Mengisahkan tentang perjalana kehidupan seorang anak bernama Leonel Alastair yang berasal dari keluarga Von Adler. Kecintaannya pada musik klasik begitu melekat saat dia masih kecil, demi nama keluarga dan citra keluarganya yang sebagai musisi.
Leonel menyukai biola seperti apa yang sering dia dengarkan melalui ponselnya. Alunan melodi biola selalu membawanya ke masa masa yang sangat kelam dalam hidupnya.
Namun perlahan seiringnya waktu berjalan, kehidupan dan minatnya berubah. Dengan bantuan seorang kakak angkat Raehan dia memiliki tujuan baru, dengan tujuan tersebut dia bertemu seseorang yang menempati hatinya.
Bromance!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: "Bayang-Bayang Kakek"
Hari-hari Leonel perlahan kembali suram setelah percakapan dengan Gento. Hubungan mereka yang sempat hangat kini terasa semakin jauh. Namun, seiring waktu, ada satu sosok yang membuat semuanya lebih buruk—Kakek.
Kakek Leonel, seorang pria tua yang keras dan tanpa basa-basi, baru saja pindah sementara ke rumah mereka. Usia senja tidak membuat lidahnya melunak. Setiap kali Leonel memegang biola, Kakek selalu hadir dengan kritik tajam yang menusuk lebih dalam dari yang Leonel kira. Apa yang awalnya hanyalah sikap dingin dari Gento, kini menjadi serangan langsung dari Kakek, seolah Leonel tak pernah benar-benar pantas mendapat tempat di keluarganya.
Suatu pagi, Leonel sedang memainkan biola di ruang latihan. Nada-nada yang ia keluarkan terdengar sedikit tersendat, hasil dari latihan yang terganggu oleh pikirannya yang bercampur aduk. Tiba-tiba, pintu terbuka dan Kakek masuk, dengan tatapan tajamnya yang langsung membuat Leonel merasa terpojok.
"Kenapa suaranya kayak kucing diperas, Leonel?" tanya Kakek dengan nada sinis.
Leonel berhenti sejenak, menurunkan biolanya. "Aku masih latihan, Kek."
"Latihan? Hah! Dari kecil kamu memang nggak punya bakat di musik, dan sekarang kamu mau coba-coba biola? Buang waktu. Kamu cuma bikin bising," Kakek mendengus, sambil berjalan mendekati Leonel.
Leonel mencoba menahan perasaannya, tapi ucapan Kakeknya menusuk terlalu dalam. "Tapi Mama bilang aku sudah semakin baik," jawabnya dengan suara pelan.
"Jangan cuma percaya omongan ibumu. Dia sibuk dengan pertunjukan-pertunjukannya dan nggak tahu apa yang benar-benar penting," Kakek menyeringai. "Musik itu untuk orang-orang yang punya bakat, bukan buat kamu."
Leonel menunduk, menghindari tatapan Kakek yang tajam. Rasa panas mulai menjalar di dadanya. Ia mencintai biola. Setiap kali ia bermain, meskipun dunianya terasa kacau, ada rasa tenang yang selalu datang. Tapi sekarang, rasa itu tergantikan oleh rasa sakit yang mendalam.
Sore itu, suasana rumah tak jauh berbeda. Mama masih sibuk dengan persiapan pertunjukan musiknya, sementara Papa, seperti biasa, tidak ada di rumah. Ia sedang berada di London untuk urusan bisnis. Julian, kakaknya, duduk di ruang tamu, membaca buku tanpa peduli pada apa yang terjadi di sekitar. Gento, seperti biasanya, sibuk dengan dunianya sendiri, lebih memilih keluar bersama teman-temannya daripada menghadapi kenyataan di rumah.
Leonel, yang baru saja selesai makan malam, berencana untuk kembali berlatih. Ia berjalan melewati ruang tamu ketika suara Kakek tiba-tiba menghentikannya.
"Kamu mau main biola lagi?" Kakek menyindir dengan suara yang keras. "Kenapa kamu nggak coba lakukan sesuatu yang lebih berguna? Kamu bukan anak kecil lagi, Leonel. Waktumu harusnya dihabiskan untuk hal-hal yang bisa bikin keluargamu bangga, bukan cuma duduk di pojok main alat musik yang nggak akan bawa kamu ke mana-mana."
Leonel menggigit bibirnya, menahan amarah. "Aku suka biola, Kek. Aku cuma mau jadi lebih baik."
Kakek tertawa kecil, penuh sarkasme. "Suka? Hah! Kamu cuma mencari perhatian. Itu semua. Kamu ingin mereka memandangmu seperti mereka memandang Julian atau bahkan Gento. Tapi kamu salah, Leonel. Mereka peduli pada mereka karena mereka bisa buat sesuatu yang nyata, bukan cuma main biola."
Julian yang ada di ruang tamu hanya diam, tidak menggubris percakapan antara Leonel dan Kakek. Ia seolah membiarkan semua kata-kata itu mengalir begitu saja, tanpa membela atau melindungi adiknya. Sementara itu, Gento yang baru pulang dari luar hanya lewat begitu saja, menatap Leonel dengan pandangan dingin tanpa kata, seolah memperkuat ucapan Kakek yang meremehkan.
Leonel merasa tubuhnya bergetar, tetapi bukan karena takut—melainkan amarah yang semakin menumpuk di dalam dadanya. Ia menatap Kakeknya dengan mata yang penuh kesedihan, tapi ia tak mengatakan apapun. Kata-kata itu seperti rantai yang mengikatnya, membuatnya lumpuh. Perlahan, Leonel berbalik menuju ruang latihannya, meninggalkan suasana yang semakin menyesakkan.
Seminggu berlalu, dan Leonel merasa semakin terasing. Setiap kali ia berlatih, Kakek selalu datang dengan kritik. Ucapannya yang dingin dan menyakitkan terus berputar di kepala Leonel. Bahkan, sekarang Leonel merasa setiap nada yang ia mainkan penuh keraguan. Tidak ada lagi kedamaian dalam biola, hanya perasaan tertekan yang tak pernah hilang.
Saat malam itu tiba, Leonel duduk sendirian di kamar, merenung. Pikirannya melayang pada hari-hari sebelumnya, ketika ia mulai merasa diterima oleh keluarganya. Tapi kini, semuanya seperti menghilang. Gento selalu menyalahkannya, Kakek terus merendahkannya, dan Mama terlalu sibuk untuk melihat apa yang terjadi di rumah.
Saat ia menatap biola yang tergeletak di meja, Leonel merasakan gelombang putus asa. Ia meraih biola itu dengan tangan gemetar, mencoba memainkannya, tapi nadanya terasa sumbang. Tidak ada lagi harmoni. Semua yang ia coba keluarkan dari alat musik itu terasa hampa.
Leonel menutup matanya, menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha mengingat kenapa ia mencintai biola. Kenapa setiap nada dulu terasa seperti bagian dari dirinya. Tapi suara-suara di sekitarnya—Kakek, Gento, bahkan kesunyian Julian—semua itu menghapuskan perasaan itu.
Di saat itu, Leonel mulai bertanya pada dirinya sendiri: apakah ia benar-benar bisa melanjutkan? Apakah ini semua layak diperjuangkan? Ia ingin percaya pada dirinya, tetapi bayang-bayang keluarga yang terus menyalahkannya membuatnya merasa terasing dan tersesat.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Leonel berpikir untuk meletakkan biolanya—untuk selamanya.