Seorang penjual keliling bernama Raka, yang punya jiwa petualang dan tidak takut melanggar aturan, menemukan sebuah alat kuno yang bisa membawanya ke berbagai dimensi. Tidak sengaja, ia bertemu dengan seorang putri dari dimensi sihir bernama Aluna, yang kabur dari kerajaan karena dijodohkan dengan pangeran yang tidak ia cintai.
Raka dan Aluna, dengan kepribadian yang bertolak belakang—Raka yang konyol dan selalu berpikir pendek, sementara Aluna yang cerdas namun sering gugup dalam situasi berbahaya—mulai berpetualang bersama. Mereka mencari cara untuk menghindari pengejaran dari para pemburu dimensi yang ingin menangkap mereka.
Hal tersebut membuat mereka mengalami banyak hal seperti bertemu dengan makhluk makhluk aneh dan kejadian kejadian berbahaya lainnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoreyum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perbincangan Sebelum Tidur
Malam mulai turun, dan suasana di rumah kecil Melina berubah menjadi lebih hangat dan nyaman. Api di perapian menari-nari, memberikan cahaya lembut yang menerangi ruangan. Aluna duduk di depan api, terdiam dalam pikirannya sendiri. Sementara itu, Raka, yang biasanya tidak bisa diam, kali ini terlihat lebih tenang—mungkin karena tehnya mulai bekerja atau mungkin karena ia mulai menyadari keseriusan situasi yang mereka hadapi.
“Tante Melina,” Aluna akhirnya membuka suara, memecah keheningan yang melingkupi mereka. “Aku tidak tahu harus berapa lama kita bisa tinggal di sini. Aku tidak ingin menempatkanmu dalam bahaya.”
Melina tersenyum hangat. “Bahaya bukan sesuatu yang baru bagiku, nak. Dunia ini selalu penuh bahaya, terutama bagi mereka yang memilih jalan berbeda.” Ia menatap Aluna dengan penuh kasih sayang. “Dan kau, Aluna, selalu berbeda dari yang lain. Kau bukan tipe orang yang bisa dikurung dalam istana.”
Raka, yang mulai merasa suasana terlalu serius, mencoba meringankan mood. “Kurasa kau benar. Aluna tidak cocok di istana. Dia lebih cocok di... petualangan seperti ini! Kau tahu, lari dari prajurit, bertarung dengan penjaga hutan, dan—”
Aluna menoleh ke arah Raka dengan tatapan yang tidak sabar. “Raka, bisakah kau berhenti berbicara selama satu menit saja?”
Raka terdiam, tapi tidak bisa menahan senyum kecil di wajahnya. “Baik, baik. Aku akan tenang... setidaknya selama satu menit.”
Melina terkekeh kecil melihat interaksi mereka. “Kalian berdua aneh, tapi dalam cara yang menarik,” katanya sambil menghirup tehnya. “Ada sesuatu antara kalian yang berbeda. Seperti siang dan malam, tapi entah bagaimana, kalian berfungsi bersama.”
Raka memandang Aluna dengan ekspresi bingung. “Siang dan malam? Aku lebih cocok jadi malam, kan? Kau tahu, penuh misteri, keren, selalu ada hal yang mengejutkan...”
Aluna hanya menggelengkan kepala. “Tentu saja. Dan aku jadi siang? Terang, lurus, dan membosankan?”
Raka menepuk tangan. “Persis! Kau lihat, ini sudah cocok!”
Meskipun Aluna terlihat kesal, senyum kecil mulai terlihat di wajahnya. Mereka berdua memang sangat berbeda, tapi di tengah semua perbedaan itu, ada rasa saling menghargai yang perlahan-lahan tumbuh. Raka, dengan kekonyolan dan sifat cerobohnya, entah bagaimana mampu membuat Aluna, yang biasanya lebih serius, sedikit lebih rileks.
Setelah beberapa saat keheningan, Melina berdiri dan mulai membereskan cangkir-cangkir teh. “Kalian sebaiknya istirahat. Malam ini aman, tapi aku tidak bisa menjamin besok pagi. Prajurit-prajurit kerajaan mungkin masih mencarimu, Aluna. Kita harus terus waspada.”
“Benar,” jawab Aluna dengan nada serius. Dia menatap Raka sekilas, lalu kembali kepada Melina. “Besok pagi kita akan pergi. Kita tidak bisa terlalu lama tinggal di satu tempat.”
Raka menghela napas panjang. “Pergi lagi? Baru saja aku mulai merasa nyaman di sini... Mungkin kita bisa tinggal sedikit lebih lama, tahu? Setidaknya sampai aku bisa menikmati teh bunga ini lagi.”
Aluna memandangnya dengan tatapan yang tidak sabar, tapi kali ini ada sedikit kelembutan dalam nada suaranya. “Raka, ini bukan liburan. Kau tahu kita tidak bisa tinggal di sini terlalu lama. Setiap saat yang kita habiskan di sini, semakin besar kemungkinan kita ditemukan.”
Raka mengangkat bahu, mencoba tersenyum meski jelas dia lelah dengan semua pelarian ini. “Iya, iya, aku tahu. Tapi jujur, aku mulai merasa seperti tokoh dalam film aksi. Kau tahu, yang selalu kabur tapi tetap keren sepanjang waktu.”
Aluna hanya bisa menggelengkan kepala, sementara Melina tersenyum lembut melihat mereka berdua. “Istirahatlah sekarang,” kata Melina sambil mulai berjalan menuju dapurnya. “Besok akan menjadi hari yang panjang.”
---
Setelah beberapa jam, Raka terbangun di tengah malam. Cahaya bulan yang temaram masuk melalui jendela kecil di sebelahnya, dan suara malam yang damai terdengar di luar. Dia menggaruk-garuk kepalanya dan menghela napas panjang, mencoba memahami semua yang terjadi pada hari itu. Dari penjual keliling biasa, tiba-tiba dia menjadi pelarian lintas dimensi yang diburu oleh kerajaan sihir. Semua ini terasa seperti mimpi gila.
Namun, saat dia berbaring di sana, pikirannya mulai beralih ke Aluna. Putri kerajaan yang keras kepala, cerdas, tapi juga penuh ketakutan yang tidak ia tunjukkan ke orang lain. Meskipun mereka sering bertengkar, Raka mulai merasakan sesuatu yang berbeda terhadapnya. Bukan hanya karena mereka berbagi pelarian, tapi karena dia bisa melihat bahwa Aluna berusaha menemukan jalan hidupnya sendiri, terlepas dari semua harapan yang diletakkan di pundaknya.
"Kenapa aku harus terjebak dalam situasi seperti ini?" gumam Raka sambil menatap langit-langit.
Di ruangan lain, Aluna terbangun dari tidurnya, duduk di atas tempat tidur kecil yang diberikan oleh Melina. Meskipun tubuhnya lelah, pikirannya masih gelisah. Dia tahu bahwa pelarian ini hanya awal dari masalah yang lebih besar. Kerajaan pasti tidak akan tinggal diam, dan pangeran yang dijodohkan dengannya pasti akan berusaha mendapatkan kembali kekuasaannya dengan segala cara.
Aluna menghela napas dan berjalan pelan menuju jendela. Dia memandangi desa yang tenang di bawah sinar bulan, berharap bisa hidup bebas tanpa harus terikat oleh aturan kerajaan. Tapi kenyataan selalu mengejarnya.
Tanpa disadari, Aluna memikirkan Raka. Meskipun dia selalu merasa frustrasi dengan kekonyolan dan cara pikir pendek pria itu, ada sesuatu tentang dirinya yang membuat Aluna merasa sedikit lebih ringan. Dia memang ceroboh, tapi juga tulus—dan meski sering kali dia membuat situasi semakin rumit, Raka juga selalu ada di saat yang tepat untuk menghibur.
Saat dia berdiri di dekat jendela, Aluna mendengar suara pelan dari belakang. Raka muncul dengan wajah masih setengah mengantuk, rambutnya berantakan, dan ekspresi bingung di wajahnya.
“Aluna?” tanya Raka pelan. “Kau juga nggak bisa tidur?”
Aluna tersenyum tipis, meski jelas dia masih memikirkan hal-hal yang lebih serius. “Aku hanya berpikir... tentang semua ini.”
Raka mengangguk, lalu berjalan mendekat dan berdiri di sebelahnya, memandang keluar jendela. “Kau tahu, aku juga berpikir tentang hal yang sama... Yah, sebenarnya aku lebih banyak mikir soal makan, tapi tetap saja, semua ini gila.”
Aluna tidak bisa menahan tawa kecil. “Kau selalu tahu cara membuat situasi serius jadi aneh.”
Raka tersenyum bangga. “Itu bakatku. Tapi serius, Aluna... kenapa kau benar-benar kabur? Maksudku, aku tahu tentang perjodohan dan semua itu, tapi apa tidak ada cara lain?”
Aluna terdiam sejenak, menatap langit malam. “Aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayang orang lain, Raka. Kerajaan selalu mengatur hidupku, membuat keputusan atas namaku. Aku butuh kebebasan untuk menemukan jalanku sendiri.”
Raka mengangguk, meskipun jelas dia tidak sepenuhnya mengerti beban yang Aluna rasakan. “Aku mengerti. Yah, setidaknya sebagian. Tapi kau tahu, kau tidak sendirian. Meskipun aku ini cuma... penjual keliling yang bodoh, aku akan tetap di sini, membantu sebisaku. Meskipun bantuanku kadang... yah, kacau.”
Aluna tersenyum lebih lebar kali ini. “Aku tahu, Raka. Dan aku menghargainya, meskipun kadang aku berharap kau lebih serius.”
Raka tertawa kecil. “Serius itu bukan gayaku. Tapi aku akan mencoba, hanya untukmu.”
Mereka berdiri dalam keheningan selama beberapa saat, memandangi desa yang tenang di bawah cahaya bulan. Untuk sesaat, dunia luar tampak jauh. Mereka hanya dua orang yang mencoba mencari jalan keluar dari kehidupan yang tidak mereka inginkan.
“Kita harus tidur,” kata Aluna akhirnya, memecah keheningan. “Besok akan menjadi hari yang panjang.”
Raka mengangguk. “Iya, besok pasti kacau lagi. Tapi hei, apa pun yang terjadi, aku siap. Mungkin.”
Mereka berdua kembali ke kamar masing-masing.