Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERTAWA LEPAS & AJAKAN DAMIAN
Setelah makan malam yang penuh kehangatan, Bunda Annisa mengumumkan rencana untuk mengadakan permainan di rumah Nadine.
“Kita akan main Kim malam ini di rumah Nadine,” ujar Bunda dengan semangat, sambil menatap ke arah Damian dan Annisa. “Biar ramai, katanya. Kan, belum tentu bisa kumpul lagi dalam waktu dekat.”
Annisa tersenyum lebar mendengar ide tersebut. “Wah, seru banget, Bun! Permainan Kim itu memang selalu bikin suasana jadi meriah.”
Damian memandang Annisa dengan sedikit heran. “Kim? Permainan seperti apa itu?” tanyanya dengan nada penasaran.
“Itu permainan asal Minang, Mas. Karena kebetulan suami Nadine adalah orang Minang. Jadi nanti, ada seseorang yang membacakan rangkaian kata-kata cepat, terus kita harus tangkap artinya dan pilih jawabannya dengan cepat. Biasanya yang salah tangkap bakalan dapat hukuman kecil-kecilan.” Annisa menjelaskan dengan mata berbinar, tak sabar untuk bermain.
Damian mengangguk, merasa tertarik. "Baiklah, sepertinya menarik juga."
Tak lama kemudian, mereka berkumpul di rumah Nadine. Suasana sudah meriah; beberapa keluarga besar dan teman Nadine pun hadir. Tawa dan canda terdengar saat masing-masing orang mulai bersiap untuk permainan Kim.
Bunda mulai menjelaskan aturan permainan sambil berdiri di depan kerumunan. “Baik, semua! Nanti akan ada yang membacakan beberapa kata cepat. Nah, siapa yang salah menjawab, harus maju dan menyanyikan lagu daerah, atau…”—Bunda tersenyum jahil—“menirukan suara hewan.”
Tawa langsung pecah mendengar hukuman itu, terutama dari para sepupu yang sudah lebih dulu familiar dengan permainannya. Damian hanya tersenyum kecil sambil memperhatikan antusiasme semua orang, terutama Annisa yang terlihat sangat menikmati momen tersebut.
Permainan pun dimulai. Kata-kata mulai dibacakan, dan beberapa peserta terlihat salah tangkap dalam menjawab, membuat mereka harus menjalani hukuman yang lucu. Damian, yang biasanya serius, tak kuasa menahan tawa melihat satu demi satu orang maju untuk dihukum. Bahkan ada momen di mana Annisa salah menjawab dan diminta menirukan suara ayam.
Dengan wajah sedikit malu, Annisa mencoba menirukan suara ayam, dan membuat seluruh ruangan tertawa terbahak-bahak, termasuk Damian yang mencoba menahan senyumnya namun gagal.
“Ayamnya kok kayak malu-malu gitu, Nis,” Damian meledek pelan.
Annisa meringis, tapi ia tertawa juga. “Ya, kan... aku memang nggak jago soal suara ayam,” jawabnya sambil tertawa.
Ketika giliran Damian, ia pun akhirnya salah menjawab dan harus maju. Semua orang bertepuk tangan, menantikan apa yang akan dilakukan olehnya.
“Mas Damian, tirukan suara kucing, ya!” seru salah satu sepupu Nadine, membuat Damian terdiam sejenak, lalu menghela napas sambil menggeleng.
“Oh, baiklah…” Damian berusaha menirukan suara kucing, dan seluruh ruangan langsung tertawa, bahkan Ayah Annisa yang ikut datang bersama mereka tadi tampak terpingkal-pingkal melihat menantunya mencoba hal konyol seperti itu.
Annisa menatap Damian dengan senyum lembut. Ia merasa malam itu begitu hangat, melihat Damian perlahan bisa melebur dalam kebahagiaan kecil yang mereka ciptakan bersama keluarga.
Permainan Kim semakin seru, dan suasana di rumah Nadine penuh tawa. Damian, yang biasanya pendiam dan tegas, malam itu terlihat berbeda—lebih santai dan sesekali tersenyum kecil. Ini membuat Annisa lega. Momen seperti ini adalah hal yang sangat ia rindukan, terutama bisa melihat Damian tersenyum tulus di tengah keluarga besarnya.
Setelah Damian menyelesaikan hukumannya dengan menirukan suara kucing, Annisa tertawa sambil menepuk tangannya. “Nggak nyangka Mas Damian ternyata bisa juga bikin suara kucing! Ternyata kalau disuruh main kayak gini, Mas Damian nggak kalah lucu.”
Damian tersenyum kecil, lalu melirik Annisa. “Jangan terlalu meremehkan, ya. Ini cuma sekali-sekali,” jawabnya setengah bercanda, membuat Annisa tersenyum senang.
Tiba-tiba, sepupu Nadine yang lain, Rani, menyindir mereka dengan nada menggoda. “Wah, pasangan baru ini lagi mesra-mesranya, nih! Kapan kita dapat kabar gembira dari kalian?” Rani mengedipkan mata, menambahkan bumbu godaan.
Annisa tersipu. “Eh, bukan begitu… Kami cuma… uh, main saja kok,” jawab Annisa gugup, sementara Damian hanya berdeham pelan, tidak menanggapi langsung.
Namun, Rani terus menggoda. “Ah, ayolah! Aku yakin kalian sudah cocok sekali. Nadine aja sebentar lagi punya keluarga sendiri, nih. Kalian pasti nggak mau kalah, kan?”
Annisa tersenyum dengan sedikit ragu, tapi ia merasa terharu dengan dukungan keluarganya. Damian, yang biasanya menghindari percakapan seperti ini, menghela napas ringan dan mengangguk ke arah Rani. “Tunggu saja. Semua ada waktunya,” jawabnya singkat, dengan nada yang sedikit serius namun juga sopan, seakan ingin mengakhiri topik itu tanpa terkesan kasar.
Setelah beberapa waktu bermain, Nadine akhirnya mengumumkan permainan selesai. Semua orang mulai berdiri dan beranjak keluar, beberapa melanjutkan mengobrol di teras atau halaman. Annisa dan Damian ikut duduk di sudut halaman, menikmati angin malam yang sejuk.
Annisa menarik napas dalam-dalam, menatap langit yang berbintang. “Mas Damian,” panggilnya pelan, memastikan Damian mendengarkan.
Damian menoleh. “Ya?”
“Terima kasih… sudah ikut ke sini. Ini pertama kalinya aku merasa kamu benar-benar bagian dari keluargaku, Mas. Mereka semua menyayangimu, sama seperti mereka menyayangi Mbak Arum dulu.”
Damian mengangguk pelan, memahami maksud Annisa. “Kamu selalu ingin aku terlibat dalam keluargamu, ya?” tanyanya lembut, kali ini nadanya lebih lunak.
Annisa tersenyum samar. “Iya. Karena menurutku, keluarga adalah tempat kita pulang. Keluargaku sudah anggap kamu bagian dari mereka sejak dulu. Lagipula… rasanya kita sudah terlalu lama menjalani kehidupan seperti dua orang asing.”
Damian menatap Annisa sejenak, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke depan. “Mungkin kamu benar,” gumamnya akhirnya.
Mendengar itu, Annisa merasa ada secercah harapan di antara mereka, harapan bahwa mungkin Damian akhirnya mulai terbuka untuk menjadi lebih dari sekadar seorang pria yang ia nikahi karena permintaan keluarganya.
Annisa baru saja hendak membuka mulut untuk mengutarakan pemikirannya, tentang keinginannya untuk menjalani pernikahan ini dengan sepenuh hati, namun Damian tiba-tiba mengangkat tangannya perlahan, meminta Annisa untuk berhenti sejenak.
“Biar aku saja yang mengatakannya,” ucap Damian pelan. Ia menatap Annisa dengan sorot mata yang serius, membuat Annisa terdiam dan sedikit gugup.
Damian menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Annisa… aku minta maaf. Aku sadar selama ini kita berjalan seakan… ya, seakan ini hanya sebatas formalitas. Dan itu nggak adil buat kamu,” ucapnya jujur. “Kamu sudah melakukan banyak hal untukku, bahkan untuk Clara, tapi aku terlalu larut dalam kenangan Arum.”
Annisa mendengarkan dengan seksama, matanya mulai berembun. Ia tak pernah menyangka Damian akhirnya mau terbuka seperti ini.
“Aku tahu, sulit untuk tiba-tiba berubah seratus persen,” lanjut Damian, “tapi aku ingin mencoba. Mencoba untuk menjalani kehidupan rumah tangga yang lebih… normal. Pelan-pelan. Aku sadar, aku harus belajar untuk benar-benar melibatkan kamu, bukan cuma menempatkan mu di sisi lain dinding yang kubangun sendiri.”
Annisa menggigit bibirnya, hatinya berdebar mendengar kata-kata Damian yang tulus itu. “Mas… apa kamu yakin?”
Damian mengangguk pelan. “Iya, Nis. Aku nggak bisa berjanji akan langsung sempurna. Ada kalanya mungkin, aku masih ingat Arum. Tapi… aku akan berusaha yang terbaik untuk kita. Untuk keluarga kita.”
Annisa menghapus air matanya yang mulai mengalir. Ada kehangatan yang tumbuh di dalam hatinya, perasaan yang selama ini ia rindukan.
“Kita bisa mulai dari hal-hal kecil, Mas,” ujar Annisa lirih. “Aku hanya ingin… kita bisa saling mengerti. Aku siap menunggu. Aku akan selalu di sini, selama kamu juga mau berusaha.”
Damian tersenyum, sebuah senyum kecil namun tulus. “Terima kasih, Annisa. Terima kasih sudah sabar. Aku beruntung… memiliki seseorang sepertimu.”
Keduanya terdiam, menikmati keheningan malam yang terasa penuh arti. Dalam keheningan itu, ada harapan baru, bahwa mungkin perjalanan mereka akhirnya akan mengarah pada kehidupan yang sesungguhnya. Mereka siap menempuhnya, bersama-sama, pelan-pelan.