Cintailah pasanganmu sewajarnya saja, agar pemilik hidupmu tak akan cemburu.
Gantungkanlah harapanmu hanya pada sang pencipta, niscaya kebahagiaan senantiasa menyertai.
Ketika aku berharap terlalu banyak padamu, rasanya itu sangat menyakitkan. Kau pernah datang menawarkan kebahagiaan untukku tapi kenapa dirimu juga yang memberiku rasa sakit yang sangat hebat ?
~~ Dilara Annisa ~~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda Yuzhi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saya Diet
Jarum jam menunjukan pukul 4.00 pagi. Dilara menggeliatkan tubuhnya yang terasa berat, seperti ditimpa sesuatu.
" Eeuhmm... Ini apa sih ? Desahnya mengeluh. Nyawanya belum terkumpul sempurna ketika melihat sebuah lengan besar melingkar posesif di pinggang rampingnya.
" Astaghfirullah aku lupa. " Gumamnya ketika menyadari bahwa semalam sang suami tidur dengannya. Segaris senyum getir terlukis di bibirnya ketika mendengar suara dengkuran halus dari balik punggungnya.
" Dia terlihat sangat nyenyak. " Perlahan wanita itu bangun dengan gerakan pelan agar tidak mengusik tidur sang suami. Disingkirkannya lengan besar itu dengan hati-hati lalu beringsut turun dari ranjang.
Setengah jam kemudian, Dilara menyelesaikan ritual mandi dan sekalian berwudhu. Ya, setelah pertemuannya dengan Dany kemarin. Hati kecilnya merasa tertampar. Mulai hari ini, dia berusaha memperbaiki sholatnya. Dia ingin memperbaiki diri menjadi hamba Allah yang lebih taat lagi.
Suara tarhim dari masjid yang jaraknya tidak jauh dari rumah, terdengar menggema membangunkan hamba-hamba Allah yang ingin bersimpuh, dari tidur lelapnya. Dilara menggelar sajadah dan duduk berdzikir menunggu adzan subuh. Hatinya seketika tenang. Perasaan damai perlahan menyusup ke dalam jiwanya. Kegundahannya sedikit terhapus. Tanpa sadar tetesan cairan bening mengalir dari sudut netra nan teduh itu.
Dilara mengingat dosa-dosanya. Dia mengingat, betapa selama ini dia telah lalai. Dia telah terlena dengan kenikmatan dunia yang membuatnya lupa sang pemberi nikmat. Sampai Allah menegurnya dengan cobaan yang harus dia syukuri. Ya, dia harus bersyukur, dengan cobaan bertubi-tubi ini dia menemukan kembali jalan pulang. Kembali menyandarkan hidupnya kepada pemilik hidup. Karena tidak ada tempat kembali yang pantas hanyalah kepada Allah SWT.
Suara adzan subuh berkumandang. Dilara bangkit untuk mendirikan sholat dua rakaat. Dengan perasaan malu, dia ingin mendatangi penciptanya. Dia malu dengan dirinya yang yang datang kepada Allah, hanya disaat keadaannya terpuruk.
" Ya Allah, ampuni hamba-Mu yang hina ini Ya Allah. " Desahnya di dalam hati sebelum membaca niat sholat subuh lalu mengangkat takbiratul ihram.
Setengah jam kemudian. Fikri menggeliatkan tubuhnya dan meraba ruang di sisinya yang terasa dingin. " Lara ! " Gumamnya sontak bangkit dan terduduk ketika menyadari ada yang hilang dari sisinya. Dia ingat, semalam dia tertidur sambil memeluk tubuh istrinya. Dia tau itu bukan mimpi, karena saat ini dia bukan berada di kamarnya dengan Dilara.
" Ra ! Sayang ! Di mana kamu ? " Pekiknya panik, takut kehilangan sang istri kembali. Kilasan percakapannya dengan Umi kembali terngiang.
" Lepaskan Dilara jika dia ingin melepasmu. Biarkan dia mencari kebahagiaannya dengan orang lain yang mungkin bisa membahagiakannya. " Ucap Umi ketika mereka mengakhiri pembicaraan.
" Tidak ! Dilara tidak boleh pergi dariku " Gumamnya panik. Diedarkannya pandangan, mencari sosok itu di setiap sudut kamar. " Kemana dia ? " Gumamnya seraya melangkah ke arah pintu balkon yang setengah terbuka.
" Sayang ! " Soraknya saat melihat sang istri sedang berdiri tertegun di tepi balkon.
Dilara diam tak menoleh meskipun dia mendengar seruan Fikri. Tatapannya lurus memandangan di bawah sana. Terlihat kabut tipis masih melapisi udara pagi ini. Jarum jam baru menunjukan pukul setengah enam pagi.
" Sayang ! Kenapa pagi-pagi berdiri di situ ? Udara sangat dingin, sayang ! " Seru Fikri lalu memeluk tubuh sang istri dari belakang dan menyusupkan kepalanya di ceruk leher jenjang sang istri. Dia sangat merindukan Dilara.
Wanita yang sedang memakai cardigan rajut berwarna coklat susu itu tetap mematung di tempatnya tanpa bersuara. Sungguh saat ini dia sedang menetralkan perasaannya. Ada rasa marah, sedih dan kecewa bercokol di dalam hatinya.
Suasana hening. Keduanya diam dengan perasaan masing-masing. Dilara dengan tatapan dingin menatap lurus ke depan. Fikri dengan pelukan kerinduan dan rasa bersalah dalam hatinya. Semua menjadi canggung. Kicauan burung dari pohon di sekitar rumah tidak mampu membuat suasana canggung itu menjadi hangat.
" Biar saya siapkan kopi dulu untuk abang. " Setelah beberapa saat hening, akhirnya Dilara memecah keheningan itu. Dia mengurai pelan pelukan Fikri dan hendak berbalik.
" Biarkan begini dulu, Ra ! Abang sangat merindukanmu. " Mohon Fikri dengan suara lirih. Tanpa sadar pria itu meneteskan air matanya. Entah air mata apa itu. Yang pasti Dilara merasakan basah di ceruk lehernya.
" Maaf ! " Bisik Fikri lirih semakin mengeratkan pelukannya.
" Lepas dulu ! Saya merasa sesak. " Ujar Dilara datar tanpa emosi.
Fikri tersentak. " Maaf, sayang. Abang tidak sengaja. " Ucapnya sambil mengurai pelukannya lalu menangkup bahu sang istri dan membalik lembut tubuh itu menghadap padanya.
" Maafkan abang. Beri kesempatan pada abang untuk menjelaskan semuanya. " Ucapnya sambil menatap lekat wajah yang dirindukannya beberapa hari ini.
" Bicaranya nanti selesai sarapan. Sebentar lagi Bu Atin akan mengantar sarapan ke sini. " Tukas Dilara datar. Dia memang menyuruh Bu Atin mengantar sarapan ke kamar, karena dia ingin menuntaskan masalahnya dengan Fikri. Rencananya dia akan bicara dengan sang suami setelah sarapan nanti.
" Abang rindu masakanmu, sayang ! " Ujar Fikri memelas. Beberapa hari ini memang dia makan kurang berselera, karena rindu dengan masakan sang istri. Dan hari ini dia merasa aneh, Dilara tidak menyiapkan sarapannya seperti biasa tapi menyuruh pelayan yang melakukannya.
" Maaf ! " Sahut Dilara lirih entah apa maksud dari kata maafnya itu. Dia memang sengaja tidak menyiapkan makanan buat suaminya. Dia ingin suaminya akan terbiasa tanpanya.
" Ya..tidak apa apa. Abang tidak memaksa, sayang. Kalau kamu lagi malas tidak apa-apa. " Ucap Fikri seraya tersenyum memaklumi. Pikirnya tanpa disiapkan oleh Dilara pun dia sudah senang, asalkan istrinya itu ada bersamanya.
Dilara menepis pelan tangan besar sang suami lalu duduk di kursi balkon menunggu sarapan yang diantar oleh Bu Atin.
Fikri menarik napasnya berat melihat sang istri menghindarinya. " Sayang ! Kenapa diam ? Kamu sakit ? " Tanyanya seraya berlutut di depan Dilara.
Dilara menundukan pandangan, menatap dingin wajah memelas sang suami. " Duduk di kursi, bang ! Saya baik-baik saja. " Jawabnya tenang tanpa emosi.
" Saya ?! " Beo Fikri dengan suara lirih. Setelah kesekian kali dia mendengar Dilara memakai kata saya dalam menyebutkan dirinya, akhirnya dia merasa aneh Lara memakai bahasa formal dengannya. Seolah sang istri sedang membangun tembok pembatas untuknya.
" Jangan berlutut di hadapan saya, bang ! Saya bukan junjungan abang. " Ujar Dilara lagi. " Duduk di kursi sana, bang ! "
" Stop, Ra ! Abang --- " Sentak Fikri ingin menyela ucapan Dilara, tapi ketukan pintu membuatnya mengatup kembali mulutnya..
" Masuk, Bu ! Pi tunya tidak terkunci. " Seru Dilara mengetahui yang mengetuk pintu itu adalah Bu Atin. Fikri seketika beranjak bangkit dan duduk di kursi yang bersebrangan dengan Dilara.
Bu Atin meletakan napan berisi dua mangkok bubur ayam serta segelas teh melati untuk Dilara dan segelas kopi susu untuk Fikri. " Silahkan dinikmati sarapannya, Bu ! Pak ! " Ujar wanita paruh baya itu sebelum undur diri.
" Terima kasih, Bu Atin ! " Tukas Dilara seraya tersenyum manis ke arah pelayan itu.
" Silahkan, Bang ! " Ucap Dilara setelah menyodorkan mangkuk bubur ayam pada sang suami. Fikri menatap wajah tanpa senyum sang istri. Dihempaskannya napas berat, tapi tak pelak dia menyambut mangkok bubur itu.
" Kau terlihat kurus, Ra " Celetuk Fikri masih menatap wajah Dilara.
" Saya diet " Jawab Dilara sekenanya.
lanjut thor
..