Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Aku melihat wajah Bibik yang sedih dan merasa tidak tega untuk melihatnya dalam keadaan seperti itu.
Karena rumah Ibu memang kecil dan tak semewah rumah yang dulu kami tinggali bersama Adnan. Namun, begitu aku menyampaikan maksudku kepada.
Dengan mata berkaca-kaca, bibik menatapku. Senyum pahit terlukis di wajahnya, menandakan rasa sedih yang mendalam namun juga harapan.
"Terima kasih, non," ujarnya dengan suara bergetar. Aku merasa hatiku seperti ditusuk-tusuk melihatnya seperti itu.
Aku menghampiri bibik, menggenggam tangannya yang sudah banyak melalui suka dan duka bersamaku. "Bibik harus sabar ya, sebentar lagi aku akan mencari rumah baru. Bibik pasti bisa bekerja lagi dengan aku," kataku mencoba menenangkan.
Senyum bibik sedikit mengembang, secercah harapan menyala dalam tatapannya. "Saya tunggu kabar baiknya, ya Non," jawabnya lembut.
Aku membuka tasku, mengambil beberapa lembar uang yang telah kusiapkan sebagai uang pesangon untuknya. Bibik menolaknya awalnya, namun aku bersikeras.
"Ini untuk bibik, sebagai tanda terima kasihku atas semua jasa-jasa bibik selama ini," aku menekankan.
Dengan ragu, bibik menerima uang tersebut. "Semoga Allah membalas kebaikanmu, Non," katanya, matanya berkaca-kaca lagi.
Aku memeluknya, berusaha memberikan sedikit kenyamanan. "Semua akan baik-baik saja, Bibik. Aku janji," bisikku. Bibik hanya mengangguk, membalas pelukanku dengan erat. Meski berpisah untuk sementara, ikatan kami tetap terjaga.
Aku melepaskan pelukan hangat Bibik dan segera meneguk teh yang telah dibuatnya. Dibalik rasa hangat teh, aku merasakan kehangatan yang berbeda yang jauh lebih dalam.
Bibik beranjak masuk ke dalam rumah dan tak berapa lama kemudian kembali bersama Naura. Aku sadar, sudah saatnya aku dan Naura kembali ke rumah karena hari semakin malam.
"Naura, aku harap kamu tadi baik-baik saja," gumamku dalam hati, berusaha menenangkan diri sendiri sekaligus meyakinkan bahwa Naura pasti telah menikmati waktu bersama Bibik.
Ketika kami bersiap masuk ke mobil, keluarga Bibik turut ke luar untuk berpamitan. Naura tersenyum lebar dan mengucapkan terima kasih kepada Bibik.
"Daaaah Bibik, terima kasih ya nasi jagung sama ikan asinnya sangat lezat, Naura menyukainya," serunya dengan mata bersinar.
Aku merasa lega karena Naura nampak bahagia. Aku menekan klakson mobil sebagai tanda perpisahan, dan memulai perjalanan kami melewati jalanan ibu kota di malam hari.
"Terima kasih, Bibik," gumamku dalam hati, merasa berterima kasih atas segala yang sudah Bibik lakukan untuk kami hari ini.
Selama perjalanan, Naura dengan antusias menceritakan kebaikan keluarga bibik, dan aku pun menjadi pendengar yang setia bagi putri kecilku itu. Namun, setelah selesai bercerita, Naura tampak bingung dengan jalanan yang kami lalui.
"Mah, kok kita nggak pulang?" tanyanya heran.
"Gak nak," jawabku sambil tersenyum, mencoba menyembunyikan rasa kecewa dan kekhawatiran di hati.
"Kita mau ke rumah nenek, ya?" tanya Naura penuh semangat.
Aku mengangguk dan menjawab, "Iya nak."
Aku lalu menatap putri kecilku itu, berusaha menemukan jawaban mengapa ia tampak begitu tegar dan bahagia meski harus berpisah dengan ayahnya, Adnan.
"Asyik, bisa ke rumah nenek. Naura jadi punya teman main," ucap Naura penuh sukacita.
Hatiku tersentuh saat mendengar itu. Mungkin, Naura tak terlalu bersedih berpisah dengan Adnan karena sebenarnya ia sudah kehilangan ayahnya jauh sebelum perpisahan ini.
Adnan sibuk dengan pekerjaannya dan juga perselingkuhannya. Entah mengapa, aku merasa bersyukur karena setidaknya Naura masih memiliki keceriaan dan harapan yang cukup untuk membuatnya tetap tegar menghadapi kenyataan ini.
Naura bernyanyi dengan riang, begitu bahagianya ia bisa sampai di rumah Nenek. Begitu tiba di depan rumah, Naura langsung membuka pintu mobil dan berseru, "Nek! Nenek! Naura datang!" dengan suara yang sangat ceria.
Aku tersenyum mendengarnya, kemudian turun dari mobil dan membuka bagasi untuk menurunkan barang-barang kami. Pintu rumah Nenek segera terbuka, dan wajahnya terlihat sangat terkejut sekaligus bahagia melihat kedatangan Naura dan diriku.
Tyas, adikku, segera bergerak membantu membawa barang bawaan kami, lalu kami semua masuk ke dalam rumah.
"Loh, kalian mau menginap kok gak bilang-bilang?" tanya Nenek dengan rasa penasaran.
"Kejutan dong, Nek," sahut Naura dengan polos.
Nenek tersenyum lebar, lalu mencium gemas pipi Naura sambil berkata, "Cucu Nenek yang manis ini."
Aku duduk di sofa sambil memperhatikan interaksi mereka. Nenek segera menyuruh Tyas mengajak Naura ke ruang televisi, seakan tahu apa yang sedang ku rasakan saat itu.
Aku pun menghela nafas dalam-dalam, berusaha meresapi kebahagiaan yang dirasakan oleh Naura, sambil berpikir,
"Semoga momen seperti ini bisa selalu kita nikmati bersama. Kebahagiaan sederhana ini, cukup membuatku merasa damai di hati."
Ibu duduk di sebelahku, air mata ini tidak bisa kutahan lagi. "Apa yang terjadi, Rania?" tanya ibu dengan suara lembut penuh kepedulian.
Aku tak mampu menahan rasa sedih yang semakin dalam, lalu bercerita tentang semua permasalahan yang kuhadapi, termasuk keputusanku untuk bercerai dengan Adnan.
Ibu mendengarkan dengan seksama setiap keluh kesahku, mencoba mengerti apa yang aku rasakan saat ini. Di tengah amukan perasaan ini, aku bertanya-tanya apakah keputusanku benar atau tidak, apakah cerai adalah solusi terbaik.
"Apapun itu, ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kamu, nak. Karena kamu yang menjalani," seru ibu dengan suara lirih namun tegas.
Aku mengangguk mengerti, merasa sedikit lebih tenang karena dukungan ibu. "Yasudah sekarang kamu istirahat dulu di kamar Tyas, biar dia tidur dengan ibu di depan televisi," ujar ibu, mencoba menenangkanku.
"Aku mau tidur di depan televisi juga, kangen masa-masa kecil aku, buk," seruku sambil menggenggam tangan ibu, mencari kehangatan dan kasih sayang yang dulu pernah kurasakan.
"Baiklah," sahut ibu dengan senyum yang hangat, membuat hatiku merasa lebih baik dan kembali mendapatkan kekuatan untuk menghadapi cobaan ini.
Rumah Ibu memang kecil, hanya memiliki satu kamar dan terbuat dari kayu, namun pada masa lalu rumah ini begitu hangat dan menyenangkan bagiku.
Kami berempat bercanda dan tertawa di ruang televisi, kebahagiaan yang sempat terlupakan karena masalah dalam hidup.
Saat kelelahan menyapa, Tyas masuk ke kamarnya, sedangkan aku, Ibu, dan Naura memilih tidur di ruang televisi dengan alas kasur busa tipis yang sangat sederhana.
Ketika Ibu dan Naura terlelap, aku belum bisa tertidur, pikiranku masih terus menggulirkan berbagai rencana untuk keluargaku.
Aku ingin menciptakan hidup yang lebih baik, dan rumah yang lebih layak untuk kami tinggali. "? Rumah ini sungguh menghangatkan hati, tapi aku harus memboyong ibu dan tyas ikut bersamaku?" tanyaku pada diriku sendiri.
Dalam kebimbangan itu, aku mulai mengirim pesan ke Sumi agar dia segera mencari rumah baru yang mewah, lebih dari rumah Adnan yang sekarang ia tinggali.
****