Seorang laki-laki diminta menikahi puteri pengusaha kaya mantan majikan ibunya. Padahal baru saja ia juga melamar seorang wanita. Bimbang antara membalas budi atau mewujudkan pernikahan impian, membuatnya mengalami dilema besar. Simak kisah cintanya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 20
Penerbangan dari Jakarta menuju Sidney sudah berangkat beberapa jam lalu. Ardha duduk di samping Mawar yang berada di kursi dekat jendela. Perjalanan panjang selama kurang lebih 8 jam lamanya mereka lalui.
Mawar lebih banyak tidur selama perjalanan. Dia memang lebih mudah lelah dan sering mengantuk akhir-akhir ini. Saat waktu makan tiba, baru Ardha membangunkannya. Mawar kembali makan dengan lahap, entah mengapa selera makannya jadi bertambah. Program dietnya pun hancur lebur.
Ardha memperhatikan Mawar yang dengan waktu singkat telah menghabiskan seluruh porsi makanannya. Bahkan saat ini Ardha masih belum menghabiskan separuh dari isi piringnya.
"Kayaknya sosisnya kematangan nih, aku kurang suka yang seperti ini, kurang enak", celetuk Ardha sambil melihat ke arah Mawar.
"Masa sih? Menurutku enak-enak aja. Kamu aja yang terlalu pilih-pilih", sahut Mawar sambil melirik ke arah sosis bakar yang dilihatnya sungguh menggiurkan.
"Ya sudah, kamu aja yang makan. Daripada nanti terbuang percuma", Ardha mengangkat piringnya supaya Mawar bisa dengan mudah mengambil sosis itu.
Ternyata Ardha salah besar. Mawar bukan mengambil sosis yang ada di piring Ardha, tetapi dia mengambil piring dari tangan Ardha kemudian meletakkan piring bekas makannya di nampan Ardha. Ardha melongo tak percaya melihat Mawar kemudian melahap seluruh sisa makanannya yang sebenarnya masih berniat ia makan. Ardha pun cuma bisa menggaruk kepalanya yang entah bagian mana yang terasa gatal.
Setelah selesai makan tanpa rasa bersalah, Mawar kembali melirik puding di nampan Ardha. Dengan berat hati, akhirnya pencuci mulut itu pun berpindah tangan kemudian masuk ke mulut Mawar. Ardha hanya bisa meringis dalam hati.
Hanya dengan mengingatkan pada dirinya bahwa setiap yang diberikan kepada isteri bernilai sedekah, Ardha akhirnya bisa merelakan jatah makannya yang diambil Mawar.
*******
Ardha dan Mawar kini sudah sampai di kediaman Ardha. Rumah tunggal bergaya simpel dan modern itu terlihat indah dari luar dan terasa nyaman di bagian dalamnya. Tak banyak sekat di rumah dua lantai itu, hanya kamar tidur dan kamar mandi yang terpisah dari ruang lainnya.
Dari pintu masuk sudah bisa terlihat hampir seluruh bagian rumah. Termasuk dapur ala restoran dengan ukuran yang lebih kecil tempat Ardha bereksperimen menu-menu baru atau sekedar memasak makanan kesukaannya.
Ardha menarik koper milik Mawar ke arah pintu sebuah kamar di lantai satu.
"Kamu bisa istirahat di kamar ini. Ini kamar yang ditempati ibu kalau beliau datang ke sini. Tapi beliau jarang datang, aku yang sering pulang ke Bogor", terang Ardha.
Mawar pun masuk ke dalam kamar tidur yang menurutnya sangat nyaman.
"Kamarku di lantai atas, di samping ruang kerja", lanjut Ardha kemudian.
Mawar masih diam, hanya anggukan kecil yang ditampakkannya. Dia kemudian duduk di tepi tempat tidur. Sambil sesekali melihat ke arah Ardha yang nampak kebingungan harus berkata apa lagi.
"Aku keluar dulu, kamu istirahat aja. Kalau ada perlu apa-apa, aku ada di luar", ucapnya kemudian pergi keluar kamar dan menutup pintunya.
Mawar masih diam, pikirannya melayang kemana-mana. Terakhir yang dia pikirkan adalah sedang apa dia di sini, mengapa, dan apa yang akan dia lakukan. Mawar tiba-tiba merasa sedih..
Ardha sedang mengirim pesan ke Jason, mengabarkan kalau dia sudah kembali ke Sidney. Kemudian dia menyalakan mesin pembuat kopi. Dia perlu membuat matanya tetap terjaga, karena sebentar lagi sudah waktunya sholat subuh. Ardha kemudian menyesap kopinya sambil melihat ke arah pintu kamar Mawar. Dia kembali meyakinkan dirinya kalau sekarang Mawar adalah isterinya. Tapi karena janjinya pada Nadya dan permintaan Pak Abdi untuk menikahi anaknya sampai dia melahirkan saja membuat Ardha merasa serba salah.
Sementara di dalam kamarnya, Mawar tidak bisa tidur. Dia masih menerka-nerka bagaimana pernikahan yang akan dia jalani. Apakah Ardha hanya akan menganggapnya sebagai beban. Mawar merasa dirinya sekarang lebih melankolis. Diusapnya perut rata berisi janin yang hampir digugurkannya. Keberadaannya belum terlihat dari luar, namun Mawar merasakannya bagai bagian lain dari dirinya. Kini rasa sayang sudah mulai dia rasakan.
Kemudian dia teringat laki-laki yang menyebabkan kehamilannya. Ayah dari bayi ini yang sungguh sangat tega kepada dirinya. Mawar merasa hancur, air mata pun kembali berjatuhan di pipinya.
Waktu subuh sudah tiba, Ardha mengetuk pintu Mawar untuk mengajaknya sholat subuh. Biasanya kalau di Bogor Ardha sholat berjamaah di mesjid. Tapi di sini, mesjid terdekat pun letaknya cukup jauh, jadi Ardha hanya sholat di rumah.
Bedanya, kini dia punya makmum, Mawar yang baru dua hari menjadi isterinya.
Mawar membuka pintu dan menatap Ardha.
"Ada apa?", tanyanya singkat.
"Sholat subuh dulu, di sana", Ardha menunjuk sebuah tempat yang sepertinya diperuntukkan sebagai musholla di rumahnya.
"Eng.. maaf. Aku baru aja dapat halangan, jadi gak bisa sholat", tolak Mawar.
"Oh, maaf, maaf. Baiklah, silahkan lanjutkan istirahatnya", sahut Ardha kemudian segera berbalik hendak menuju ke musholla.
Tapi langkahnya tiba-tiba terhenti. Dia kemudian membalikkan badannya dan menatap tajam ke arah Mawar.
Mawar yang seperti maling tertangkap basah cuma bisa tertawa meringis.
"Aku.. ambil wudhu sama mukena dulu ya", ucapnya kemudian buru-buru masuk ke kamar.
Sedih & lucu...
Masih ada beberapa kesalahan nama...