Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Disita
Hanung terbangun di jam malamnya. Sebelum mengambil wudhu, Hanung menyempatkan mengirim pesan ke Gus Zam yang langsung melakukan panggilan video.
"Mas tidak tidur?"
"Assalamu'alaikum Humaira.."
"Wa' alaikumsalam.." Hanung meringis. Saking terkejutnya, ia sampai tidak ingat mengucapkan salam.
"Mas tidak tidur? Kalau disini pukul 3, disana masih pukul 2."
"Tidur. Hanya saja tidak nyenyak."
"Kenapa? Apa ada yang Mas pikirkan?"
"Memikirkan kamu." kata Gus Zam dengan mata yang menatap dalam.
Bukannya menjawab, Hanung justru menangis membuat Gus Zam kebingungan.
"Jangan menangis, Hanung. Aku tak apa-apa."
Hanung masih menangis. Gus Zam pun mengalihkan agar Hanung melaksanakan sholat lebih dulu agar tenang dan tidak terlewat waktu. Hanung menurut dan mengakhiri panggilan mereka.
Dalam sujudnya Hanung berdoa agar semuanya bisa ia lewati dan ia bisa kembali bersama dengan sang suami. Selesai sholat, Hanung menumpahkan tangisannya yang telah ia tahan seminggu ini. Ia menahan perlakuan ayah tirinya yang diktator, saudara tirinya yang melimpahkan semua pekerjaan rumah kepadanya dan Surati yang seolah menutup mata. Tak terasa ia pun terlelap diatas sajadahnya.
"Apa mungkin Hanung tertidur?" Gumam Gus Zam yang tidak mendapatkan jawaban dari panggilannya.
Ketika adzan subuh berkumandang, Hanung terbangun dan segera mengambil wudhu lagi dan melaksanakan sholat subuh. Setelah selesai ia buru-buru ke tempat cuci untuk melanjutkan cuciannya. Mesin cuci berjalan, Hanung ke dapur untuk menyiapkan sarapan.
"Kenapa ini baru dicuci? Aku mau memakainya hari ini!" teriak Lala, adik tiri pertama.
Hanung mengabaikannya. Kemudian terdengar teriakan kembali dari Lili, adik tiri kedua.
"Aku tidak bisa kalau tidak menggunakan ini!"
Sontak saja dua teriakan berturut-turut menarik perhatian Surati dan suaminya, sedangkan Hanung masih acuh. Kedua anak tersebut mengadukan kepada ayah mereka apa yang membuat mereka berteriak pagi-pagi.
"Hanung!" seru Donga.
"Ya." Hanung dengan santai berjalan menghampiri mereka diruang cuci.
"Kenapa kamu baru mencucinya? Bukankah seharusnya tadi malam?" sergah Lala.
"Kenapa tidak kamu cuci sendiri?" jawab Hanung enteng.
"Hanung! Kamu itu kakaknya, kenapa seperti itu kepada adikmu?" Surati bersuara.
"Aku memang kakak mereka, tetapi kakak tiri. Aku seminggu ini hanya diam diperlakukan sebagai pembantu mereka, jadi jangan salahkan aku melakukan pekerjaan ku menyesuaikan suasana hatiku!" Hanung merasa sakit dihatinya, karena sang ibu justru menyudutkannya.
"Tidak sopan!" teriak Donga.
"Kalau Anda merasa saya tidak sopan, silahkan ajari anak Anda untuk mencuci pakaiannya sendiri! Mereka berdua sudah baligh, sudah seharusnya mereka mencuci pakaian yang terkena darahnya sendiri!"
"Tetap saja seharusnya kamu tahu kalau pakaian itu mereka gunakan pagi ini!" Donga masih tidak menyadari kesalahan anaknya.
"Saya tidak tahu dan tidak mau tahu!"
"Plak!" Surati melayangkan tamparan ke arah Hanung.
Hanung memegangi pipinya yang terasa panas, dengan sekuat tenaga menahan tangisnya.
"Jika Ibu membawaku kesini hanya untuk dijadikan pembantu, lebih baik pulangkan aku! Ayah memang tak sekaya Ibu, tetapi Ayah tak pernah memperlakukanku seperti ini."
"Jangan bawa-bawa orang mati!" seru Donga tidak Terima.
"Tahukah kamu, Bu? Aku mengerjakan semua pekerjaan rumah karena aku ingin meringankan bebanmu yang tak ada pembantu. Tetapi anak-anak mu memanfaatkannya, suamimu juga dengan perintahnya mengharuskanku mengerjakan semuanya walaupun aku sudah lelah bekerja di catering. Bayangkan saja, aku harus membuat sarapan dan membersihkan rumah sebelum berangkat bekerja. Dan aku bekerja di catering dari jam 6 sampai jam 5 itu 11 jam, sampai rumah aku masih harus membuat makan malam dan mencuci!" Semua uneg-uneg Hanung selama satu minggu ini keluar begitu saja dengan mengabaikan wajah Donga yang berkerut.
"Maafkan aku, Bu. Kalau ini yang Ibu maksud dengan berbakti, terimakasih. Terimakasih telah memberikan pengalaman sebagai pembantu rumah tangga." imbuh Hanung yang kemudian kembali ke dapur menyelesaikan masakannya.
4 orang yang ada ditempat cuci hanya terdiam. Sedangkan Hanung yang sudah selesai dengan masakannya masuk kedalam kamarnya dan mandi. Tanpa berpamitan, Hanung berangkat ke tempatnya bekerja.
Ia sampai lupa membawa ponselnya. Saat tersadar, ia sudah sampai ditempat kerja dan malas untuk kembali. Hanung pun menggunakan telepon yang ada di catering untuk menelepon Gus Zam.
"Assalamu'alaikum Mas.. Ini Hanung."
"Wa' alaikumsalam.. Ini nomor siapa?"
"Nomor catering, Mas. Hanung lupa bawa ponsel."
"Pantas saja kamu tidak ada membalas ataupun mengangkat panggilan ku."
"Maafkan Hanung ya, Mas."
"Tak apa, yang penting kamu baik-baik saja."
"Iya. Hanung baik, Mas. Hanung bekerja dulu ya, Mas. Nanti Hanung kabari kalau jam makan siang sempat pulang."
"Iya, Hati-hati Humaira ku."
Hanung menutup telepon dengan berat hati. Rasa ingin mengadukan perasaannya saat ini, tetapi ia tak bisa membebani suaminya dengan masalahnya saat ini. Ia pun berdzikir untuk menguatkan hatinya dan bersiap di posisinya.
Semuanya berjalan lancar sampai jam makan siang. Saat Hanung pulang mengambil ponselnya dirumah, ia menemukan kamarnya berbeda dari sebelum ia tinggalkan. Ia memang tak mengunci pintu karena beberapa hari ini pun semuanya aman.
"Kamu kenapa pulang?" tanya Surati.
"Mau ambil ponsel. Apa Ibu masuk ke kamarku?" tanya Hanung tanpa basa-basi.
"Tidak ada salahnya kan kalau Ibu masuk?"
"Tidak ada salahnya. Alangkah baiknya jika Ibu izin dulu kepadaku. Apa Ibu melihat ponselku?" Hanung berusaha tenang.
"Ini? Sedari tadi berisik, jadi Ibu mengambilnya. Tapi Ibu lihat kamu masih berhubungan dengan orang pesantren!"
"Tentu saja berhubungan, dia suamiku."
"Tidak, Hanung! Ibu ada calon yang lebih baik dari dia! Nanti malam orang itu akan datang kerumah. Sebaiknya kamu tidak usah kembali ke catering. Persiapkan dirimu dan masak lah makanan untuk menyambut tamu!" perintah Surati yang melenggang membawa ponsel Hanung.
Seketika Hanung terduduk lemas. Ujian kesabarannya mengahadapi sang Ibu masih berlanjut. Ia pun menguatkan hati. Tak masalah ponselnya diambil, ia bisa membeli baru, Ia tak bisa melewatkan kabar Gus Zam hanya karena ponselnya disita Surati. Hanung pun segera pergi untuk membeli ponsel. Tak susah baginya menemukan counter.
"Yang baru habisan, sisa second saja." kata pemilik counter.
"Tak apa, saya pilih yang ini dan tolong sekalian kartunya."
"Saya bantu aktifkan, tetapi Anda registrasi sendiri dengan NIK dan KK." Hanung mengangguk.
"Maaf, tapi apakah saya bisa membayar menggunakan kartu?" tanya Hanung yang lupa jika dirinya tak memiliki uang cash.
"Maaf. Tidak bisa."
"Apakah ada ATM terdekat?"
"ATM terdekat ada di arah simpang 4."
"Maaf, tapi saya bukan orang sini. Saya tidak tahu jalan."
"Baiklah. Anda aktifkan dulu ponselnya dan install aplikasi mbanking. Saya akan menunggu."
"Terimakasih."
Hanung pun menerima ponsel dari pemilik counter dan segera meregistrasi nomornya. Beruntung Hanung memiliki kebiasaan mencatat angka-angka penting, jadi tak masalah baginya. Hanya saja yang ia masukkan adalah nomor KK lama karena KK yang baru ia belum menerimanya.
Segera setelah registrasi berhasil, Hanung menginstall aplikasi mbanking dan mentransfer uang ke pemilik counter. Hanung sangat bersyukur, ditempat yang tak ia kenal, ia masih dipertemukan dengan orang baik.
"Assalamu'alaikum Mas.. Ini Hanung."
"Wa' alaikumsalam.. Ini nomor siapa lagi?"
"Nomor Hanung, Mas."
"Nomor yang lama kenapa?"
"Nomor lama masih ada, Mas. Hanya saja Hanung ingin pakai nomor baru." jawab Hanung asal.
Gus Zam mulai curiga dengan ucapan Hanung. Siang tadi istrinya mengatakan lupa membawa ponsel dan sekarang mengatakan ingin memakai nomor baru. Ada yang tidak beres!