Kumpulan Cerita Pendek Kalo Kalian Suka Sama Cerpen/Short Silahkan di Baca.
kumpulan cerita pendek yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dari momen-momen kecil yang menyentuh hingga peristiwa besar yang mengguncang jiwa. Setiap cerita mengajak pembaca menyelami perasaan tokoh-tokohnya, mulai dari kebahagiaan yang sederhana, dilema moral, hingga pencarian makna dalam kesendirian. Dengan latar yang beragam, dari desa yang tenang hingga hiruk-pikuk kota besar, kumpulan ini menawarkan refleksi mendalam tentang cinta, kehilangan, harapan, dan kebebasan. Melalui narasi yang indah dan menyentuh, pembaca diajak untuk menemukan sisi-sisi baru dari kehidupan yang mungkin selama ini terlewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfwondz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selamat Tinggal di Ujung Jalan.
Langit senja menyemburatkan warna keperakan yang aneh, seolah ada yang terlarut di antara langit dan bumi. Jalanan yang lengang mengarah ke tempat yang tak seorang pun berani melewati saat malam tiba—"Ujung Jalan," begitulah penduduk sekitar menyebutnya.
Jaka menginjakkan kaki di tanah berbatu di sisi jalan itu. Sepatu botnya mengeluarkan bunyi renyah ketika menghantam kerikil yang tersebar tak beraturan. Napasnya berat, bukan karena perjalanan panjang, tetapi karena rasa gelisah yang menghantui pikirannya.
“Kenapa harus di sini, Pak?” tanya Jaka sambil menoleh ke ayahnya, Pak Andri, yang tampak berdiri kaku di sebelahnya. Di tangan pria tua itu ada sebuah tongkat kayu yang digunakan sebagai penopang tubuh yang mulai menua.
Pak Andri menghela napas dalam-dalam. Matanya yang sudah keriput mengerjap perlahan menatap ujung jalan yang tampak mencekam meski belum sepenuhnya gelap.
“Ini adalah akhir dari semua, Nak,” katanya dengan nada pelan, nyaris berbisik. “Hanya di sini kau akan menemukan jawaban.”
Jaka diam. Ia tahu, sudah bertahun-tahun ayahnya merahasiakan sesuatu. Ada masa lalu yang kelam, sesuatu yang tak pernah diceritakan kepada siapa pun. Dan kini, tampaknya saat itu telah tiba.
Mereka melanjutkan perjalanan menyusuri jalan yang sunyi, hanya ditemani oleh desir angin malam yang semakin menguat. Pohon-pohon di sepanjang jalan itu seperti melengkung, seolah merunduk dalam ketakutan terhadap sesuatu yang tidak terlihat. Sesekali, Jaka merasakan perasaan seolah ada yang memperhatikannya dari balik pepohonan. Bayangan gelap bergerak cepat, hampir seperti ilusi, tapi ia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar ilusi.
“Pak, apa kita benar-benar harus melakukannya malam ini?” Jaka menahan langkahnya, mencoba memeriksa lagi niat ayahnya. “Tempat ini... terasa aneh.”
Pak Andri menghentikan langkahnya, menatap anaknya dengan sorot mata yang tajam.
“Kau takut?” tanya Pak Andri dingin.
“Bukan takut,” jawab Jaka dengan suara gemetar, “hanya saja...”
“Takut adalah bagian dari kebenaran yang harus kau hadapi,” potong Pak Andri cepat, “Kalau kau tidak bisa mengatasi rasa takutmu di sini, kau tidak akan pernah tahu apa yang terjadi sebenarnya.”
Jaka menggertakkan giginya, mencoba menguasai diri. Ada perasaan bahwa apa yang akan mereka hadapi bukan hanya soal masa lalu atau sekadar misteri keluarga. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, dan lebih menakutkan yang menunggu mereka di ujung jalan itu.
Langkah mereka kembali bergema dalam keheningan. Jalan yang mereka lalui semakin menyempit, dan kini pepohonan tinggi di kiri-kanan mereka semakin lebat, membuat cahaya rembulan yang semula samar-samar menerangi jalan menjadi sepenuhnya terhalang.
“Pak, apa yang sebenarnya kita cari di sini?” tanya Jaka lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.
Pak Andri berhenti tepat di depan sebuah tikungan tajam. Dari sini, jalanan melengkung ke kanan, dan di sana, di tikungan itu, berdiri sebuah gerbang tua yang sudah hampir rubuh, terbuat dari kayu dan besi berkarat. Di balik gerbang itu hanya kegelapan yang menanti.
“Jawaban,” ucap Pak Andri singkat, sebelum melangkah menuju gerbang itu.
Ketika Jaka mengikuti ayahnya memasuki gerbang, ia merasakan udara di sekelilingnya berubah drastis. Hawa dingin yang tak wajar menyelimuti mereka, dan suara-suara samar terdengar dari kejauhan, seperti bisikan yang tak dapat dipahami. Jaka menggigil tanpa sadar, merasakan ketegangan yang mencekam.
Di hadapan mereka kini terbentang sebuah padang kosong, ditumbuhi ilalang tinggi yang bergoyang tertiup angin. Di tengah padang itu, berdiri sebuah rumah tua yang tampak sangat terabaikan. Atapnya hampir runtuh, dan jendelanya berderit setiap kali angin menyentuhnya. Rumah itu tampak seperti tempat yang ditinggalkan puluhan tahun lalu, tetapi ada sesuatu yang aneh. Rumah itu seolah... hidup.
“Kita harus masuk ke sana?” tanya Jaka, suaranya terdengar serak.
Pak Andri tidak menjawab. Ia hanya melangkah maju, tanpa sedikit pun ragu. Jaka mengikuti di belakangnya, walau setiap sel di tubuhnya memberontak untuk berlari menjauh. Sesuatu tentang tempat ini membuatnya merasa tidak nyaman—seperti ada mata yang selalu mengawasi mereka, menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
Ketika mereka mencapai pintu depan rumah itu, Pak Andri berhenti sejenak, lalu menatap anaknya.
“Dulu, rumah ini adalah rumah kita,” kata Pak Andri tiba-tiba.
Jaka menatap ayahnya dengan terkejut. “Apa maksudnya? Aku tidak pernah—”
“Kau masih kecil saat semuanya terjadi,” potong Pak Andri lagi, suaranya penuh dengan kepedihan yang tertahan. “Kau tidak mengingatnya, karena aku membawamu pergi sebelum semuanya berubah menjadi bencana.”
Jaka menelan ludah, bingung sekaligus penasaran. “Apa yang terjadi di sini, Pak?”
Pak Andri menatap pintu yang tertutup di depan mereka. “Ibumu... dia tidak pernah meninggalkan tempat ini.”
Kata-kata itu menggetarkan Jaka. Ibu. Sosok yang selalu misterius baginya. Ayahnya jarang membicarakan ibu, dan Jaka tumbuh dengan keyakinan bahwa ibunya meninggal karena sakit. Tapi kini, semua pertanyaan yang terpendam bertahun-tahun kembali menghantui pikirannya.
“Kita harus masuk,” ucap Pak Andri lirih. Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu itu perlahan.
Pintu kayu tua itu berderit, memperdengarkan suara yang menggema di seluruh rumah. Bau lembap dan debu menyeruak keluar, memenuhi udara malam yang dingin. Di dalam, suasana semakin suram. Cahaya rembulan yang redup hanya mampu menembus sedikit melalui jendela yang pecah.
Jaka menahan napas saat melihat sekeliling. Ruang tamu yang dulu mungkin megah kini hanya tinggal reruntuhan, dengan kursi-kursi reyot dan meja kayu yang sudah rapuh dimakan waktu. Di sudut ruangan, ada cermin besar yang pecah, memantulkan bayangan yang terdistorsi.
Namun, hal yang paling mengerikan adalah lukisan di dinding. Sebuah potret besar seorang wanita dengan gaun putih panjang, wajahnya tertutup oleh bayangan. Jaka merasakan hawa dingin menyusup ke tulangnya saat menyadari sesuatu yang ganjil. Mata pada lukisan itu... tampak hidup, seolah mengikuti setiap gerakan mereka.
“Pak...” bisik Jaka, “siapa wanita itu?”
Pak Andri terdiam, matanya menatap lurus ke arah lukisan tersebut. “Itu... ibumu.”
Jaka terperangah. Wajahnya memucat saat memandang kembali ke arah lukisan itu. Lukisan itu seolah menghembuskan aura kejahatan yang tidak kasatmata, membuat darahnya berdesir.
“Sesuatu yang buruk terjadi di sini,” kata Pak Andri pelan, namun penuh tekanan. “Sesuatu yang tidak pernah kubayangkan. Dan sekarang, kita harus mengakhirinya.”
“Bagaimana caranya?” tanya Jaka dengan suara bergetar. Ia merasa semakin tenggelam dalam ketakutan yang mengungkung tempat itu.
Pak Andri mengeluarkan sebuah benda kecil dari dalam saku jaketnya. Sebuah cincin. “Dengan ini,” ucapnya.
Jaka memandang cincin itu dengan bingung. “Apa maksudnya?”
“Saat ibumu meninggal, dia tidak pergi dengan tenang,” kata Pak Andri sambil menatap cincin itu. “Jiwanya terperangkap di sini, di tempat ini, karena satu alasan. Cincin ini adalah kunci, kunci untuk membebaskannya.”
Pak Andri berjalan menuju lukisan dan meletakkan cincin itu di atas meja yang berada tepat di bawah lukisan. Seketika, suara gemuruh terdengar dari dalam rumah. Tanah di bawah kaki mereka bergetar, dan angin kencang menerobos masuk melalui jendela-jendela pecah. Lukisan wanita itu tiba-tiba berubah. Wajahnya yang semula tidak jelas kini menampakkan sosok seorang wanita yang menatap mereka dengan penuh amarah.
“Lari, Jaka!” teriak Pak Andri.
Jaka berbalik, namun sesuatu menariknya dari belakang. Angin yang datang entah dari mana mendorong tubuhnya ke arah lukisan itu. Di balik tatapan ibunya yang penuh kemarahan, Jaka merasa seperti terhisap ke dalam kegelapan tanpa ujung.
Tapi sebelum semuanya lenyap, suara Pak Andri menggema dalam kegelapan. “Maafkan aku, Jaka... Maafkan aku.”
Dan di detik terakhir, semua menjadi hening.