Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.
Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.
Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perut Lapar dan Harapan di Tengah Kesulitan
Suasana malam itu mulai hening ketika jamaah satu per satu pulang ke rumah mereka masing-masing. Namun, ada satu hal yang tidak bisa diabaikan oleh banyak orang, perut mereka yang keroncongan. Kekeringan yang berkepanjangan membuat persediaan makanan semakin menipis. Ustadz Abdullah sendiri merasakan perutnya berkeroncong, tetapi ia tetap berusaha menunjukkan ketenangan di hadapan jamaah.
Beberapa orang tetap tinggal di sekitar masjid, berbincang tentang kelaparan yang mereka alami. Salah seorang warga, Pak Soleh, mendekati Ustadz Abdullah dengan wajah lelah. “Ustadz, entah kenapa akhir-akhir ini perut saya rasanya tidak pernah kenyang, padahal makan sedikit saja sudah terasa berat. Apa ini ujian yang Allah berikan kepada kita?”
Ustadz Abdullah mengangguk dengan lembut, memahami kondisi yang dihadapi warga. “Pak Soleh, kita semua mengalami hal yang sama. Ini adalah ujian bagi kita. Kekeringan ini bukan hanya ujian fisik, tapi juga ujian kesabaran dan iman kita. Kita harus tetap kuat dan tawakal kepada Allah.”
Pak Soleh tersenyum pahit. “Iya, Ustadz. Tapi kadang-kadang perut yang lapar itu membuat otak tidak bisa berpikir jernih. Apalagi kalau melihat bayangan makanan... Kadang pare di kebun saya terlihat seperti mangga matang.”
Ustadz Abdullah tertawa kecil. “Itu mungkin karena fatamorgana, Pak Soleh. Dalam kondisi seperti ini, tubuh kita sering kali mempermainkan pikiran kita. Tapi ingat, pare itu pahit, jangan sampai tertipu.”
Beberapa jamaah yang mendengar percakapan itu ikut tertawa. “Kalau saya, Ustadz,” sahut Bu Mirna, “lihat daun pisang pun rasanya seperti daging ayam goreng. Sampai-sampai anak saya pernah tanya, ‘Bu, kok daunnya nggak digoreng aja?’”
Tawa kembali pecah di tengah keterbatasan mereka. Meski perut mereka kosong, semangat kebersamaan masih terus hidup. Ustadz Abdullah merasa bersyukur melihat betapa masyarakatnya bisa saling mendukung dalam masa-masa sulit ini. Namun, ia juga tahu bahwa mereka tidak bisa terus-terusan mengandalkan humor untuk mengatasi rasa lapar yang semakin parah.
“Saudara-saudaraku,” kata Ustadz Abdullah, “kita harus segera mencari solusi untuk masalah makanan ini. Apakah ada di antara kalian yang tahu sumber makanan yang bisa kita manfaatkan, walaupun sederhana?”
Pak Darto, seorang petani yang sudah berumur, mengangkat tangannya. “Ustadz, saya dengar dari orang-orang di desa sebelah, ada beberapa tanaman liar di hutan yang masih bisa dimakan. Mungkin kita bisa mencoba mencarinya.”
“Bagus sekali, Pak Darto. Kita bisa mengirim beberapa orang untuk memeriksa. Tapi ingat, kita harus tetap berhati-hati, karena kondisi hutan saat ini juga tidak bisa diprediksi,” balas Ustadz Abdullah.
Perut-perut yang lapar mulai mendapatkan sedikit harapan dengan adanya rencana itu. Beberapa orang mulai membicarakan strategi untuk pergi ke hutan esok hari, mencari makanan apapun yang bisa mereka temukan. Meski penuh tantangan, mereka tidak menyerah begitu saja.
Sebelum pulang, Ustadz Abdullah menutup pertemuan dengan sebuah doa. “Ya Allah, Engkau Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Kami mohon, berikan kami kekuatan untuk menghadapi cobaan ini. Berikanlah kami rezeki yang cukup dan jauhkan kami dari segala marabahaya. Amin.”
Malam itu, meski lapar masih melilit, setidaknya harapan mulai tumbuh di hati mereka.
Harapan di Tengah Penderitaan
Di bawah langit malam yang cerah dan dingin, beberapa jamaah masih berkumpul di sekitar masjid, sebagian karena tak kuasa menahan rasa lapar, sebagian lagi karena hati mereka masih dipenuhi kekhawatiran tentang masa depan. Wajah-wajah mereka tampak lelah, tidak hanya karena fisik yang letih, tetapi juga mental yang terbebani oleh kesulitan berkepanjangan.
Tiba-tiba, dari arah belakang, seorang pemuda yang tubuhnya kurus kering dengan wajah pucat mendekati Ustadz Abdullah. Ia tampak menahan air mata yang nyaris tumpah, tapi suaranya gemetar saat akhirnya ia bertanya, “Ustadz... kalau di surga, apa kita bisa makan enak?”
Pertanyaan itu mengguncang hati semua orang yang mendengarnya. Suasana yang tadinya hening menjadi sangat tegang, seolah semua jamaah terpaku oleh perasaan yang sama. Kerinduan akan nikmat yang pernah mereka rasakan, dan harapan tentang kehidupan setelah dunia yang keras ini.
Pemuda itu semakin tak kuasa menahan tangisnya. “Saya lelah, Ustadz... Saya lapar... Sudah berhari-hari kami hanya bisa minum air dan sedikit makanan yang hampir busuk... Apa di surga, Ustadz, kita bisa makan sepuasnya? Apakah Allah akan menghapus semua penderitaan ini?”
Ustadz Abdullah menarik napas panjang, matanya berkilat menahan keharuan. Pertanyaan itu begitu tulus, begitu menyentuh hati. Ia pun mendekati pemuda itu, menepuk lembut pundaknya sebelum berbicara.
“Saudaraku,” kata Ustadz Abdullah dengan suara yang penuh ketenangan, “di surga, tidak ada lagi lapar, tidak ada lagi dahaga. Allah menjanjikan nikmat yang tak pernah habis di sana. Kita akan makan sepuasnya, dengan makanan terbaik yang tak pernah kita bayangkan di dunia ini.”
Mata semua jamaah tertuju pada Ustadz Abdullah. Mereka menyimak setiap katanya, seolah-olah apa yang diucapkannya adalah harapan terakhir yang bisa mereka genggam.
“Surga itu penuh kenikmatan,” lanjutnya. “Buah-buahannya manis, air sungainya jernih dan segar, dan kita bisa makan apapun yang kita inginkan tanpa pernah merasa kenyang atau lapar lagi. Setiap kali kita makan, rasanya akan selalu nikmat, lebih nikmat daripada apapun yang pernah kita rasakan di dunia. Semua penderitaan yang kita alami sekarang, semua rasa sakit ini, hanya sementara. Surga adalah tempat bagi orang-orang yang sabar dan tetap beriman meski di tengah kesulitan.”
Pemuda itu menunduk, air mata menetes di pipinya, tapi kali ini ia tersenyum kecil, seolah menemukan ketenangan dalam kata-kata Ustadz Abdullah. “Terima kasih, Ustadz,” bisiknya, suara masih serak.
Seorang ibu yang duduk di sampingnya juga mulai menangis. Ia mengusap wajahnya dengan ujung jilbabnya. “Ya Allah... semoga kami semua diberi kesempatan merasakan nikmat surga itu. Rasanya hidup ini semakin berat, tapi jika di surga semua penderitaan ini berakhir, kami akan terus bersabar.”
Suasana menjadi haru. Beberapa orang lainnya ikut terisak. Meskipun mereka telah mendengar tentang surga berkali-kali, dalam kondisi seperti ini, janji-janji tentang surga seolah menjadi satu-satunya penghiburan yang nyata.
Ustadz Abdullah kembali menenangkan mereka dengan bijak. “Ingatlah saudara-saudaraku, setiap kesulitan yang kita hadapi di dunia ini akan diganjar oleh Allah dengan pahala yang besar. Ketika kita menahan lapar dan haus, ketika kita tetap bersabar dalam kondisi yang sangat sulit, Allah melihat semua itu. Jangan pernah hilang harapan. Sebab harapan adalah cahaya di tengah kegelapan.”
Semua yang hadir mulai berzikir bersama-sama. Suara lirih zikir mereka menyatu dengan suara angin malam, memberikan sedikit ketenangan di tengah kelelahan yang mereka rasakan.
Malam itu, meskipun perut mereka masih kosong, hati mereka sedikit lebih ringan dengan harapan yang diberikan oleh janji Allah tentang surga. Mereka tahu bahwa meskipun dunia ini penuh dengan cobaan, ada kehidupan yang jauh lebih baik menanti mereka jika mereka tetap teguh dalam iman dan kesabaran.
Penyesalan dan Harapan
Di tengah malam yang semakin hening, setelah zikir yang khusyuk, suasana masjid mulai sedikit tenang. Namun, masih ada kegelisahan yang terasa di hati jamaah. Beberapa dari mereka duduk merenung, sebagian lagi saling berbisik pelan tentang perasaan takut dan harapan yang baru saja dibicarakan oleh Ustadz Abdullah.
Tiba-tiba, di antara mereka, seorang lelaki paruh baya yang duduk di sudut masjid, wajahnya terlihat memerah karena menahan tangis. Ia tampak sangat terguncang, seolah ada beban berat yang ia pendam selama ini. Dengan suara yang serak dan gemetar, ia akhirnya memberanikan diri untuk bertanya kepada Ustadz Abdullah.
"Ustadz..." suaranya bergetar, hampir tak terdengar. Semua mata kini tertuju padanya. "Ustadz, aku ingin sekali masuk surga... tapi... dosaku banyak sekali..." Ia menunduk, dan air mata yang sudah lama ia tahan akhirnya jatuh deras di pipinya. Wajahnya semakin merah karena malu dan rasa bersalah.
Semua orang yang ada di situ terdiam. Pertanyaan itu begitu dalam dan menyentuh. Banyak dari mereka, meskipun tak berani mengatakannya, merasakan hal yang sama. Kegelisahan tentang dosa-dosa yang pernah mereka lakukan, kesalahan yang mungkin tak terampuni. Dan sekarang, melihat lelaki itu menangis, beberapa dari mereka pun mulai terisak pelan.
Ustadz Abdullah berjalan mendekati lelaki itu, wajahnya tenang tapi penuh rasa empati. Ia duduk di sampingnya, lalu menepuk lembut bahunya. “Saudaraku,” kata Ustadz Abdullah dengan suara lembut namun penuh keyakinan, “Setiap orang di dunia ini pasti punya dosa. Tidak ada manusia yang sempurna, dan tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Tapi ingatlah, rahmat Allah itu jauh lebih besar daripada dosa-dosa kita.”
Lelaki itu masih terisak, tak mampu mengangkat wajahnya. Ustadz Abdullah melanjutkan, “Allah itu Maha Pengampun, saudaraku. Sebesar apapun dosa yang kita miliki, selama kita bertobat dengan sungguh-sungguh, selama kita memohon ampun dengan hati yang tulus, Allah akan mengampuni kita. Bahkan jika dosa kita setinggi gunung, rahmat Allah lebih luas dari langit dan bumi.”
Lelaki itu mencoba menenangkan dirinya, tetapi air matanya terus mengalir. “Tapi, Ustadz... dosa-dosaku... aku terlalu banyak melakukan hal yang salah. Aku takut, aku benar-benar takut... Bagaimana jika Allah tidak mengampuni aku?”
Ustadz Abdullah tersenyum lembut, lalu menjawab, “Saudaraku, selama engkau masih bernapas, pintu tobat itu selalu terbuka. Allah tidak akan pernah menolak hamba-Nya yang datang kepada-Nya dengan hati yang penuh penyesalan. Kita manusia memang sering melakukan kesalahan, tapi Allah menyukai orang-orang yang bertaubat, yang kembali kepada-Nya. Jangan pernah putus asa dari rahmat-Nya.”
Suasana semakin haru. Beberapa jamaah yang mendengar pun mulai terisak. Kata-kata Ustadz Abdullah seolah memberi harapan baru, sebuah cahaya di tengah kegelapan hati mereka yang selama ini dipenuhi oleh rasa bersalah dan dosa.
"Rasulullah pernah bersabda," lanjut Ustadz Abdullah, "Bahwa siapa pun yang meneteskan air mata karena penyesalan atas dosa-dosanya, Allah akan menghapus dosa-dosanya seperti daun yang gugur dari pohon. Dan Allah berjanji dalam Al-Qur'an, 'Katakanlah, wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.' (QS. Az-Zumar: 53)."
Lelaki itu mendongak perlahan, matanya yang memerah kini dipenuhi harapan. Ia mengusap wajahnya yang basah dengan ujung lengan bajunya, meskipun tangisnya belum sepenuhnya berhenti, ada sedikit ketenangan yang mulai ia rasakan.
“Jadi, saudaraku,” Ustadz Abdullah menatap lelaki itu dalam-dalam, “Selama engkau benar-benar menyesal, selama engkau memohon ampun kepada Allah dengan hati yang tulus, Allah pasti akan mengampunimu. Tak perlu takut lagi, karena pintu taubat itu selalu terbuka. Dan setelah itu, perbaiki hidupmu, jalani dengan kebaikan, dan bersiaplah untuk menyambut rahmat-Nya.”
Lelaki itu mengangguk pelan. Senyumnya mulai tampak meski masih dibalut kesedihan. Ia merasa beban berat di pundaknya sedikit demi sedikit terangkat. Dengan suara yang masih parau, ia berkata, “Terima kasih, Ustadz... terima kasih...”
Ustadz Abdullah tersenyum. “Tidak ada yang perlu engkau khawatirkan, saudaraku. Kita semua adalah hamba yang berusaha kembali kepada-Nya. Jangan pernah putus asa dari rahmat Allah.”
Suasana menjadi tenang kembali. Jamaah lainnya yang mendengar percakapan itu, ikut merenung dalam hati. Mereka tersadar bahwa, betapapun banyaknya dosa yang telah dilakukan, Allah selalu memberi kesempatan untuk kembali. Harapan itu selalu ada, selama hati masih mau bertobat dan memperbaiki diri.
Malam itu, dalam ketenangan yang penuh keharuan, banyak dari mereka yang diam-diam meneteskan air mata. Bukan karena takut lagi, melainkan karena mereka menyadari bahwa Allah, dengan segala rahmat-Nya, masih memberi mereka kesempatan untuk berubah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Harapan Seorang Pria yang Tersisih
Di tengah suasana yang mulai lebih tenang setelah percakapan emosional sebelumnya, muncul seorang pria yang duduk di pojokan, wajahnya kusam, dengan kulit yang hitam legam. Ia adalah seorang pria berusia sekitar 35 tahun. Penampilannya tampak tak terurus, hidungnya sedikit berair karena pilek yang sepertinya sudah lama tak sembuh. Tubuhnya kurus, rambutnya kering dan kusut. Meski begitu, ia dikenal di antara jamaah sebagai orang yang sangat rajin beribadah. Shalat lima waktu tak pernah ia tinggalkan, bahkan sering kali ia datang lebih awal ke masjid sebelum adzan berkumandang.
Namun, ada satu hal yang menjadi sorotan banyak orang tentang dirinya. Pria itu belum menikah. Di usia yang sudah dewasa, ia sering dipandang rendah oleh banyak orang karena penampilannya yang dianggap tak menarik dan kekurangan fisiknya. Sebagian orang bahkan sering membicarakannya di belakang, membuat candaan yang tak jarang menyakiti hatinya. Tapi ia tetap sabar, tetap menjaga keimanan dan ketaatannya kepada Allah.
Malam itu, setelah mendengar ceramah Ustadz Abdullah tentang surga, ketenangan, dan ampunan Allah, pria itu tampak gelisah. Seolah ada sesuatu yang ia pendam selama ini. Akhirnya, ia memberanikan diri untuk mengangkat tangan dan bertanya.
"Ustadz..." Suaranya pelan, terdengar ragu-ragu. Beberapa orang di sekelilingnya langsung menoleh. "Saya ingin bertanya..." Pria itu menghela napas dalam-dalam, seakan mencari keberanian untuk melanjutkan. “Di dunia ini, saya belum pernah menikah, Ustadz...”
Sebagian jamaah mulai memperhatikan dengan seksama. Mereka tahu kisah pria ini. Beberapa dari mereka sudah menebak ke arah mana pertanyaannya akan berlanjut.
Pria itu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, namun jelas terdengar penuh rasa sakit. "Setiap kali saya mencoba mendekati seorang wanita, mereka selalu menolak saya. Mereka sering menertawakan saya, menganggap saya hina karena saya jelek dan miskin." Matanya mulai memerah, ada genangan air mata yang ia tahan, mencoba untuk tidak menangis di depan jamaah.
Lalu dengan suara yang sedikit bergetar, ia bertanya, "Ustadz, apakah nanti di surga, aku juga akan diberi istri? Apakah ada kesempatan bagi orang seperti aku ini untuk merasakan kebahagiaan yang tidak pernah aku dapatkan di dunia?"
Tiba-tiba, tawa kecil terdengar dari beberapa sudut masjid. Beberapa jamaah tak kuasa menahan tawa mereka, merasa pertanyaan pria itu aneh atau mungkin lucu. Namun, ada juga yang tampak simpati, memahami bahwa pria ini benar-benar berbicara dari hati yang terluka.
Ustadz Abdullah, yang sedari tadi mendengarkan dengan seksama, segera melambaikan tangan untuk menenangkan tawa yang terdengar. Ia menatap pria itu dengan penuh empati. Hatinya tergerak oleh kesedihan yang terpancar dari wajah lelaki malang tersebut.
"Saudaraku," Ustadz Abdullah memulai dengan suara lembut namun penuh kehangatan, "Allah tidak pernah menilai manusia dari penampilan fisiknya, dari kekayaan, atau dari hal-hal duniawi yang sering kali kita nilai di dunia ini. Allah menilai kita dari hati kita, dari amal ibadah kita, dan dari keikhlasan kita dalam beribadah kepada-Nya."
Pria itu menunduk, mendengarkan dengan seksama.
"Di surga," lanjut Ustadz Abdullah, "setiap hamba yang masuk ke dalamnya akan mendapatkan segala kenikmatan yang tidak pernah terbayangkan di dunia ini. Termasuk jodoh yang terbaik, pasangan yang akan menjadi pendamping kita dalam kebahagiaan abadi. Jadi, jangan khawatir, saudaraku. Jika engkau terus beriman dan beramal shaleh, Allah pasti akan memberimu kebahagiaan yang sempurna di akhirat, termasuk istri yang jauh lebih baik daripada yang bisa engkau bayangkan di dunia ini."
Pria itu masih menunduk, tetapi ada kilatan harapan di matanya. Beberapa jamaah yang tadinya tertawa kini terdiam, merasa malu atas reaksi mereka sebelumnya. Mereka mulai melihat pria itu dengan pandangan yang berbeda, bukan lagi sebagai sosok yang rendah, tapi sebagai seorang hamba Allah yang sama seperti mereka, yang juga mengharapkan rahmat dan kasih sayang dari Sang Pencipta.
“Di dunia ini, mungkin banyak orang yang menilai kita dari hal-hal yang terlihat,” Ustadz Abdullah melanjutkan, “Tapi di akhirat nanti, yang dinilai adalah ketakwaan kita. Dan engkau, saudaraku, telah menunjukkan ketakwaan yang luar biasa dengan ketaatanmu kepada Allah. Jangan pernah merasa hina hanya karena penilaian manusia. Di sisi Allah, engkau sangat berharga.”
Suasana masjid menjadi sangat hening. Tak ada lagi tawa, hanya renungan dalam hati masing-masing jamaah. Mereka semua teringat bahwa dalam pandangan Allah, kekayaan, penampilan, dan status sosial bukanlah penentu nilai seseorang. Yang paling penting adalah hati dan amal mereka.
Pria itu mengangkat wajahnya perlahan, matanya yang tadi dipenuhi kesedihan kini mulai bersinar dengan harapan baru. Ia mengangguk pelan, berusaha menahan air mata yang masih ingin mengalir. “Terima kasih, Ustadz... terima kasih...”
Ustadz Abdullah tersenyum, menepuk bahu pria itu lembut. “Tidak perlu berterima kasih, saudaraku. Kita semua sama di hadapan Allah. Yang penting sekarang adalah terus beribadah, terus berharap pada rahmat-Nya, dan yakinlah, kebahagiaan abadi itu menanti kita di surga.”
Pria itu tersenyum lemah, namun terlihat lebih tenang. Jamaah lainnya yang tadinya menertawakan kini merasa bersalah, beberapa dari mereka mulai mendekati pria itu, mengulurkan tangan dan menunjukkan rasa simpati.
“Maafkan kami, saudaraku,” kata salah seorang dari mereka, “Kami tidak bermaksud menertawakanmu. Kami hanya tidak tahu betapa beratnya beban yang engkau rasakan.”
Pria itu mengangguk pelan, menerima uluran tangan mereka. Meskipun ia masih merasa malu, ada rasa lega yang perlahan tumbuh di dalam hatinya. Malam itu, meskipun ia belum menemukan jawaban pasti atas nasibnya di dunia, ia mendapatkan secercah harapan tentang akhirat yang menjanjikan. Di dunia yang sering kali keras terhadapnya, ia kini tahu bahwa Allah tidak pernah meninggalkannya.