Reintara Narendra Pratama adalah CEO muda yang dikenal dingin dan penuh wibawa. Di usia 25 tahun, ia sudah membangun reputasi sebagai pria yang tajam dalam mengambil keputusan, namun sulit didekati secara emosional. Hidupnya yang teratur mulai berantakan ketika ia bertemu dengan Apria—seorang perempuan penuh obsesi yang percaya bahwa mereka ditakdirkan bersama.
Awalnya, Reintara mengira pertemuan mereka hanyalah kebetulan. Namun, semakin hari, Ria, sapaan akrab Apria, menunjukkan sisi posesif yang mengerikan. Mulai dari mengikuti setiap langkahnya, hingga menyusup ke dalam ruang-ruang pribadinya, Ria tidak mengenal batas dalam memperjuangkan apa yang ia anggap sebagai "cinta sejati."
Reintara, yang awalnya mencoba mengabaikan Ria, akhirnya menyadari bahwa sikap lembut tidak cukup untuk menghentikan obsesi perempuan itu. Dalam usaha untuk melindungi dirinya, ia justru memicu konflik yang lebih besar. Bagi Ria, cinta adalah perjuangan, dan ia tidak akan menyerah begitu saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 'yura^, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bayangan di blik jeruji
Ria menatap Reintara dengan tatapan penuh kebencian dan kesedihan. “Kamu akan menyesal melakukan ini, Rein. Aku tidak pernah menyerah.”
“Dan aku tidak akan pernah takut,” balas Reintara tegas.
Dengan marah, Ria meninggalkan rumah itu, tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa pertempuran ini belum berakhir.
Kejutan Tak Terduga
Ketika Reintara merasa bahwa ia akhirnya mendapatkan kendali kembali atas hidupnya, sebuah paket misterius tiba di kantornya pagi-pagi sekali.
Saat ia membukanya, ia menemukan sebuah foto dirinya bersama keluarganya, dengan coretan merah yang melingkari wajah ibunya. Di bawahnya terdapat sebuah catatan:
"Kamu bisa melawan aku, Rein, tapi kamu tidak akan pernah bisa melindungi semua orang yang kamu cintai."
Reintara mengepalkan tangannya, wajahnya memerah karena marah. Ia tahu bahwa Ria baru saja meningkatkan permainan ini ke level yang lebih berbahaya.
Ancaman yang Menggetarkan
Pagi itu, suasana kantor Reintara terasa lebih mencekam dari biasanya. Paket misterius yang diterimanya telah mengubah segalanya. Wajah ibunya yang dilingkari tinta merah dalam foto itu terus menghantui pikirannya.
“Siapkan pengamanan tambahan untuk keluargaku. Segera,” perintah Reintara kepada Maya dengan nada tegas.
Maya mengangguk. “Tentu, Tuan. Saya juga akan memastikan semua komunikasi kita terenkripsi.”
Namun, jauh di dalam dirinya, Reintara tahu bahwa Ria tidak akan berhenti hanya dengan ancaman. Ia harus mempersiapkan langkah lebih besar untuk menghentikannya.
Langkah Pertama Ria
Di apartemennya, Ria duduk sambil memutar segelas anggur di tangannya. Tatapan matanya penuh kemenangan. Ia tahu bahwa paket itu telah membuat Reintara gelisah.
“Bagaimana reaksinya?” tanya Ria kepada hacker yang kini menjadi sekutunya.
“Dia langsung memerintahkan pengamanan tambahan. Tapi kelihatannya dia masih belum yakin siapa yang mengirimnya,” jawab pria itu.
Ria tersenyum puas. “Bagus. Pastikan kamu tetap tidak terlacak. Kita akan buat dia semakin terpojok.”
Pria itu mengangguk, lalu kembali bekerja. Sementara itu, Ria merancang rencana lain. Kali ini, ia akan menyerang dari sisi yang paling lemah—keluarga Reintara.
Serangan yang Tidak Terduga
Beberapa hari kemudian, ibunda Reintara menerima telepon misterius dari seseorang yang mengaku sebagai asisten putranya.
“Bu Narendra, kami ingin mengonfirmasi jadwal kunjungan medis Anda hari ini. Supir kami akan menjemput Anda.”
Ibu Reintara yang tidak curiga menanggapi telepon itu dengan ramah. “Oh, baiklah. Terima kasih sudah mengingatkan saya.”
Namun, saat mobil yang datang untuk menjemputnya berhenti di depan rumah, bukan pengemudi biasa yang ia temui. Dua pria bertopeng keluar dari mobil dan menariknya masuk dengan paksa.
Ketika kabar penculikan itu sampai ke telinga Reintara, dunia seakan runtuh.
“Ini perbuatan Ria,” gumamnya sambil mengepalkan tangan.
Tantangan dari Ria
Tak lama kemudian, ponsel Reintara berdering. Nama Ria muncul di layar. Dengan penuh amarah, ia mengangkat telepon itu.
“Apa yang kamu lakukan, Ria?!” bentaknya tanpa basa-basi.
Ria terkekeh di ujung sana. “Tenang, Rein. Ibumu baik-baik saja... untuk saat ini.”
“Kembalikan dia, atau aku akan melibatkan polisi,” ancam Reintara.
“Oh, sayangku, kau tahu aku lebih pintar dari itu. Kalau kau mencoba sesuatu yang bodoh, aku tidak akan bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada ibumu,” jawab Ria dengan nada manis yang mematikan.
“Apa maumu?” tanya Reintara, nadanya mulai melembut.
“Aku ingin kamu menyerah padaku. Berhenti melawanku, Rein. Jika kamu setuju, ibumu akan pulang dengan selamat.”
Reintara terdiam. Ia tahu bahwa menyerah bukanlah pilihan, tapi ia juga tidak bisa mengambil risiko kehilangan ibunya.
Pertaruhan Besar
Dalam waktu singkat, Reintara mengumpulkan timnya untuk membahas langkah selanjutnya.
“Kita tidak bisa mempercayai Ria. Dia akan terus menuntut lebih jika kita menuruti kemauannya,” ujar Maya.
“Tapi ini ibu saya, Maya. Saya tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya,” jawab Reintara dengan suara berat.
Timnya mulai merancang rencana untuk melacak lokasi Ria dan menyelamatkan ibunya tanpa memancing kecurigaan.
Pertemuan dengan Sang Pemangsa
Sesuai permintaan Ria, Reintara setuju untuk bertemu di sebuah vila terpencil. Ia datang sendirian, membawa koper yang menurut Ria harus diisi dengan dokumen perusahaan sebagai tanda “penyerahan diri.”
Saat tiba di sana, Ria menyambutnya dengan senyum lebar. “Aku tahu kamu akan datang, Rein. Bukankah ini indah? Hanya kita berdua, tanpa gangguan.”
“Di mana ibuku?” tanya Reintara tajam.
“Tenang saja, dia aman. Tapi sebelum itu, aku ingin memastikan bahwa kamu benar-benar setuju untuk menjadi milikku.”
Ria mendekat, mencoba menyentuh wajah Reintara, tetapi ia mundur dengan cepat. “Berhenti bermain-main, Ria.”
“Oh, Rein, ini bukan permainan. Ini cinta,” jawab Ria sambil tersenyum dingin.
Serangan Balik Reintara
Saat Ria terus berbicara, sebuah bunyi kecil terdengar di luar vila. Tim yang disewa Reintara telah tiba, siap untuk menyerbu masuk.
“Ria, ini peringatan terakhirku. Berhenti sekarang, atau aku tidak akan segan-segan menghentikanmu dengan cara apa pun,” ujar Reintara.
Namun, Ria hanya tertawa. “Kamu selalu meremehkan aku, Rein. Aku sudah menyiapkan segalanya.”
Tiba-tiba, salah satu anak buah Ria masuk, membawa sebuah tablet. “Bu Ria, kami punya masalah. Tim keamanan mereka sudah di sini.”
Ria menatap tablet itu, wajahnya berubah tegang. “Apa?”
Reintara mengambil kesempatan itu untuk bergerak. Dalam hitungan detik, timnya menyerbu masuk, mengamankan semua orang di ruangan itu.
Kejatuhan Ria
Saat polisi tiba untuk menangkap Ria, ia berteriak penuh kemarahan. “Rein, kamu tidak bisa melakukan ini padaku! Aku mencintaimu!”
Reintara menatapnya dengan tatapan penuh kekecewaan. “Ini bukan cinta, Ria. Ini obsesi yang merusak.”
Saat Ria dibawa pergi, Reintara akhirnya bisa bernapas lega. Ibunya ditemukan dalam keadaan aman, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa hidupnya kembali berada di jalur yang benar.
Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa cerita ini belum benar-benar berakhir.
Ria yang Tak Terkalahkan
Selang beberapa minggu setelah penangkapan Ria, kehidupan Reintara Narendra Pratama mulai kembali normal. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Ria, yang kini berada di balik jeruji besi, masih menjadi ancaman besar.
Di kantor polisi, Ria tampak tak kehilangan aura percaya dirinya. Ia tersenyum sinis setiap kali bertemu dengan penyelidik yang mencoba menggali informasi lebih dalam.
“Kenapa Anda melakukannya, Nona Apria?” tanya salah satu penyelidik.
Ria menatapnya dengan senyum kecil. “Kenapa? Karena aku mencintainya. Semua yang kulakukan adalah untuk memastikan dia tidak pernah bisa melupakanku.”
“Cinta? Ini lebih seperti obsesi,” balas penyelidik itu.
Namun, Ria hanya tertawa pelan. “Obsesi? Sebut itu apa pun yang kamu mau. Tapi aku tahu satu hal—Rein tidak akan pernah benar-benar bebas dariku.”
Pesan dari Ria
Suatu malam, Reintara menerima sebuah surat yang dikirim ke kantornya. Surat itu ditulis dengan tangan, dan ia langsung mengenali gaya tulisannya. Itu dari Ria.
Sayangku Rein,
Aku tahu kau berpikir bahwa aku kalah. Tapi permainan ini belum berakhir. Aku masih di sini, selalu ada untukmu, bahkan ketika kau mencoba menjauh. Kau tahu di hatimu, kau butuh aku.
Cintamu,
Ria.
Reintara mengepalkan tangannya, meremas surat itu. “Dia masih berani mengancam dari balik jeruji,” gumamnya.
Maya, yang melihat ekspresi bosnya, mendekat. “Apa itu, Tuan?”
“Pesan dari Ria,” jawabnya pendek.
“Kita harus memastikan dia tidak punya akses ke dunia luar lagi. Saya akan menghubungi pihak kepolisian untuk meningkatkan pengawasan,” ujar Maya tegas.
Namun, Reintara tahu bahwa pengawasan ketat pun tidak akan menghentikan Ria. Ia terlalu pintar untuk itu.
Rencana Balas Dendam Ria
Di penjara, Ria mulai membangun koneksi dengan sesama narapidana. Dengan pesonanya, ia berhasil memengaruhi beberapa orang untuk menjadi kaki tangannya.
“Saya butuh kalian untuk melacak semua yang terjadi di luar, terutama tentang Rein. Dan pastikan dia tahu aku masih mengawasinya,” kata Ria kepada mereka.
Seorang narapidana yang lebih tua menyeringai. “Apa rencanamu, Nona?”
Ria tersenyum dingin. “Buat dia mengerti bahwa aku adalah satu-satunya yang bisa dia percayai.”
Krisis Baru di Perusahaan
Tak lama setelah surat itu diterima, sebuah insiden baru mengguncang perusahaan Reintara. Sistem IT mereka diserang oleh hacker, menyebabkan kerugian besar. Semua data rahasia perusahaan nyaris terbuka untuk umum.
“Tuan, ini serangan siber besar-besaran. Dan menurut analisis awal kami, ini terhubung dengan jaringan yang terkait dengan... Ria,” lapor kepala IT.
Reintara mengepalkan tangan, kemarahan membakar di matanya. “Dia masih menyerang dari balik penjara. Kita harus menghentikannya sekali untuk selamanya.”
“Bagaimana caranya? Dia masih punya pengaruh yang cukup besar, meskipun di dalam sana,” tanya Maya khawatir.