NovelToon NovelToon
Lelaki Di Persimpangan Mimpi

Lelaki Di Persimpangan Mimpi

Status: tamat
Genre:Tamat / Lari dari Pernikahan / Konflik etika / Selingkuh / Penyesalan Suami / Tukar Pasangan
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: She Amoy

Pernikahan Raina dan Riko menjadi kacau karena kehadiran mantan kekasih Raina. Terlebih lagi, Riko yang sangat pencemburu membuat Raina tidak nyaman dan goyah. Riko melakukan apapun karena tidak ingin kehilangan istrinya. Namun, rasa cemburu yang berlebihan itu perlahan-lahan membawa bencana. Dari kehidupan yang serba ada menjadi tidak punya apa-apa. Ketakutan Riko terhadap banyak hal membuat kehidupannya menjadi konyol. Begitu pun dengan istrinya Raina, Ia mulai mempertimbangkan kelanjutan pernikahan mereka. Masa depan yang diinginkan Raina menjadi berubah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She Amoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Judi Online

Aku mengutak-ngatik lagi aplikasi tersebut. Terakhir kali dia bermain adalah tadi malam. Dapat disimpulkan, selama ini Riko bermain judi setiap malam. Pantas saja, dia selalu menggunakan earphone. Jika aku masih terjaga, Riko sibuk mengamati podcast para artis. Setelah aku tidur, disitulah aksinya dimulai.

Teh panas yang kuteguk berulang-ulang sampai habis, tak mampu meredam kekecewaanku pagi ini. Amarah dan sakit hati kurasakan sendiri sambil menatap Arkana yang tertidur dengan mulut menganga. Sebelum kukembalikan ponsel itu pada tempatnya. Sudah kusimpan bukti-bukti yang cukup dari hasil screenshoot tadi. Tak ada niat menuntut, kalaupun aku dan Riko ditakdirkan berpisah, aku sudah tak ingin apa-apa.

Aku hanya ingin membawa Arkana. Aku tidak akan meminta biaya untuk anak atau harta apapun. Rasanya, melihat kenyataan seperti ini saja, aku ingin menganggap Riko tak ada di dunia ini.

Bagaimana aku akan membahas ini nanti? Tenaga saja aku tak punya, apalagi harus berdebat. Di kamar Arkana, seharusnya tak boleh ada airmata. Tetapi aku merasa harus mengadu, harus berbagi kesakitan yang semakin sesak. Kenapa aku terlalu banyak berharap pada manusia? Mengapa aku selalu bermimpi Riko akan berubah?

Suara Arkana membangunkanku. Biasanya setiap bangun tidur, Arkana akan menangis minta dipeluk. Tapi pagi ini, dia hanya tertegun, melihat ibunya bersimbah airmata. Ia, balita yang seharusnya tumbuh dalam keluarga tenang dan bahagia, terpaksa mendengar pertengkaran dan tangisan ibunya sejak dalam kandungan. Ia, anak yang seharusnya mendapat perhatian penuh, seringkali tersisih karena kesibukan ibunya yang dituntut keadaan untuk bekerja. Meskipun tidak setiap hari bekerja, aku sering merasa bersalah pada Arkana.

Aku bergegas membuat susu formula. Kupastikan suhunya tidak terlalu panas. Sambil kembali masuk ke dalam kamar Arkana, aku melihat Riko mulai menggeliat. Buru-buru langkahku menuju Arkana yang sedang menunggu.

“Lagi apa?” suara Riko yang tiba-tiba di depan pintu kamar tentu saja membuatku terkejut. Aku menoleh sebentar dan kembali menemani Arkana minum susu.

“Ditanya kok nggak dijawab? Marah? Kenapa? Salah apa aku?”

Aku tetap diam. Kutahan airmata yang sebentar lagi menelusuri pipi.

“Rainaa! Diitanya bukannya jawab!” bentakan yang cukup keras itu membuat Arkana menangis.

“Mas, kan keliatan aku lagi kasih susu Arkana. Buat apa dijawab?”

“Kamu kenapa diam aja? Marah sama aku?” Dengan keras kepala, Riko tetap mendesakku yang sejak semalam berdiam di kamar.

“Kamu ngomong dong! Atau jangan-jangan kamu berubah gara-gara punya teman baru di pekerjaan? Siapa? Bos yang suka sama kamu?”

Aku tetap diam. Percuma, dijawab apapun dia tidak akan percaya. Dia hanya mempercayai pikirannya sendiri.

“Siapa nama atasan kamu itu? aku bisa aja melabrak dia!” Riko menjadi emosi. Itulah, mengapa ada pepatah, jika seseorang sulit percaya orang lain artinya dia sering dibohongi atau membohongi orang lain.

Seperti halnya hari ini. Begitu banyak kebohongan yang Riko sembunyikan. Jika saat ini semuanya sudah terbongkar, mungkin ini adalah petunjuk dari Tuhan agar aku meninggalkan Riko.

“Kamu punya akun M-Banking baru buat apa?” aku balik bertanya. Sebelum Riko mengajukan pertanyaan lain yang tidak masuk akal.

Dia terdiam dan sejenak berpikir.

“Mana, akun mana? Oh yang itu, itu urusan kerjaan. Buat jual beli mobil. Aku lagi kerjasama sama teman!” Riko mengambil segelas air ke dapur. Mungkin dia harus bersiap untuk pertanyaan selanjutnya.

“Oh ya? Top up-top up itu, kerjasama juga?” tanyaku sambil mendekat.

“Lalu digunakan untuk judi? Lalu apa lagi? Utang, rumah, ruko, anak hasil perbuatan kamu di masa lalu, dan sekarang judi?” lanjutku sambil mengatur nafas.

“Berapa banyak lagi kebohongan yang kamu sembunyikan, Mas? Apa aku kurang sabar selama ini dengan tidak meminta apa-apa dari kamu? Bahkan aku mencoba membantu dengan bekerja. Apa aku kurang usaha untuk memperbaiki keuangan kita? Setiap kebutuhan yang kurang, apa kamu tahu? Semuanya selalu aku tutupi.” Aku mulai menahan sesak yang ingin segera keluar ini.

Riko terdiam dan tidak lama, seperti biasa dia mulai menangis.

“Aku tahu aku salah … maafkan aku. Aku melakukan semua ini untuk kita. Aku pikir dengan bermain judi, aku bisa menambah penghasilan. Bukannya kamu tahu usahaku sedang sepi, sedangkan Eyang juga sudah angkat tangan.” Isak Riko sambil memegang tanganku.

“Menambah penghasilan? memangnya aku minta apa? Lipstik saja udah enggak pernah beli. Aku minta apa sampai kamu harus judi? Dan soal usaha, apa kamu bisa sedikit berpikir Mas? Gimana enggak sepi, bangun tidur aja jam sepuluh!” nafasku semakin cepat. Ingin rasanya kujambak rambutnya karena utang yang menumpuk dan judi onlinenya itu.

“Ya.. ya .. aku tahu. Aku minta maaf!”

Riko berlalu, masuk ke dalam kamar mandi. Tanpa sadar, sedari tadi aku berteriak. Dan teriakanku itu tidak menghasilkan apa-apa. Riko tidak memberi solusi apapun. Kata maaf itu hanya sebuah kata tanpa tindakan yang berarti.

Aku masuk menghampiri Arkana yang masih tertidur. Kurapikan baju-bajunya ke dalam koper, peralatan mandi, handuk, dan botol susu tak lupa kusiapkan. Setelah ini selesai, aku juga akan mengemas baju-baju dan beberapa peralatan kerja yang harus dibawa. Sepertinya, keputusanku sudah bulat. Aku harus pulang ke Bogor.

Meskipun dada ini masih begitu sesak, aku harus tetap bertenaga. Sisa nasi kemarin di atas meja makan, kulahap ditemani abon sapi yang tinggal sedikit. Setelah itu, aku bergegas mencuci piring dan menyapu lantai. Kupastikan tidak ada baju kotor dan baju yang perlu disetrika.

Riko mungkin tidak menyadari pergerakanku ketika membereskan baju-baju. Dia tetap sibuk dengan ponselnya. Menghapus semua bukti yang sebenarnya sudah tersimpan di ponselku. Hari ini juga, aku harus pulang ke Bogor. Jika dia tidak mau mengantar, aku akan pergi dengan Arkana. Tak akan kupedulikan pertanyaan Ibu nanti, yang penting aku dan Arkana membutuhkan ketenangan.

Kudorong koper besar dan kecil ke depan pintu. Ditambah satu tas berisi laptop dan tas kecil yang sudah kuselempangkan. Arkana sudah bangun dan minum susu sepuluh menit yang lalu.

“Mau kemana?” Riko terkejut melihat koper-koper itu. Mungkin dia heran kenapa aku bisa semarah ini. Dia memang sering menyepelekan amarahku. Selama ini, aku selalu menjadi istri yang penurut. Meski kadang-kadang, patuh dan bodoh itu tipis perbedaannya.

“Mau pulang ke Bogor!” jawabku dengan ketus.

“Sayang, jangan kaya gini, kasihanlah sama aku. Aku minta maaf, kali ini yang terakhir, aku janji enggak akan bohong lagi!”

Riko mulai menahanku dengan tangisannya. Rasanya sudah yang kesekian kali aku mendengar kata ‘terakhir’ dan ‘janji’ itu dari mulut Riko. Wajar bukan jika aku sudah tidak percaya lagi. Jika selama ini, Riko yang tidak pernah percaya denganku, kali ini aku juga demikian. Aku sudah tidak mempercayai apapun lagi.

“Ya aku maafkan Mas! Kamu enggak salah, aku yang salah karena enggak bisa bertahan dengan kamu. Aku yang lemah tidak bisa mempertahankan rumah tangga kita. Aku minta maaf karena aku sudah tidak punya tenaga untuk hidup bersama dengan kamu.”

Entah dari mana kata-kata itu berasal. Yang jelas, aku tidak ingin menyalahkan manusia bebal seperti Riko. Lebih baik aku menyalahkan diriku sendiri.

“Tolonglah sayang! Maafkan aku ya! Aku janji enggak akan seperti ini lagi. Kamu jangan pergi ya sayang!”

“Enggak bisa Mas, maaf. Aku mau pulang. Kalau kamu enggak bisa antar, aku akan pulang sendiri!”

Akhirnya, Riko mengantarku dan Arkana pulang ke Bogor. Aku tahu ini keputusan yang berat, tapi demi kesehatanku dan Arkana, aku benar-benar butuh tempat untuk menenangkan diri.

Sore itu, awan begitu murka. Suara petirnya menemani perjalanan kami menuju rumah orangtua. Parung-Bogor, sebuah desa yang sebenarnya cukup asri. Setidaknya di tempat kami. Di desa Putat Nutug itu, pohon-pohon bambu cukup ampuh menghalau debu yang berasal dari gunung kapur. Ditambah truk-truk pengangkut batu, debu itu tak mungkin tidak mampir ke teras-teras rumah yang berjejer di pinggir jalan.

Dan sore itu, debu-debu berhenti terbang. Dikalahkan hujan yang semakin badai. Sebadai airmata yang tak berhenti mengalir. Sederas sesak yang semakin sakit. Luka ini perlu sembuh atau disembuhkan. Tentu saja, senyuman Ibu, Aksa, dan Arkana akan mampu mengobati luka.

Riko benar-benar hanya mengantar. Selepas magrib, ia kembali pulang ke Jakarta. Ibu sempat bertanya mengapa tidak menginap. Dengan alasan sibuk karena pekerjaan, akhirnya ibu memaklumi menantu yang kadang-kadang dibicarakan di belakang kami.

Malam itu, aku tidak ingin bercerita apa-apa dengan Ibu. Aku hanya ingin tidur di samping Aksa dan Arkana. Ah, rasanya, hanya berada di antara mereka saja, semua masalah yang kuhadapi tidak seberapa. Mengapa Riko tidak pernah mengerti dengan kebutuhan ini. Kebutuhan seorang ibu yang selalu ingin dekat dengan anaknya. Andai saja kebutuhan itu terpenuhi, mungkin aku akan lebih sabar menghadapi Riko.

“Mamih, rumahnya pindah ke sini?” Aksa tiba-tiba bertanya malam itu. Sesaat sebelum aku memejamkan mata.

“Memangnya kenapa?” tanyaku lagi.

“Enggak apa-apa. Aksa seneng banget kalau mamih pindah ke sini.”

Aku terdiam. Sudah berapa lama aku tidak mendengarkan keinginan anak yang satu ini. Sudah berapa tahun aku abai dengan harapannya?

1
pembaca setia
bagus ih ceritanya. ayo lanjutkan Thor
Fathan
lanjut thor
Fathan
bagus banget ceritanya. relate sama kehidupan nyata dan gak lebay.
Fathan
pusing banget tuh anak
Fathan
bodoh
Fathan
tinggalin ajaaa
Fathan
rAina bodoh
Fathan
ngeselin rikooo
Fathan
menarik nih, seru
Fathan
rapi bahasanya
pembaca setia
ceritanya menarik. mengungkap sebuah kejujuran perasaan penulis. Bahasa rapi dan minim typo. rekomendid novelnya
Sunshine🤎
1 like+subscribe untuk karya mu Thor. semangat trus sering² interaksi dan tinggalkan jejak di karya author lain, dan jangan lupa promosiin karya agar popularitas meningkat/Good/
SheAmoy: makasih kakak
total 1 replies
anggita
like👍+☝iklan buat author.
SheAmoy: makasih kak
SheAmoy: makasih banyak kakak
total 2 replies
SheAmoy
thanks kak
Necesito dormir(눈‸눈)
Makin lama makin suka, top deh karya thor ini!
SheAmoy: makasih kaka
total 1 replies
Black Jack
Saya benar-benar tenggelam dalam imajinasi penulis.
pembaca setia: menarik banget nih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!