Bayangkan terbangun dan mendapati dirimu dalam tubuh yang bukan milikmu. Itulah yang terjadi padaku setiap kali matahari terbit. Dan kali ini, aku terperangkap dalam tubuh seorang pria asing bernama Arya Pradipta. Tidak ada petunjuk tentang bagaimana aku bisa ada di sini, atau apakah ini hanya sementara. Hanya ada kebingungan, ketakutan, dan kebutuhan untuk berpura-pura menjalani hidup sebagai seseorang yang tak kukenali.
Namun, Arya bukan orang biasa. Setiap hari aku menggali lebih dalam kehidupannya, menemui teka-teki yang membuat kisah ini semakin rumit. Dari panggilan misterius, kenangan yang menghantui, hingga hubungan Arya dengan seorang gadis yang menyimpan rahasia. Di setiap sudut hidup Arya, aku merasakan ada sesuatu yang menunggu untuk ditemukan, sesuatu yang lebih besar dari sekadar tubuh yang kumiliki sementara.
Dalam perjalanan ini, aku menyadari bahwa kehadiranku dalam tubuh Arya bukanlah kebetulan. Ada kekuatan yang menyeret
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rendy Purnama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33: Cobaan Terakhir
Hubungan kami seolah telah mencapai titik yang lebih dewasa. Setelah semua kebohongan dan ketakutan terungkap, aku merasa lebih yakin bahwa kami telah mencapai tingkat kepercayaan yang lebih dalam. Namun, layaknya badai yang selalu datang tiba-tiba, sebuah kejadian yang tak terduga muncul dan mengguncang keyakinanku.
Suatu pagi, Arya tampak gelisah. Ia mengatakan bahwa ia harus pergi keluar kota untuk sebuah pertemuan bisnis mendadak. Meski ia sudah berkali-kali meyakinkan bahwa ini hanyalah urusan pekerjaan, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda kali ini. Entah kenapa, naluriku mengatakan bahwa ada hal yang disembunyikan.
“Aku hanya akan pergi selama dua hari. Setelah itu, aku kembali seperti biasa,” katanya dengan senyum meyakinkan. Namun, ada kegelisahan di matanya yang tak bisa ia sembunyikan.
Aku mencoba untuk tidak berpikiran buruk dan percaya pada apa yang ia katakan. Setelah ia pergi, aku berusaha mengalihkan perasaan tidak nyaman dengan menyibukkan diri, tetapi rasa cemas tetap menggerogoti pikiranku.
***
Di hari pertama Arya pergi, aku merasa kesepian. Setiap suara dering telepon membuatku was-was, berharap itu adalah pesan darinya. Namun, tak ada kabar yang ia kirimkan, seolah-olah ia sedang berusaha menjaga jarak. Hingga akhirnya, sebuah pesan masuk di ponselku, tetapi bukan dari Arya.
“Apakah kamu tahu di mana Arya sekarang?” tulis pesan itu, dikirim oleh Sinta.
Aku terkejut sekaligus bingung. Kenapa Sinta menanyakan hal ini? Bukankah Arya sudah tidak ada urusan pekerjaan lagi dengannya?
Aku mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. “Arya sedang ada pertemuan bisnis di luar kota. Kenapa kamu bertanya?”
Sinta membalas dengan cepat, “Karena tadi aku melihat dia bersama seorang wanita. Mereka tampak sangat akrab, dan aku tidak yakin apakah ini hanya urusan bisnis.”
Pesan itu membuatku merasa seperti ditampar. Apakah mungkin Arya sedang berselingkuh? Apakah semua yang kami perjuangkan selama ini hanya sia-sia?
Aku berusaha keras menahan air mataku. Aku tidak ingin gegabah mengambil kesimpulan, tetapi kata-kata Sinta seakan mengoyak hatiku. Aku mencoba menenangkan diri, berpikir dengan jernih, namun amarah dan ketidakpercayaan terus menguasai pikiranku.
***
Malam harinya, aku memutuskan untuk menghubungi Arya, meski aku tahu risikonya. Jika benar yang dikatakan Sinta, maka aku harus siap menerima apa pun kenyataannya.
Telepon berdering beberapa kali sebelum akhirnya ia mengangkat.
“Halo, sayang,” katanya dengan suara yang terdengar sedikit lelah. “Ada apa?”
Aku menahan napas sejenak sebelum menjawab. “Arya, aku ingin bertanya sesuatu. Apakah kamu benar-benar ada urusan bisnis di luar kota, atau ada hal lain yang kamu sembunyikan dariku?”
Ada jeda sejenak. “Kenapa kamu bertanya seperti itu? Tentu saja aku ada urusan bisnis,” jawabnya dengan nada defensif.
“Lalu, kenapa ada orang yang melihatmu bersama seorang wanita?” Aku langsung mengatakan apa yang kutahu, meskipun takut pada responsnya.
Arya terdiam. Aku bisa merasakan kegugupannya di balik keheningan itu.
“Aku bisa jelaskan,” katanya pelan. “Wanita itu adalah klienku dari perusahaan lain. Aku hanya bertemu dengannya untuk membicarakan proyek baru.”
Aku ingin percaya padanya, tetapi ada sesuatu dalam nadanya yang membuatku ragu.
“Kenapa kamu tidak memberitahuku sebelumnya?” tanyaku dengan suara yang mulai bergetar.
“Aku tidak ingin kamu salah paham. Aku pikir lebih baik tidak mengatakan apa pun, supaya kamu tidak khawatir,” katanya.
Kata-katanya membuatku semakin ragu. Jika memang tidak ada yang disembunyikan, kenapa ia harus berbohong? Kenapa ia tidak bisa bersikap terbuka sejak awal?
***
Dua hari berlalu dengan perasaan tak menentu. Ketika Arya pulang, aku berusaha memasang wajah tenang, meski hatiku penuh luka. Kami berbicara seperti biasa, tetapi aku merasakan jarak yang tak terlihat di antara kami.
Hingga suatu malam, ketika aku sedang memeriksa ponsel Arya untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan situasinya, aku menemukan sebuah pesan dari nomor yang tak dikenal. Pesan itu hanya berisi kata-kata sederhana namun menghancurkan.
“Terima kasih untuk waktu yang menyenangkan. Aku berharap bisa bertemu lagi.”
Hatiku hancur seketika. Semua kepercayaan yang kubangun perlahan runtuh. Aku berusaha untuk tidak menangis, tetapi air mataku jatuh tanpa bisa ditahan. Arya mencoba menjelaskan, mengatakan bahwa itu hanya kesalahpahaman, tetapi aku tahu bahwa ada lebih dari sekadar pertemuan bisnis.
***
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku terbaring dengan pikiran kacau, merasa seperti seluruh dunia ini telah berbalik melawan diriku. Apakah semua perjuangan kami selama ini sia-sia? Apakah cinta yang kami bangun ternyata hanya ilusi?
Aku memutuskan untuk memberikan Arya kesempatan terakhir. Jika ia benar-benar ingin memperbaiki hubungan ini, maka aku butuh kepastian, bukan lagi janji-janji yang kosong.
“Jika kamu benar-benar mencintaiku, buktikan,” kataku tegas saat kami berbicara keesokan harinya.
Arya menatapku dengan mata penuh penyesalan. “Aku akan melakukan apa pun yang kamu inginkan. Aku tidak akan membiarkanmu pergi.”
Aku mengangguk, meski hatiku masih bimbang. Kami memutuskan untuk menjalani konseling, berharap ada solusi yang bisa memperbaiki hubungan ini. Meski aku tidak tahu apakah kepercayaan ini bisa benar-benar dipulihkan, aku ingin mencoba, demi cinta yang pernah begitu kuat.
Bab ini adalah titik nadir dalam hubungan kami, di mana semua rasa sakit dan pengkhianatan mencapai puncaknya. Namun, aku tahu bahwa jika kami berhasil melewati ini, maka cinta kami akan semakin kuat, atau mungkin… ini adalah akhir dari segalanya.