Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kalung Untuk Raina
Sesuai dengan apa yang dikatakan Nero kemarin lusa, hari ini dia telah kembali ke negara asalnya—Indonesia. Sekitar jam tiga sore dia mendarat di bandara Surabaya, lantas langsung melaju menuju Kantor N&M.
"Nona sudah menunggu Anda, Tuan. Sejak siang tadi beliau sibuk di dapur, katanya akan memasak sesuatu untuk Anda," ucap Norman yang kala itu memegang kemudi.
"Apa dia tahu kamu datang menjemputku?" Nero justru menanyakan hal lain, seolah tak penasaran dengan 'sesuatu' yang sengaja dibuat untuknya.
"Tahu, Tuan, tadi Nona sempat bertanya. Dan ... sepertinya sangat senang saat saya menjawab akan menjemput Anda."
Nero tak menjawab lagi. Ucapan Norman sekadar ditanggapi dengan senyum miring sekilas, bahkan Norman pun sampai tak menyadarinya.
Kemudian, sampai tiba di kantor tak ada lagi perbincangan di antara keduanya. Norman memilih diam dan tak banyak bicara lagi, terlebih seputar Raina. Dia tak mau suasana hati tuannya justru berubah gara-gara itu, dan akan berimbas pada bonus akhir bulan. Ah, jangan sampai.
"Selamat datang, Tuan Nero." Bryan menyapa sambil membungkuk hormat. Dia sendiri yang turun dan menyambut Nero di pintu depan.
"Ikut ke ruanganku!" jawab dengan Nero dengan perintah tegas. Dia memang tak punya banyak waktu. Sebisa mungkin diusahakan tiba di rumah sebelum jam makan malam.
Bryan pun tak banyak membantah. Dia sudah hafal dengan sifat tuannya, nyaris tak pernah ada waktu luang dalam hidupnya. Setiap detik, setiap menit, selalu dikejar urusan penting yang berhubungan dengan bisnis.
Seperti saat ini contohnya. Hampir tak ada waktu untuk menghela napas, begitu masuk ke ruangan Nero langsung bertanya to the point, bahkan sebelum dirinya duduk dengan benar.
"Bagaimana pengatanmu? Ada pergerakan dari Kai Group?"
Bryan sedikit gelagapan meski berkas sudah disiapkan sejak tadi. Kini hanya membuka saja rasanya sulit, seakan-akan lembaran-lembaran kertas itu lengket satu sama lain.
"Sejauh ini masih aman, Tuan. Pihak Kai Group hanya melakukan apa yang seharusnya lakukan. Selain itu, saham kita juga masih dalam kendali. Tidak ada transaksi jual beli yanh mencurigakan."
Mendengar penjelasan Bryan, Nero mengangguk-angguk. Namun, dia tak lantas tenang dan membuang jauh kecurigaannya. Meski sebenarnya tidak ada tanda-tanda yang memicu kekhawatiran, tetapi demi meminimalisir kegagalan, Nero akan tetap berhati-hati. Termasuk kepada Kai Group yang notabene adalah mitra kerja samanya.
"Ini laporan penjualan kita bulan ini, Tuan. Naik drastis." Bryan kembali menyodorkan berkas yang lain.
Nero membaca laporan tersebut dengan saksama, lantas kembali menatap Bryan dengan ekspresi tegasnya.
"Kerja sama dengan Kai Group memang berdampak baik untuk N&M. Itu sangat menguntungkan, aku mengakuinya. Tapi, siapa yang bisa menjamin bahwa tak ada niat terselubung di balik kerja sama ini? Itu sebabnya, jangan sampai lengah! Lakukan sesuai arahanku! Kamu tidak boleh melakukan kesalahan, Bryan."
"Saya mengerti, Tuan. Saya akan bertanggung jawab penuh atas pergerakan mereka," jawab Bryan, juga dengan nada tegas.
"Bagus, lakukan tugasmu dengan baik!" sahut Nero. "Sekarang keluarlah, aku akan memeriksa semua ini."
"Baik, Tuan." Usai menjawab demikian, Bryan membalikkan badan dan meninggalkan ruangan Nero.
Sementara itu, Nero terus fokus dengan berkas-berkas yang menumpuk di depannya. Ada laporan penjualan, laporan produksi, laporan keuangan, dan lain-lain.
Di tengah keseriusannya dalam memeriksa laporan-laporan tersebut, tiba-tiba ada telepon masuk—dari Ava.
Walau dengan setengah hati, tetapi Nero menjawabnya.
"Ternyata kau pulang ke Indo? Katanya aku akan diajak ke sana, tapi justru pulang tanpa memberitahuku. Kau tega, Nero." Dari seberang sana, Ava terdengar merajuk. Namun, Nero justru tersenyum.
"Sorry. Ada urusan penting yang memaksaku untuk pulang secepatnya. Kau tenang saja, dalam waktu dekat aku akan kembali ke London. Tunggulah aku di sana."
Ucapan yang sangat manis. Saking manisnya, Ava sampai berhenti merajuk, malah kini bicara dengan nada manja.
Sayangnya, hal itu justru membuat obrolan berlangsung lama. Sampai hampir senja Ava masih belum juga mengakhiri sambungan telepon. Mau tidak mau, Nero-lah yang akhirnya pamit dan menyudahi perbincangan itu, dengan alasan pekerjaan tentunya.
Usai menyimpan kembali ponselnya, juga memasukkan semua berkas ke dalam tas, Nero bergegas keluar ruangan. Kemudian menuju mobil dan meminta Norman untuk melajukan mobilnya dengan cepat.
_______
"Udah setengah tujuh, kenapa Pak Norman dan Om Nero belum pulang? Apakah sejauh itu jarak bandara dengan rumah? Atau ... jangan-jangan ada kendala dengan pesawat yang ditumpangi Om Nero. Duh, jangan sampai itu terjadi. Aku nggak mau Om Nero kenapa-napa."
Raina berdiri resah di dekat terali balkon. Pandangannya tertuju ke bawah, tepatnya pada pintu gerbang mewah yang sampai saat ini masih tertutup rapat.
Beberapa menit menunggu, masih tak ada tanda-tanda kedatangan Nero. Sampai kemudian, Raina menyerah dan kembali masuk ke kamar. Meninggalkan balkon dan pintu gerbang yang entah kapan akan terbuka.
"Om Nero nggak mungkin pulang ke apartemen, kan?" Raina mulai cemas. Untuk kesekian kali dia mencengkeram dress yang ia kenakan.
Apakah masakannya akan berakhir sia-sia?
Satu pertanyaan yang sangat mengganggu pikiran, seolah menghantui Raina akan kemungkinan terburuk dari usahanya hari ini.
"Tapi—"
Gumaman Raina menggantung begitu saja karena dikejutkan oleh suara pintu yang dibuka dari luar. Sontak Raina menoleh dan mendapati sosok Nero sedang berjalan memasuki kamar sembari menenteng jas dan tas kerja.
"Om, udah pulang?" Raina beranjak dan memberanikan diri untuk menyapa.
Walau yang dia inginkan adalah menghambur ke pelukan Nero, tetapi yang sanggup dilakukan sekadar menyapa dan sedikit mendekat.
"Siapkan air hangat, aku mau mandi."
"Baik, Om," jawab Raina sembari menyembunyikan senyuman. Demi apa nada suara Nero tak sesinis biasanya. Meski belum bisa dikatakan ramah apalagi manis, tetapi setidaknya sedikit bersahabat.
Tak ingin menghancurkan suasana yang langka itu, Raina bergegas ke kamar mandi dan menyiapkan air hangat untuk Nero. Tak lupa pula menyiapkan shampoo dan juga sabun untuknya.
Setelah semua selesai, Raina kembali keluar dan melihat Nero sedang duduk di sofa dengan pakaian yang masih lengkap.
"Udah, Om," ucap Raina.
"Kemari sebentar!" sahut Nero sambil menoleh sekilas
"Ada yang perlu kubantu lagi, Om?" Raina mendekat dan berdiri di samping Nero.
"Pakai ini!" Sembari bangkit dari duduknya, Nero meletakkan kotak kalung di meja, di depan Raina. Kalung yang ia bawa dari London kemarin.
"Ini ... ini untukku, Om?" Raina setengah tak percaya. Walau yang dia lihat hanya kotak luarnya, tetapi ia yakin isi di dalamnya adalah perhiasan yang tak mungkin murah.
"Jangan salah paham. Besok Tuan Sanjaya mengundang kita untuk makan malam, ada Raksa dan Anne juga. Aku tak mau mereka menganggapku tidak memperlakukan kamu dengan baik." Nero bicara sembari melangkah pergi.
Terlepas dari jawaban yang keluar dari bibir Nero, tetapi Raina sangat senang kala itu. Bahkan, dia menganggap hadiah barusan merupakan hadiah ulang tahun dari sang suami.
Masih dengan senyum yang mengembang, Raina meraih kotak kalung itu dengan hati-hati. Lantas, membukanya dengan pelan.
"Wah, bagus banget," pekik Raina dalam hatinya.
Dalam beberapa detik dia tak bisa mengalihkan pandangan dari kalung yang kini berkilauan di hadapannya. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk bunga lily, dengan hiasan permata yang berjumlah delapan. Membayangkan saja Raina sudah terpesona, pasti sangat cantik lehernya dihiasi kalung semanis itu.
"De l'amour." Raina mengeja nama brand yang tadi belum sempat dia baca.
Sampai di sini, Raina tertegun seorang diri. Kalau tidak salah, l'amour adalah bahasa Prancis yang kurang lebih artinya adalah cinta.
"Ahh, mikir apa sih. Ini kan cuma nama brand-nya, bukan dari Om Nero-nya," batin Raina, membuang jauh-jauh pikiran yang mulai tidak masuk akal.
Bersambung...