Narecha memilih untuk melarikan diri dari kehidupannya penuh akan kebohongan dan penderitaan
Lima tahun berselang, Narecha terpaksa kembali pada kehidupan sebelumnya, meninggalkan berjuta kenangan indah yang dia ukir ditempat barunya.
Apakah Narecha sanggup bertahan dengan kehidupannya yang penuh dengan intrik?
Di tengah masalah besar yang terjadi padanya, datang laki-laki dari masa lalunya yang memaksa masuk lagi dalam kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ssintia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanggungjawab
...••••...
Echa yang sedang asik menonton film dari saluran TV favoritnya langsung bangun dari posisi rebahan nya ketika sandi apartemennya terdengar ditekan-tekan.
Setahu Echa hanya dirinya saja yang bisa mengakses tempat tinggalnya ini.
Karena memang belum lama ini Echa mengganti kunci pintu apartemennya dengan keamanan yang lebih tinggi untuk berjaga-jaga. Tapi sepertinya hal itu percuma karena maling kini sudah bisa masuk.
Dengan was-was, Echa mengambil tongkat bisbol yang sengaja dia beli sebagai pajangan yang tidak tahunya akan berguna di situasi seperti ini.
Menunggu di balik tembok, ancang-ancang Echa memegang tongkat bisbol nya dengan erat untuk memukul maling yang masuk apartemennya.
Jika selamat, Echa harus komplain pada pihak apartemen karena lalai bertugas hingga membiarkan maling bisa masuk dengan mudah. Jikapun tidak, ya paling Echa mati.
Echa langsung mengayunkan tongkatnya dengan kuat ketika sosok itu berada di depannya dan langsung memukulinya dengan bertubi-tubi.
"Echa, hei Narecha ini saya, berhenti." Echa yang memejamkan matanya langsung mengerjap begitu mendengar suara yang tidak asing.
Tangannya yang memegang tongkat ditahan dengan kuat membuat Echa akhirnya tersadar sepenuhnya jika sosok didepannya ini adalah Pram.
"Mas Pram!" Echa langsung menjatuhkan tongkat bisbol untuk memeriksa keadaan Pram.
Demi Tuhan, Echa tadi memukulinya dengan sekuat tenaga. Pasti itu akan sakit.
Echa membimbing Pram agar duduk di sofa. Melihat Pram yang meringis seraya mengelus-elus bahunya membuat Echa merasa bersalah.
"Mas maaf," Echa terlihat bingung harus melakukan apa selain hanya memandangi Pram dengan rasa bersalahnya.
"Kenapa sampai harus memukuli saya Narecha," Pram menatap Echa dengan menuntut jawaban.
"Aku kira mas maling, abisnya datang tiba-tiba," jawaban yang tidak Pram duga sama sekali keluar dari mulut Echa membuatnya mau tidak mau tertawa pelan meskipun tubuhnya terasa ngilu.
Setelah seharian berkegiatan cukup menguras tenaga, dan kini Pram diberi sambutan pukulan-pukulan kencang dengan sebuah tongkat keras tentu saja membuat badannya semakin sakit.
Di tengah tawanya, Pram meringis ketika bahunya semakin berdenyut.
Echa yang melihatnya semakin gelagapan dan panik.
"Mas, mending ke rumah sakit aja ya," Echa bersiap untuk berdiri sebelum Pram menarik tangannya membuatnya terjatuh menempel di samping pria itu.
Cepat-cepat Echa menjauhkan tubuhnya takut mengenai Pram tapi terlebih dahulu pria itu menahannya membuat tubuh keduanya semakin tidak menyisakan jarak.
"Mas aku serius, ayo kita ke rumah sakit biar mas diperiksa dokter mhhh,"
Belum sempat Echa menyelesaikan perkataannya, Pram terlebih dahulu menyumpal bibir kesukaannya itu dengan bibirnya.
Pram menggerakkan bibirnya dengan cepat tapi tetap teratur.
Echa yang hampir terbuai langsung melepaskan tautan bibir keduanya meskipun Pram enggan untuk melepaskannya.
"Banyak bicara sekali kamu baby, saya tidak apa-apa kalau kamu khawatir." Ujar Pram mencoba menenangkannya Echa yang terlihat masih merasa bersalah.
"Tapi tadi aku mukulnya kencang banget mas,"
"Memang, tapi tidak apa-apa, saya terbiasa mendapatkan yang lebih." Perkataan Pram yang menyiratkan sesuatu membuat Echa bingung apa maksudnya.
"Maksudnya apa mas?" Echa menahan tangannya diatas kaki Pram.
"Tidak usah dipikirkan, bukan hal yang penting." Pram menyelipkan anak-anak rambut Echa yang menjuntai.
"Baiklah, tapi beneran mas engga perlu ke diperiksa dokter?" tanya Echa sekali lagi untuk memastikan.
"Tidak perlu baby, mungkin hanya dengan kompresan?" Pram tiba-tiba saja melepaskan satu persatu kancing kemejanya membuat Echa panik melihatnya.
"Kenapa dibuka kancing bajunya mas?" Echa mundur sedikit demi sedikit ketika tangan Pram semakin bawah membuka kancing kemejanya.
"Lihat,"
Echa meringis begitu melihat kondisi tubuh Pram yang banyak ruam-ruam merah akibat ulahnya. Ruam yang lama kelamaan akan menjadi lebam itu hampir memenuhi bagian atas tubuhnya.
"Sebentar mas," Echa berdiri menuju dapur untuk mengambil handuk dan juga air es.
Kembali lagi ke ruang tengah, mata Echa malah dibuat salah fokus begitu mendapati tubuh atas Pram yang tidak tertutup sehelai benangpun.
Tubuh yang baru Echa sadari terlihat begitu mengagumkan. Delapan kotak diperutnya juga dadanya yang bidang begitu mengundang tangannya untuk menjelajahinya.
Tidak ingin pikiran kotor semakin menguasainya, Echa menggelengkan kepalanya dengan cepat, tidak lupa juga dia mengetuk kepalanya dengan gemas.
"Mas aku izin kompres," Echa mulai mengompres tubuh Pram dengan hati-hati meskipun beberapa kali dirinya dibuat tidak bisa bernafas dengan normal apalagi detak jantungnya yang menggila.
Sungguh, Echa merasa jika dia membuat keputusan yang salah. Jika saja tadi dia memaksa Pram agar pergi ke rumah sakit, pastinya dirinya akan terbebas dari situasi yang amat merugikan bagi dirinya ini.
"Shh, pelan-pelan saja Narecha."
Mendengar perkataan itu membuat Echa memelankan tekanan tangannya. Salahnya juga yang menekan terlalu kuat ketika tidak sengaja tangannya menyentuh kotak-kotak diperutnya itu.
"Maaf mas,"
"Berhenti meminta maaf Narecha."
Echa hanya menganggukkan kepalanya tanpa berniat untuk menjawab perkataan Pram.
Hingga keheningan mengisi malam yang semakin larut.
"Aku kira mas pulang," Echa akhirnya menyuarakan isi hatinya yang ingin sekali dia tanyakan dari tadi.
Soalnya setelah makan tadi Echa tidak mendapati keberadaan Pram dan kini pria itu malah tiba-tiba saja muncul lagi, tanpa pemberitahuan sampai-sampai Echa menganggapnya maling.
"Saya hanya ke bawah untuk merokok." Jawaban yang tidak Echa duga. Kenapa merokok sampai harus kebawah, atau Pram tahu jika Echa tidak menyukai asap nikotin itu.
Entahlah, hanya Pram yang tahu jawabannya.
"Kenapa mas engga sekalian pulang aja?" Echa yang telah selesai dengan tubuh Pram menyimpan handuknya ke dalam wadah berisi air yang sudah tidak lagi dingin itu.
"Saya memang tidak berniat untuk pulang,"
"Tapi kenapa?" Echa menatap Pram dengan tidak mengerti.
"Saya ingin disini bersama mu,"
Echa hampir tersedak ludahnya sendiri ketika mendengar jawaban Pram yang sungguh tidak masuk akal.
Maksudnya untuk apa Pram terus di apartemennya, bukannya pria itu memiliki kesibukannya sendiri.
Beda dengan Echa yang kini sudah resmi menjadi seorang pengangguran, Echa bebas untuk tidur dan bangun jam berapapun.
"Mas sebaiknya cepat pulang, besok kan harus kerja."
"Saya menginap disini."
Echa menatap Pram dengan aneh, "Memangnya siapa yang ngizinin mas untuk tidur disini?"
"Kamu,"
"Kapan aku bilang begitu?"
Pram mengambil satu tangan Echa lalu dia mainkan diatas perutnya membuat wanita itu terpaku dengan debaran jantung yang semakin menggila.
"Memangnya kamu tidak mau bertanggung jawab atas perbuatan kamu pada tubuh saya?" kali ini Pram semakin menaikkan tangannya membuat tangan Echa kini berada di dada bidang pria itu.
"Kan udah aku kompres, atau mas mau ke rumah sakit? Biar aku antar kalau begitu." Echa yang berbicara cepat membuat Pram tersenyum geli dan langsung mengangkat tubuh kecil itu hingga kini berada di pangkuannya.
...••••...