Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima Belas - Memberikan Kesempatan Kedua
Setelah perdebatan semalam, Amara tahu suaminya itu tidak tidur di kamarnya, karena setelah berdebat dengannya, suaminya keluar kamar, dan Amara memilih untuk tidur.
Amara menuruni anak tangga, ia yakin suaminya pasti tidur di ruang kerjanya, karena di sana ada sofa yang cukup nyaman untuk tidur. Namun, betapa terkejutnya Amara saat melihat Alvaro sudah memakai pakaian rapi, dan duduk di depan meja makan menunggu dirinya turun dari kamar. Ini masih pagi sekali, pemandangan yang jarang Amara lihat, karena selama bekerja Amara keluar kamar pagi-pagi sekali, sebelum suaminya bangun.
Bi Asih juga ada di ruang makan sedang menata sarapang. “Ibu mau sarapan apa? Roti panggang atau nasi goreng?” tanya Bi Asih.
“Aku mau berangkat langsung saja, Bi,” jawabnya, lalu mengambil susu di atas meja yang sudah dibuatkan Bi Asih. Ia meneguknya hingga tandas.
“Duduk!” Alvaro mememinta Amara dengan tegas, dan dingin. Hingga Amara sedikit takut mendengar perintah Alvaro, apalgi melihat wajahnya yang dingin itu. Amara akhirnya langsung duduk di sebelah Alvaro.
“Bi siapkan sarapan buat Amara!” perintahnya pada Bi Asih.
“Baik, Pak,” ucap Bi Asih.
“Gak usah, Bi! Aku gak mau sarapan, bekal milikku saja bawa sini, aku bisa terlambat kalau harus sarapan dulu!” ucap Amara dengan menata Alvaro.
“Aku sudah meminta izin pada atasanmu, hari ini kamu tidak usah berangkat bekerja!” ucap Alvaro dengan santai, tapi penuh penekanan.
Amara membulatkan matanya saat mendengar perkataan suaminya tadi.
“Jangan seenaknya ambil keputusan begitu dong, Mas? Nanti apa tanggapan mereka, kalau anak baru sudah berani izin tanpa surat izin yang jelas?” protes Amara.
“Kamu tidak usah memikirkan hal tidak penting itu!”
“Tapi itu penting bagi aku, Mas!”
“Sudah, nurut saja! Kita akan pergi ke suatu tempat, kamu harus ikut!” tegas Alvaro.
Amara hanya menuruti perintah suaminya. Setelah sarapan selesai, dia ikut dengan suaminya, entah suaminya mau mengajak dirinya ke mana, Amara tidak tahu, dia tidak peduli mau diajak ke mana oleh suaminya saat ini.
Amara menatap Varo saat Varo membelokkan mobilnya ke sebuah rumah sakit ternama di kotanya. Alvaro mengajak dirinya turun, lalu Alvaro tanpa ragu menggandang tangannya. Entah Alvaro mau apa ke rumah sakit, terlintas dipikiran Amara, kalau suaminya mengajak dia ke rumah sakit untuk menjenguk kerabatnya yang sakit, dan harus membawa istrinya.
Namun, saat Alvaro membelok di salah satu ruangan, dan itu ruangan dokter, pikiran Amara berubah, Alvaro ke sini bukan untuk menjenguk kerabatnya, melainkan menemui seorang Dokter. Amara melihat papan nama dokter di pintu, pikiran Amara sudah tidak karuan, apa yang akan suaminya lakukan dengan dokter yang ada di dalam sana.
“Pagi, Dok,” sapa Alvaro.
“Kalian sudah datang? Ayo, silakan duduk,” ucap seorang Dokter perempan di balik meja kerjannya, dengan terseyum ramah pada Varo dan Amara.
“Bagaimana? Kalian sudah memutuskan untuk melepasnya?” tanya Dokter itu.
“Iya, Dok. Seperti yang dibicaraka kemarin, saya dan istri saya sepakat untuk melepasnya,” jawab Alvaro. Amara hanya menatap Dokter dan Suaminya itu dengan bingung.
“Varo .... Varo .... gak usah formal-formal gitu lah, kayak sama siapa saja. Kita ini berteman sudah sangat lama sekali, masa begitu banget? Okay, kalau kalian sudah sepakat, semoga dengan keputusan kalian, akan ada berita baik setelahnya,” ucap Sandra, Dokter spesialis kandungan yang sedang sangat terkenal. Dia adalah teman Varo semasa SMA, sampai sekarang mereka masih menjalin silaturahmi sesama.
“Hai, perkenalkan saya Sandra, Dokter kandungan di rumah sakit ini, sekaligus teman suami kamu semasa SMA,” ucap Sandra dengan mengulurkan tangannya pada Amara. Amara pun menyambut uluran tangan Sandra dengan ramah, walaupun sebetulnya ia masih bingung dengan keadaan sekarang.
“Amara Khairunisa,” ucapnya.
“Baiklah, kalau begitu, kita langsung saja melakukan pemeriksaannya,” ucap Sandra.
“Ehm ... sebentar, Dok. Boleh saya bicara dulu dengan suami saya?”
“Oh silakan,” ucap Sandra.
Amara mengajak suaminya keluar. Amara tidak tahu maksud suaminya itu apa. Mereka bicara di depan ruangan Dokter Sandra.
“Ini apa maksudnya sih, Mas?” tanya Amara dengan bingung.
“Aku pikir, ini sudah saatnya kita melepaskan alat kontrasepsi,” jawab Alvaro lugas.
“Aku tidak mau! Aku sudah tidak ingin memiliki anak, Mas! Lagian kita ini mau bercerai sebentar lagi, jangan sampai anak kita nanti yang jadi korban kedua orang tuanya yang egois memilih jalan perceraian!” ucap Amara.
Amara tidak mau ada pengikat di antara mereka, karena bagaimana pun Amara tahu suaminya itu belum bisa lepas dari masa lalunya. Amara takut jika seandainya Varo jadi menikahi Cindi, tentunya jika ada anak dari dirinya, pasti akan berebut perhatian dengan Anaknya Cindi.
“Mas mohon kali ini, Ara, percayalah pada Mas, Mas gak akan menikahi wanita lain, siapa pun wanitanya, mau Cindi atau siapa pun, mas gak akan menikah lagi,” ucap Alvaro dengan penuh keyakinan, untuk meyakinkan Amara.
“Apa Mas mencintiku?” tanya Amara.
Alvaro hanya diam, dia tidak tahu mau menjawab apa. Seketika pikirannya dibuat bingung oleh pertanyaan Amara itu. Amara tersenyum ringkih, ia tahu kenapa suaminya diam tidak menjawab pertanyaannya. Sudah pasti tidak ada cinta di hati Alvaro untuknya. Suaminya hanya terpaksa saja, supaya dirinya tidak pergi, karena dirinya masih butuh Amara untuk menyalurkan hasratnya, sebelum menikahi Cindi.
Dulu ke mana saja? Dulu kenapa langsung meminta Amara memasang alat kontrasepsi setelah melakukan malam pertama. Dan saat malam pertama pun Alvaro melakukannya dengan mengeluarkannya di luar. Amara masih teringat akan hal itu, bagaimana Alvaro tidak ingin memiliki anak darinya.
“Jangan memaksakan, Mas. Aku tahu, Mas sama sekali tidak menginginkan semua ini. Entah motif apa yang sedang Mas sembunyikan dariku, kenapa tiba-tiba Mas ingin melepaskan alat penunda kehamilan yang sudah tiga tahun ini terpasang,” ucap Amara dengan tatapan sendu.
“Aku akan berusaha mencintaimu, aku mohon kamu bersabar, Ara. Besabarlah sampai saat itu tiba, sampai saat di mana aku mencintaimu,” ucap Alvaro.
Amara tersenyum ringkih mendengar penuturan suaminya itu. Secara tidak sadar, Alvaro menegaskan bahwa selama ini di hatinya sama sekali tidak ada Amara. Selama ini tidak ada sedikit pun rasa untuk Amara. Tiga tahun lamanya, bukan waktu yang singkat, tapi di hati Alvaro sedikit pun tidak tumbuh benih cinta yang sudah berusaha Amara tanamkan selama itu.
“Mau sampai kapan aku harus bersabar lagi? Tiga atau lima tahun lagi? Sedangkan kita sudah bersama selama tiga tahun, dan selama itu sedikit pun hatimu tidak terbuka untukku. Aku harus menunggu berapa lama lagi? Berapa tahun lagi, Mas? Aku tidak sanggup untuk itu,” ucap Amara dengan terisak. Amara sudah tidak tahan menahan tangisnya. Terlalu sakit jika Amara ingat perjuangnnya selama ini, untuk menarik hati suaminya, supaya mencintainya.
Alvaro meraih tubuh Amara. Dipeluknya Amara. Dadanya sesak melihat Amara menangis seperti itu.
“Maafkan aku, Ara ... Aku mohon padamu, berikan aku kesempatan sekali lagi, untuk menebus semua kesalahanku. Aku mohon, Amara ... Aku janji akan belajar mencintaimu, dan menjaga pernikahan kita,” ucap Alvaro dengan tulus.
Amara akhirnya setuju untuk melepaskan alat kontrasepsi itu, walaupun dirinya masih ragu dengan suaminya. Namun, ia percaya dan mencoba untuk memberikan kesempatan sekali lagi pada Alvaro.