di sini. Mana sok nanya lagi." cibir Kia pelan sesekali melirik seorang cowok tersebut sinis.
Suara ramai di lapangan basket itu memfokuskan Adhara menatap Langit. Lelaki yang sangat dia sukai. "Ra, lo masih kenal gue kan?" tanya cowok tadi menatap Dhara yang terus memperhatikan Langit sedang bertanding.
"Iya kenal," jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya.
"Siapa nama gue?" tanya cowok itu membuat teman temannya Adhara kesal.
"Asa"
"Nama lengkapnya dih," sebal cowok itu memasang wajah menggoda.
Adhara menghela napas panjang. "Angkasa Bagaskara." Itulah nama cowok yang memanggil nama Dhara tadi.
•••••
Selang lamanya pertandingan basket itu akhirnya pertandingan pun selesai dengan hasil kemenangan di raih oleh Tim nya Langit.
"Ra, udah selesai main tuh. Nggak ngasih minum?" tanya Rachel mendekati Dhara.
Akh iya, lupa. Untung Rachel mengingatkan. "Lang! sini!" ajak gadis itu melambaikan tangannya.
Sementara Angkasa yang di panggil Asa itu menatap Langit heran. "Siapa tuh cowok, deket banget keknya sama Ara." batin Asa.
Langit pun menghampiri Dhara yang berada di tepi lapangan basket. "Kamu minum dulu gih, biar sehat dan nggak sakit." ucap Adhara tersenyum pada Langit.
"Kamu jangan jauh dari Rachel sama anak-anak yang lain. Dan jangan pergi sebelum aku ganti baju terus ke sini." nasehat lelaki tersebut lembut.
Dhara tersenyum meledek. "Nggak kemana-mana kok, yaudah ganti baju gih. Tuh, Edgar Cs udah pada bawa baju ganti." ujarnya melihat Edgar dan tim nya berjalan ke ruang ganti.
"Yaudah, kamu tunggu sini." tutur lelaki itu kemudian pergi.
Rachel, Riffa, April, dan Kia pun menghampiri Dhara yang masih di temani oleh Asa. Dih, nggak ada yang minta di temenin sama cowok itu. Cuma Asa nya aja yang masih jadi patung di sampingnya Dhara.
"Cowok tadi siapanya lo?" tanya Asa kepo.
"Temen gue."
"Temen apa pacar?" Dih kepo banget si Asa.
"Lo kok kepo sih?" Nah, nada bicara Adhara mulai beda. Siapa suruh nanya terus sama Dhara.
April yang mengetahui keadaan itu pun segera menyempil ke tengah jarak antara Asa dan Adhara. "Jaga jarak Mas, udah milik orang." ucap April sambil memainkan ponselnya.
"Lo siapa?" tanya Asa dengan nada dinginnya.
"Temen deketnya Dhara." jawabnya singkat.
Kemudian tiba-tiba Langit datang dengan seragam identitas SMA Harapan Bangsa dan tertutup hoodie warna cream.
"Eh, gue punya urusan sama Adhara." ucap Asa menarik tangan Adhara.
Langit yang melihat hal tersebut langsung berucap, "Punya urusan nggak pake kasar." celetuk Langit membuat Asa semakin menggenggam tangan Dhara keras. Hingga gadis itu pun merasa sedikit kesakitan.
"Lepas, Sa! apa urusan kita sekarang? nggak ada kan? apa yang perlu diurusin?" nada gadis tersebut pelan.
"Gue pengen kita balik lagi kayak dulu, Ra." jawab Asa dengan wajahnya yang masih seperti dulu. Iya, wajah Asa selalu terlihat sedih dan bingung setiap kali Dhara tatap.
Langit menatap dua manusia tersebut. Lalu menyuruh Rachel dan teman temannya untuk pulang lebih dulu bersama Edgar Cs yang sudah menunggu di depan gerbang SMA MERPATI.
"Kalian pulang dulu, anak-anak udah pada nunggu di depan gerbang." ucap Langit, kemudian Rachel dan teman temannya pun pergi.
"Kalo soal balik lagi gue nggak bisa, Sa. Karena-"
"Oh, karena cowok ini kan? kalian udah deket sekarang? dan lo, suka sama Ara?" ujar Asa menatap dua orang itu bergantian lalu kembali menatap Langit dengan wajah tanda tanya.
Langit hanya menatap jam tangannya. "Perbaiki diri lo dulu, sebelum minta jawaban yang tadi." lirih lelaki itu kemudian berlalu sambil menggandeng Adhara.
"Gue tau, Ra. Luka yang lo rasain selama ini udah cukup sakit buat lo. Dan mungkin ini balesan buat gue yang nggak pernah anggap lo ada di sekitar gue. Itupun gue masih heran sama lo, bisa-bisanya lo masih mau jawab ucapan gue meski gue tau lo masih belum bisa terima atas sikap gue selama ini." batin Angkasa sembari menatap punggung Adhara dan Langit yang mulai menjauh.
Hari setelah perjalanan pulang dari desa ke kota cukup melelahkan bagi Adhara. Ditambah dengan bertemu seorang Angkasa, cowok yang dulunya adalah teman dekat Adhara. Namun, kini pertemanan itu sudah tak layak diperbincangkan lagi. Karena hubungan pertemanan mereka telah hancur tahun lalu.
Waktu menunjukan pukul 19.00, Dhara beranjak dari kasurnya dan menatap layar ponselnya yang menyala di nakas. Gadis itu menyaut ponselnya dan membuka sebuah chat dari seorang Langit.
"Langit itu baik, dia nggak pernah buat gue sakit. Nggak kayak Asa, cowok yang gue percaya baik tapi ternyata cuma pas virtual aja." gumam gadis itu sambil tangannya mengetik alasan kepada Langit.
Dari sebrang sana, Langit tersenyum tipis ketika membalas chat Dhara yang meng-iyakan permintaannya untuk bermain ke rumah Adhara.
"Aku akan tetap jagain kamu dari jauh, Ra. Aku nggak mau kamu kembali tersakiti oleh laki-laki itu. Laki-laki yang aku belum tahu latar belakang masa lalunya sama kamu, tapi aku lihat dia nggak baik buat kamu. Entah apa yang aku tahu soal dia, aku tetap melihatnya tidak baik untuk kamu. Semoga kamu nggak marah saat nanti aku ke situ dan minta diceritakan tentang masa lalu kamu dan dia." batin Langit seraya menatap foto Adhara yang tersimpan di galerinya.
••••
Tok tok tok
"Assalamualaikum ..." ucap Langit mengetuk pintu rumah Adhara.
shittt...
"Waalaikumsalam ... eh Langit, mau main ya?" tanya Sarah.
Langit tersenyum pada Sarah. "Adhara ada, Bun?" tanya lelaki itu seperti ke bundanya sendiri.
"Ngapain kamu panggil istri saya dengan sebutan Bunda?" tanya Surya dengan tatapan sulit di artikan.
Langit menunduk. "Maaf, om. Langit nggak maksud aneh aneh. Langit cuma -" ucapan Langit terpotong oleh Adhara.
"Ada apa sih, Yah?" Tanya Adhara heran malam malam ada keributan.
"Langit berani panggil bunda dengan sebutan bunda juga. Ayah nggak suka dia manggil bunda kayak gitu." Tegas Surya menatap tajam pada lelaki di hadapannya.
Adhara menghela napas berat. "Cuma kayak gitu dipermasalahkan? Lagian bukan salah Langit kok, orang Bunda yang nyuruh Langit buat manggil Bunda bukan tante." Jelas Dhara membela Langit.
Wajah Surya mulai terlihat marah. Beliau ingin menampar Langit tapi-
"Ayah jangan! Plis dong, Yah. Langit jangan disakitin terus. Kasian, kita tetanggan masa ribut gini sih! Kalo nggak bisa akur mending Dhara balik aja ke desa!" Pekik Dhara kesal.
Surya dan Sarah menahan tawa bersama. Pasalnya gadis itu memeluk Langit sambil mengoceh tidak mau melihat lelaki tersebut dilukai oleh Surya, padahal kedua orangtuanya hanya mempermainkan Dhara untuk melihat seberapa takut putrinya kehilangan Langit.
"Udah, Ra. Mereka cuma bercanda. Jangan kayak anak kecil gini," ucap Langit melepas pelukan Dhara.
Seketika gadis itu mundur dan menatap kedua orangtuanya yang sudah tertawa melihat tingkahnya. "Tau ah, udah badmood malah dibikin kesel. Makin badmood dah males!" Ketus Dhara masuk ke rumah tanpa mengajak Langit.
"Itu tingkah Dhara kalo lagi kesal kayak gitu." Ujar Sarah menepuk bahu Langit.
"Masuk saja, tidak enak dilihat orang." perintah Surya kepada Langit.
Ciieett
Suara pintu kamar Adhara di buka oleh bundanya. "Dhara ... Yakin kamu nggak mau keluar temuin Langit, sayang?" Tanya Sarah di balik pintu gadis itu.
"Males ah, Bun," jawab gadis tersebut dari dalam kamar.
Terdengar dari ruang kamar Adhara, suara Langit. "Langit pulang dulu, om. Takut ganggu Dhara lagi istirahat. Mungkin lagi banyak pikiran." Pamit lelaki itu.
Sebelum Langit beranjak keluar dari rumah Adhara. Gadis itu segera keluar dari kamarnya.
Ceklek
"Langit jangan pulang dulu," ujar Dhara berjalan menghampiri Langit.
"Kamu pasti butuh istirahat, Ra. Aku tau kamu lagi banyak pikiran." Jawabnya menatap ke gadis tersebut.
Sedangkan kedua orangtuanya Adhara tersenyum meledek putrinya yang masih diam diam menatap dingin kepada Langit.
"Katanya mau main," ucap Dhara singkat.
"Besok lagi aja, sekarang kamu perlu istirahat tenangin pikiran kamu dulu. Biar besok semangat berangkat sekolah." Balasnya.
Tiba-tiba ponsel yang sedang Dhara genggam memunculkan sebuah notifikasi pesan dari seseorang.
Bunda Langit
[Maafin Langit ya, sayang. Dia sekarang pasti lagi bohong sama kamu dan orangtua kamu. Iya, bunda dan Langit tau kamu lagi ada pikiran. Langit akan pulangkan? Dia itu sebenarnya lagi demam, nak. Baru aja tadi, bunda suruh minum obat malah nggak mau. Katanya nanti aja setelah dari rumah kamu, dia bilang ada tamu ya? Dia juga bohong sama kamu, Langit merasa pusing dan dia berinisiatif untuk minum obat walaupun dia nggak suka obat, nak. Bunda harap kamu bisa maafin Langit ya? Kasian, dia ingin sama kamu terus].
Setelah Adhara membaca pesan dari bundanya Langit. Ia menggenggam ponselnya. "Kamu berani bohong ya sama aku? Bagus ya kamu, boong dua kali sekaligus." Ucap gadis itu datar, menatap Langit dengan tatapan tak suka.
"Maaf, Ra. Kamu boleh marah sama aku," tutur Langit lembut.
Kedua orangtua gadis tersebut pergi ke ruang keluarga untuk menonton tv dan meninggalkan putrinya bersama Langit.
"Lo jahat! Gue nggak yakin lo bisa terbaik buat gue, Lang! Lo jahat tau nggak!" tegas Dhara memukul dada bidang Langit.
Langit hanya diam. Ia tetap menatap seseorang yang sangat dirinya sayangi itu. "Lo boong sama gue! Gue nggak suka lo boongin gue ...," pekik gadis itu masih saja memukuli dada Langit.
Akhirnya Sarah beranjak ke ruang tamu. Tempat putrinya sedang memarahi Langit. "Nak, dia lagi sakit loh sayang. Masa kamu pukul terus sih." Ucap beliau pelan.
"Kalo kamu terus seperti itu, jantung Langit bisa copot." Ucap Surya menakut nakuti.
Adhara semakin mendekatkan tubuhnya dengan Langit.
"Lo lagi demam gini bilang dong, jangan diem aja pake segala boong pula." omel gadis itu justru membuat kedua orangtuanya mengerutkan kening heran.
Tak lupa seorang Langit, ia hanya menatap gadis di hadapannya. Betapa khawatirnya Adhara padanya? Sampai mengomeli seperti itu. "Nggak marah?" tanyanya, Dhara menggeleng.
"Cuma pura-pura marah aja, dapet info dari bunda kamu kalo kamu boong sama aku." Jawabnya jujur.
Orangtuanya malah terkekeh pelan mendengar tuturan putri mereka. "Anak kita emang aneh ya?" Kekeh Sarah mendongak ke Surya seraya memeluknya dari samping.
"Anak kamu doang, ya anak kita lah. Mungkin kalo kamu nggak ngidam beli notebook yang ada di luar negeri itu mana mungkin anak kita jadi penulis terkenal kayak sekarang." ujar pria itu tersenyum sambil mengusap lembut kepala sang istri.
Adhara menoleh ke orangtuanya. Ia terkekeh kembali menatap Langit. "Janji nggak akan berubah?" Pertanyaan itu lantas keluar begitu saja dari bibirnya. Langit hanya mengangguk yakin, "Jangan suka mukul orang, nggak baik kayak gitu. Jangan diulangi lagi ya?" Nasehat Langit seolah mengatakan bahwa Dhara masih seperti anak kecil.
"Kamu ngatain aku anak kecil yang suka mukul orang?! Hem? Jujur nggak!" Kesalnya siap akan melayangkan pukulan ke wajah lelaki di hadapannya.
Langit menahan tangan Dhara yang sudah mengepal dan jaraknya lumayan dekat dengan wajahnya. "Nggak gitu, kamu seorang penulis jangan suka mukul dong. Ya kalo mukul aku nggak papa, tapi jangan ke yang lain." tutur lelaki tersebut.
"Halah, dipukul aja masang muka datar!" Cibir gadis itu sebal.
"Iya. Yaudah jadi main nggak?" tanya Langit baru menyadari jika Sarah dan Surya sudah berlalu dari sekitar mereka. Ya, berasa dunia milik berdua. Eits, lupa. Bukan dunia, tapi ruang tamu aja. Hahahaha!!
"Iya jadi, mumpung bunda sama ayah lagi di dalem. Mending kita duduk di sini aja ya." Ucap Dhara sudah duduk di sofa.
"Iyaa."
•••••
Selang satu jam mereka membaca buku bersama, belajar tentang mata pelajaran yang besok akan di pelajari. Dan yang terakhir, mereka makan cemilan ringan sampai larut malam.
Jam melingkar di pergelangan tangan Langit menunjukkan pukul 22.09. Ah, sudah waktunya untuk pulang dan beristirahat untuk besok berangkat sekolah.
"Bunda sama Ayah kamu mana?" tanya Langit beranjak berdiri sembari memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
Adhara menoleh ke arah pintu tengah, "Bunda, Ayah, Langit mau pamit pulang nih." ujar gadis itu setengah berteriak.
Kedua orangtua Adhara pun keluar dari ruang keluarga sehabis menonton tv tadi.
"Udah malem ya, Lang. Kasian juga kamu lagi demam nggak bagus tidur kemaleman." tutur Sarah tersenyum.
Langit hanya mengulas senyum tipis. "Iya, Tante. Alhamdulillah demam aku udah membaik dan nggak terlalu panas badannya." Jawab lelaki itu sesekali melirik Adhara.
"Huaamm ... Dhara ngantuk nih, gue tidur dulu ya Lang. Maaf banget ya, nggak bisa nganter kamu sampe depan." Kata Adhara menutup mulutnya yang tengah menguap.
Tatapan Langit kini menuju ke Adhara. Ia yakin bahwa Dhara tidak seperti itu biasanya. Adhara adalah seorang penulis yang baik hati, ramah, penyayang dan tentunya sopan. Namun untuk malam ini, sifat tersebut mungkin sedang tidak Adhara perlihatkan karena... Yah, sesuatu yang kini tengah mengganjal pikirannya.
"Aku titip pesan, jangan lupa sholat tahajud di sepertiga malam." Ucapan Langit mengingatkan Dhara untuk beribadah dan meminta petunjuk kepada Tuhan.
Dhara tersenyum tipis, "iya makasih ya. Aku tidur dulu." pamitnya masuk ke kamar meninggalkan Langit dengan kedua orangtuanya.
"Maklumin ya? Anak tante lagi banyak pikiran," sahut Sarah menepuk bahu Langit pelan.
Langit menunduk paham. "Langit tau kok, Tante."
Surya menepuk bahu Langit cukup pelan. "Jangan memulai hubungan lebih dari teman sebelum anak Om selesai dengan masa lalunya."
"Masa lalu Dhara tidak akan pernah hilang, Om. Karena itu sudah menjadi perjanjiannya untuk tidak pernah melupakan apa yang telah terjadi pada tahun itu." Ucapan Langit mendapati senyuman dari Sarah dan Surya.
"Langit pamit, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."