Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Aku menatap Dion yang berdiri di depanku, wajahnya penuh kepanikan, tetapi tak ada lagi rasa kasihan yang tersisa di hatiku. Semua kebohongan, tipu muslihat, dan pengkhianatan selama ini akhirnya terungkap, dan aku merasa seperti orang bodoh yang telah membiarkan diriku terperangkap di dalamnya. Kebenaran yang selama ini tersembunyi akhirnya tersingkap, dan tak ada yang tersisa dari Dion kecuali rasa kecewa yang begitu mendalam.
Dion mencoba mendekat, tetapi aku mundur satu langkah. “Kirana, aku bisa jelaskan. Aku… aku cuma ingin yang terbaik untuk kita,” katanya dengan suara bergetar, seolah tak percaya melihat reaksi dinginku.
“Yang terbaik untuk kita?” Aku mendengus, tak mampu menyembunyikan sarkasme dalam suaraku. “Apa yang terbaik dari menyembunyikan semua ini dariku, Dion? Kamu membuatku percaya bahwa aku yang salah, bahwa aku yang tidak bisa memberikan keturunan. Padahal kamu tahu masalah sebenarnya ada pada kamu. Dan bukan hanya itu, kamu membawa aku ke dalam masalah besar dengan orang-orang berbahaya, tanpa memberitahuku apa pun. Ini semua karena keegoisanmu sendiri.”
Dia membuka mulutnya, tapi tak ada kata yang keluar. Aku bisa melihat rasa bersalah di matanya, tapi itu sama sekali tak cukup untuk mengubah perasaanku. Kekecewaanku telah mencapai puncaknya. Aku tak mungkin lagi mempercayai pria yang telah menghabiskan bertahun-tahun bersamaku dalam kebohongan.
“Aku sudah cukup, Dion. Aku sudah cukup dengan semua ini,” lanjutku, suaraku bergetar namun penuh ketegasan. “Selama ini, aku berharap kamu bisa berubah, bahwa mungkin ada alasan yang bisa kuterima untuk semua ini. Tapi kenyataannya, kamu tak pernah peduli. Kamu hanya peduli pada dirimu sendiri.”
Dion terlihat panik, seolah-olah kehilangan kendali atas situasi. “Kirana, jangan pergi. Kita bisa mulai dari awal lagi, aku janji akan memperbaiki semuanya. Aku akan jujur. Aku akan berubah, sungguh!”
Aku menggelengkan kepala perlahan, merasa lega karena untuk pertama kalinya aku bisa melihat situasi ini dengan jernih. “Sudah terlambat, Dion. Aku sudah memberimu banyak kesempatan, tapi kamu menyia-nyiakannya setiap kali. Kamu lebih memilih bersembunyi di balik kebohongan dan manipulasi. Aku… aku tidak bisa lagi percaya padamu.”
Dia berusaha mendekat dan meraih tanganku, tapi aku menariknya sebelum dia sempat menyentuhku. Tak ada lagi tempat untuk kasih sayang di hatiku. Semua yang aku rasakan hanyalah kepahitan.
Rina, yang berdiri di sampingku sejak awal, meremas bahuku seolah-olah memberiku kekuatan. Dia tahu bahwa ini adalah keputusan yang sulit, tetapi dia juga tahu bahwa inilah yang terbaik bagiku.
“Pergi, Dion,” kataku, suaraku tegas namun dingin. “Kita sudah selesai. Aku akan menggugat cerai, dan tak ada lagi yang perlu kita bicarakan.”
Dion terdiam, wajahnya dipenuhi kesedihan, penyesalan, dan sedikit kemarahan. “Kirana, jangan lakukan ini… aku… aku butuh kamu. Kamu tahu aku tak bisa hidup tanpa kamu.”
Aku menghela napas panjang, mencoba menahan emosiku agar tidak meledak. "Tidak, Dion. Yang kamu butuhkan adalah seseorang yang bisa kamu kendalikan, seseorang yang bisa kamu manfaatkan untuk menutupi kebohonganmu. Aku sudah muak dengan semua itu."
Setelah beberapa saat, akhirnya Dion menyadari bahwa tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mengubah keputusanku. Dengan langkah lemah, dia berbalik dan meninggalkan kami di sana, tanpa sepatah kata pun. Ketika sosoknya menghilang dari pandangan, aku merasa beban berat di dadaku mulai terangkat. Mungkin ini memang akhirnya, akhir dari hubungan yang selama ini hanya menyiksaku.
Rina menatapku, matanya penuh simpati. “Kamu sudah melakukan hal yang benar, Kirana. Aku tahu ini sulit, tapi kamu berhak untuk bahagia.”
Aku mengangguk, masih merasa sedikit hampa, tetapi juga mulai merasakan kekuatan baru di dalam diriku. “Terima kasih, Rina. Kamu selalu ada di sini untukku, bahkan saat aku buta terhadap semua ini.”
Dia merangkulku dengan penuh kasih sayang, seolah-olah memberikan perlindungan yang selama ini tak pernah kurasakan. “Sekarang, saatnya kamu melangkah maju. Kamu bisa menemukan kebahagiaanmu tanpa Dion.”
Kami berjalan perlahan meninggalkan tempat itu, menuju masa depan yang baru, bebas dari bayang-bayang masa lalu yang penuh kebohongan.
Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada Dion, aku kembali ke rumah dengan hati yang berantakan. Semua bayangan dan kenangan bersama Dion terasa seperti luka terbuka yang perih. Rasa kecewa dan sakit hati menenggelamkanku dalam perasaan tak berdaya, namun di balik rasa sakit itu, ada tekad yang mulai tumbuh, memaksaku untuk bertahan dan bergerak maju.
Aku tidak kembali ke apartemenku, sebaliknya aku langsung menuju rumah orang tuaku. Aku ingin pulang ke tempat yang memberiku rasa aman, tempat di mana aku bisa memulihkan diri tanpa tekanan. Rina, yang selalu menjadi teman setiaku, mengantarku pulang dan memastikan aku tiba dengan selamat. Saat aku melihat pintu rumah orang tuaku terbuka, aku merasakan kehangatan yang sudah lama tak kurasakan.
Ibuku menyambutku dengan wajah cemas. “Kirana, ada apa, Nak?.”
Air mata yang kutahan akhirnya mengalir, dan aku tak sanggup berkata apa-apa. Aku hanya memeluk ibu erat-erat, merasakan ketenangan yang selama ini hilang. Ibuku tak banyak bertanya; ia hanya menepuk-nepuk pundakku dengan lembut, memberikan kekuatan yang sangat kubutuhkan. Di balik rasa sakit yang kurasakan, ada perasaan lega karena akhirnya aku bisa kembali ke tempat ini—tempat di mana aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa takut dihakimi atau dikhianati.
Malam itu, aku menceritakan semuanya kepada ibu, tentang kebohongan Dion, tentang masalah yang ia sembunyikan dariku, dan bagaimana selama ini aku dipaksa menjadi orang yang bersalah atas sesuatu yang bukan kesalahanku. Aku menceritakan bagaimana Dion dan ibunya terus-menerus menekan dan merendahkanku, membuatku merasa tidak berharga. Mendengar semua itu, wajah ibu terlihat marah sekaligus sedih. Ia menghela napas panjang, seolah menahan amarah yang perlahan membara.
“Nak, kamu sudah melakukan yang terbaik selama ini. Kamu berusaha menjaga pernikahanmu, tapi kalau begini caranya, kamu memang sudah seharusnya pergi. Kamu berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik,” kata ibu dengan suara lembut namun tegas.
Kata-katanya memberikan sedikit kekuatan padaku. Meski aku sudah menguatkan hati untuk meninggalkan Dion, tetap saja sulit bagiku untuk benar-benar melupakan semua kenangan kami. Ada bagian diriku yang masih berharap, tetapi aku tahu harapan itu sudah hancur, terkubur oleh semua kebohongan yang Dion bangun.
Beberapa hari berlalu, dan aku mulai menjalani hidup yang berbeda. Setiap hari terasa seperti perjuangan, tetapi aku tahu bahwa keputusan ini adalah yang terbaik. Aku mulai mengumpulkan kembali puing-puing hidupku, mencoba menemukan diriku yang pernah hilang dalam bayang-bayang Dion. Aku melamar pekerjaan baru dan berusaha fokus pada hal-hal positif. Aku tahu, untuk benar-benar pulih, aku harus membangun kembali hidupku dari awal.
Di sela-sela proses itu, Dion terus mencoba menghubungiku. Ponselku penuh dengan pesan dan panggilan yang tak kujawab. Ia meminta kesempatan untuk memperbaiki semuanya, berjanji bahwa ia akan berubah. Tetapi bagiku, semua janji itu tidak ada artinya lagi. Aku sudah memberi banyak kesempatan, dan ia telah menyia-nyiakannya. Aku tahu bahwa jika aku memberinya satu kesempatan lagi, aku hanya akan terjebak dalam siklus yang sama, kembali terluka dan dikhianati.
Hari-hari berlalu, dan kehidupanku perlahan mulai menemukan ritmenya sendiri. Aku berhasil mendapatkan pekerjaan baru sebagai konten kreator yang memberiku ruang untuk tumbuh. Di sana, aku bertemu dengan banyak orang baru yang membantuku melihat dunia dari sudut pandang yang lebih luas. Di antara mereka, ada sosok pria bernama Andi, seorang rekan kerja yang cukup sering berbicara denganku.
Andi adalah pria yang bijak dan humoris. Meski pada awalnya aku enggan membuka diri, lambat laun kehadirannya mulai memberikan warna dalam hidupku. Kami sering mengobrol, berbagi cerita tanpa ada tekanan atau ekspektasi. Dari sekadar teman ngobrol, Andi mulai menjadi teman curhat, tempat aku bisa berbagi tanpa merasa terbebani.
Suatu hari, ketika kami sedang duduk bersama membahas proyek bersama kami, Andi tiba-tiba menanyakan sesuatu yang mengejutkanku.
“Kirana, kamu terlihat sudah mulai pulih. Tapi aku penasaran, apakah kamu benar-benar sudah selesai dengan masa lalu?” tanyanya dengan nada serius.
Aku terdiam, mencoba mencerna pertanyaannya. Selama ini aku berpikir bahwa aku sudah meninggalkan masa lalu, tetapi mungkin, ada bagian dari diriku yang masih terjebak di sana. Aku masih membawa rasa sakit dan kekecewaan yang belum benar-benar kuselesaikan. Andi seolah bisa melihat keraguanku dan tersenyum.
“Kamu nggak perlu jawab sekarang. Aku cuma ingin bilang, apapun yang kamu putuskan, lakukan itu demi dirimu sendiri, bukan demi orang lain.”
Kata-kata Andi membuatku berpikir lebih dalam. Selama ini, mungkin aku belum benar-benar melepaskan rasa sakit itu. Aku masih terjebak dalam bayangan Dion, dalam kebohongan yang pernah ia bangun. Dan mungkin, untuk benar-benar bebas, aku harus melepaskan semua beban itu dan memulai kembali tanpa ada lagi keterikatan dengan masa lalu.
Beberapa minggu kemudian, aku menerima sebuah surat dari pengacara Dion. Aku membaca surat itu dengan hati yang berdebar. Isinya adalah pemberitahuan bahwa Dion setuju untuk bercerai, tetapi dengan syarat tertentu yang seolah-olah ingin mengontrolku hingga akhir. Ia meminta agar aku tetap tidak boleh menyebarkan fakta bahwa dia memiliki masalah fertilitas, bahkan di dalam keluarganya sendiri. Selain itu, aku juga harus membantunya melunasi hutang-hutangnya.
Permintaan itu membuatku geram. Seolah-olah, bahkan di akhir pernikahan kami, Dion masih ingin mengendalikan hidupku. Dia tetap ingin menutupi kebohongannya, melindungi reputasinya tanpa peduli bagaimana perasaanku. Aku menyadari bahwa perpisahan ini adalah kesempatan untuk benar-benar bebas, dan aku tidak akan membiarkan Dion menghentikanku lagi.
Setelah berdiskusi dengan pengacara pribadiku, aku memutuskan untuk menolak syarat tersebut. Aku ingin menyelesaikan perpisahan ini dengan hati yang bersih, tanpa ada lagi kebohongan atau manipulasi. Jika Dion ingin menjaga rahasianya, itu urusannya sendiri.
Akhirnya, hari persidangan perceraian tiba. Saat aku melihat Dion di ruang sidang, perasaanku campur aduk. Dia terlihat berbeda—tidak lagi percaya diri dan berwibawa seperti dulu. Ada kesedihan yang terpancar dari wajahnya, tetapi aku sudah terlalu lelah untuk peduli. Ini adalah keputusan yang sudah kupikirkan matang-matang, dan aku tak ingin mundur.
Di persidangan, Dion mencoba membela dirinya, mengeluhkan bagaimana dia sebenarnya ingin memperbaiki pernikahan kami. Namun, aku tetap teguh dengan pendirianku. Persidangan berjalan cukup lama, dan di akhir hari itu, akhirnya hakim mengesahkan perceraian kami. Aku resmi bebas dari Dion, dari segala kendalinya, dan dari semua kebohongannya.
Setelah persidangan berakhir, Dion mendekatiku di luar ruangan. “Kirana, aku harap kamu bisa memaafkan aku suatu hari nanti,” ucapnya lirih.
Aku menatapnya sejenak, mencoba mencari sisa perasaan yang dulu mungkin pernah ada. Tapi yang kutemukan hanyalah kekosongan. “Dion, aku sudah memaafkanmu. Tapi aku tidak akan pernah melupakan apa yang telah kamu lakukan. Selamat tinggal.”
Aku berjalan menjauh, meninggalkan Dion dan semua kenangan buruk itu di belakangku. Aku merasa bebas, seolah beban besar telah terangkat dari pundakku. Ini adalah babak baru dalam hidupku, babak yang akan aku tulis sendiri tanpa ada orang yang mencoba mengatur atau mengendalikanku.
Saat aku keluar dari gedung pengadilan, aku bertemu dengan Andi yang sengaja datang untuk mendukungku. Dia tersenyum, menyambutku dengan hangat. Di sisi lain, aku mulai merasakan sesuatu yang baru—perasaan lega dan bahagia yang sudah lama hilang dari hidupku.