Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Katarina Cheng Jing
Martha menatap sepasang mata Centhini dengan tatapan yang teduh, penuh kasih dan cinta. Centhini merasa dadanya ingin meledak oleh derasnya rasa tersebut. Kembali ia ingin menangis, bukan karena sedih, tetapi karena sadar bahwasanya hidupnya telah dipenuhi dengan banyak cinta dan kasih, perhatian, sampai ia bingung untuk menempatkannya dimana lagi.
“Mungkin ironis buat menjelaskan ini kepada nyi, tetapi itulah bagaimana cara dunia bekerja, Moi. Setelah nyi diasuh oleh Apo Benjamin, heng datang dan menyelamatkan keadaan ekonomi keluarga. Meski tak lama Apa wafat. Tapi paling tidak semua anak-anaknya pelan-pelan mendapatkan pekerjaan dan mandiri. Itu sebabnya Ama semakin merasa bersalah dan memiliki hutang dengan nyi,” jelas Martha.
“Harusnya Ama tidak perlu merasa seperti itu, Tha Ce. Kalau memang sudah jalannya, apa mau dikata. Toh takdir sudah menunjukkan jalannya. Semua anak Ama Katarina jadi semua. Bahkan aku yang paling bungsu pun mendapatkan kehidupan yang lebih dari layak,” jawan Centhini.
Kedua kakak beradik itu saling berdiri berdampingan di pekarangan belakang. Mereka menatap ke rumah yang pernah ditinggali 14 orang (termasuk orok Centhini) di masa lalu tersebut.
Dihyan memperhatikan keduanya dari jauh, dari dalam rumah, dengan pintu yang terbuka. Ia tidak dapat mendengar apa yang mereka ucapkan, ia pun tak mau. Dihyan sadar betul ini adalah urusan pribadi kakak angkatnya tersebut. Di dalam hati, ia hanya ingin Centhini mendapatkan apa yang membuatnya bahagia, meskipun ia tidak akan dapat menerima bila sampai Centhini meninggalkan keluarga ini untuk alasan apapun yang berhubungan dengan keluarga biologisnya.
“Moi, rumah ini mungkin bukan sebuah rumah yang memiliki harga mahal, bukan sebuah rumah mewah. Tetapi sejarah di dalamnya tak bisa digantikan oleh apapun,” ujar Martha. Wajahnya menunjukkan raut yang serius dan sungguh-sungguh.
Dibalik logatnya yang kental dengan akses Tionghoa dan Melayu, ternyata kata-kata dan kalimat yang diucapkan tersusun dengan baik, dewasa dan terpelajar. Centhini lega mendapati kenyataan ini. Mungkin sekali mendiang Amanya juga sangat mempertimbangkan pendidikan bagi anak-anaknya.
“Setelah Ama yakin bahwa anak-anaknya dapat berdiri sendiri dengan mandiri, Ama memutuskan untuk … ehm … untuk mewariskan rumah ini kepada nyi, Moi.”
Centhini mengernyit. “Hah? Untuk apa, Ce?”
“Seperti yang ngai katakan tadi, ini berhubungan dengan perasaan Ama yang mungkin merasa bahwa nyi tidak sempat mendapatkan apa-apa dari Ama dan Apa. Anak-anak yang lain sudah mampu menghidupi diri sendiri dan keluarga mereka, sedangkan nyi saat itu masih kecil dan diasuh oleh orang lain, tidak mendapatkan cinta, tidak mendapatkan harta”
“Tapi, aku baik-baik saja, Ce. Keluarga Bapak, eh … Apo Ben sangat baik. Aku sudah menjadi anak mereka. Tidak hanya perhatian, cinta dan kasih, mereka juga menyekolahkan aku dengan baik. Aku tidak kekurangan apa-apa, Ce.”
Martha mengangguk-angguk paham. “Ngai paham wo, Moi. Ngai paham. Tapi ngai juga mau nyi paham mengapa Ama berpikir seperti itu. Sudah bertahun-tahun ngai dan cece-cece menjaga dan melestarikan rumah ini, menunggu nyi pulang. Cece dan koko pun tak akan keberatan kalau nyi memutuskan untuk menjual rumah ini, atau apapun yang nyi mau lakukan. Seperti yang ngai bilang wa, Moi, rumah ini mungkin tak memiliki nilai ekonomi yang luar biasa, tetapi sebagai anak, ngai, cece dan koko, merasa perlu melakukan tugas, permintan Ama kita. Dan ngai percaya, nyi juga tidak akan keberatan dengan permintaan Ama kita tersebut.”
“Tapi … ini terlalu besar, Ce. Tanggung jawab yang diberikan untuk memiliki rumah ini tidak main-main,” ujar Centhini.
Martha tertawa. Ia merengkuh bahu adiknya itu. “Ng mo kiang, wa, Moi. Jangan takut. Ada ngai, ada cece dan koko, ada Apo Ben dan keluarga. Nanti saja dipikirkan soal itu. Ngai cuma menyampaikan permintaan Ama. Semua keluarga kita tahu dan setuju, kok. Sekarang, lebih baik kita pergi ke makam Apa dan Ama di bukit sana dahulu. Laporan bahwa nyi sudah sampai.” Martha berbalik dan menunjuk ke arah perbukitan yang masih tertutup dengan pepohonan.
Centhini menghela nafas. Martha kembali merengkuh bahu Centhini dan mempereratnya, sembari mengelus-elus punggungnya. “Ngai sangat senang bisa bertemu dengan nyi,” ujarnya.
Centhini menangkap ketulusan dari raut wajah kakaknya itu. Kembali, aliran rasa memenuhi dadanya. Awalnya tadi ia seperti ini, sebelum dikejutkan dengan fakta bahwa ia baru saja diberikan warisan. Namun, sejenak kemudian, ia kembali diberikan angin segar dari senyuman yang mengembang dari wajah sang kakak.
“Aiyoooh …., haiyaaa …. Anak dara sampai pula waaa … an ciang amoi!” seru seorang perempuan.
Centhini melihat seorang perempuan yang mungkin berusia 30-an, setengah berlari setengah berjalan tergopoh-gopoh dari dalam rumah ke arahnya. Di belakangnya ada Benjamin dan Maryam yang tersenyum lebar.
Perempuan itu memeluk Centhini dengan brutal, erat dan penuh dengan perasaan yang meledak tanpa dapat di tahan. Ia terisak, kemudian menangis. Setelah memeluk, ia menangkupkan kedua telapak tangannya di kedua pipi Centhini, kemudian memandangnya lekat-lekat. “Nyi mirip Ama waktu muda, Moi. Cantik, lebih an ciang malahan. Aiyooh ….”
Centhini meringis, kemudian melirik ke arah Martha.
Martha tertawa. “Ini juga cece nyi. Ng Ying Xiu, Ajun, alias Juninda Ngamini. Panggil saja Jun Ce. Dia tinggal di atas sana. Woi, Ce, kok bisa kesini?” tanya Martha kepada Ajun setelah menjelaskan kepada Centhini siapa gerangan.
“Ngai sengaja mau lihat rumah, wa. Rupa-rupanya ada lihat Aji Maryam wa dari jauh. Tak mungkin salah. Tak berubah an ciangnya Aji Maryam. Ngai langsung punya pikir kalau Aji Maryam sama Apo Ben ada bawa xiao Bong, Bong kecil,” ujar Ajun. Ia masih belum melepaskan tangkupan tangannya di wajah Centhini. Bahkan sembari menjawab pertanyaan Martha, Ajun masih terus memandangi wajah Centhini.
Centhini tersenyum. Memegang tangan Ajun, kemudian memeluknya. “Makasih ya Jun Ce,” ujarnya.
Beberapa menit kemudian, ketiga adik kakak tersebut masih terus-terusan terlarut di dalam rindu kangen. Dihyan, Benjamin dan Maryam kemudian ikut serta. Mereka saling memberikan informasi singkat tentang kedatangan mereka, tentang Centhini, tentang Dihyan.
“Jadi, sebenarnya, nyi jiu kit cek se fo, Apo Ben?” tanya Ajun kepada Benjamin menggunakan bahasa Khek.
Benjamin menunjuk ke arah Centhini dan Dihyan. “Dua, hanya dua. Centhini dan Dihyan.”
Centhini dan Dihyan saling pandang. Mereka berbagi sinyal dengan makna yang sama. Darimana Benjamin bisa memahami bahasa Khek?
“Ayan siong ooo, ganteng macam bapaknya,” ujar Ajun.
Dihyan tersenyum. Baru kali ini ia dipuji perempuan asing.
Centhini tertawa dan menutup mulutnya.
Dihyan langsung terganggu dengan perilaku kakaknya tersebut. “Opo sih, Mbak. Ra seneng aku dipuji?” gerutu Dihyan.
“Kowe sadar ra kalau dipanggil Ayan tadi? Yan, ayan … “
Dihyan mendelik, kemudian menjambak rambut kakaknya.
knp tak cerita ke Bapaknya wae yaak, Benyamin itu... mungkin lebih paham. awas Yan jngn mengartikan sendiri ntar salah arti lohhh