Riana, seorang fresh graduate yang diterima bekerja menjadi salah satu karyawan di sebuah perusahaan pengembang game yang cukup ternama, Gameflix. Riana tidak pernah menyangka akan mendapatkan kejutan di hari pertamanya bekerja. CEO perusahaan tempat dia bekerja melamarnya di hari pertamanya bekerja! Bagaimana kisah Riana selanjutnya? Simak kisah serunya ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Purnamanisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lewat Tatapan Mata
"Wah gila tuh CEO! Main majuin rencana pernikahan aja. Gue jadi curiga banget sama dia, Ri," kata Ibeth sewaktu Riana menceritakan semua lewat telepon.
"Sama, Beth. Cuma aku nggak tau mesti gimana cari taunya. Mau lapor pihak berwajib juga nggak bisa. Aku nggak rugi apa-apa. Malah bisa dibilang aku diuntungkan dengan adanya pernikahan ini," kata Riana.
"Bener juga. Hmm... Tapi bener juga sih apa kata dia, mau sebulan atau tiga bulan lagi juga nggak ada bedanya, toh emang kalian bakalan menikah juga," kata Ibeth.
"Hhh~"
"Atau jangan-jangan si CEO itu udah mulai tertarik sama lo? Jadi, dia cepetin pernikahannya, biar nggak ada cowok lain yang nyoba deketin lo," kata Ibeth berasumsi.
"Si Gunung Es jatuh cinta? Terlebih sama aku? Duuuh... kamu terlalu banyak baca novel online, Beth," kata Riana terkekeh kecil. Meskipun dirinya sempat memikirkan hal yang sama, namun sepertinya itu adalah alasan ke sekian bagi Barra untuk mempercepat pernikahannya, menurut Riana.
"Yaaa siapa tau kan, Ri. Novel-novel itu juga nggak sepenuhnya fiksi. Ada juga yang kejadian beneran," kata Ibeth membela diri.
"Iya, tapi satu dari seribu, Beth,"
"Hhh~ terus apa rencana lo?" tanya Ibeth.
"Melawan juga percuma. Terima saja. Tapi, apa mama bisa dengan mudah menerima perubahan rencana pernikahan ini?" tanya Riana lebih kepada dirinya sendiri.
"Naaah... Siapa tau mama lo bisa bantu lo buat ngulur waktu," kata Ibeth.
"Ngulur waktu atau bahkan membatalkannya,"
"Berdo'a saja, Ri,"
"Selalu. Doain aku ya,"
"Selalu, Ri,"
"Ya udah, Beth. Makasih ya, udah mau jadi good listener buat aku," ucap Riana merasa bersyukur Ibeth masih mau menampung uneg-unegnya meski mereka sudah tidak tinggal satu kost.
"Santai aja lagi, Ri. Kalo butuh temen curhat telpon aja, ato langsung ke kost, gue siap jadi tempat sampah buat lo," kata Ibeth.
"Makasih. Udah dulu ya,"
"Okay,"
Riana menghela nafas setelah menutup sambungan teleponnya. Berikutnya dia harus menelepon Mama Lily untuk mengabari kedatangannya dengan Barra akhir pekan nanti. Bagaimana Riana akan menjelaskannya? Atau biarkan Barra saja yang menjelaskannya? Ya, begitu saja. Lagi pula Barra yang ingin pernikahan ini dipercepat.
'Biar dia yang urus,'
***
"Apa?! Bulan depan?!" kata Papa Danu dan Mama Lily terkejut bersamaan, setelah mendengar kabar dari Barra bahwa dia dan Riana akan menikah bulan depan.
"Tunggu. Nak Barra kenapa begitu terburu-buru? Minggu lalu, Nak Barra bilang mau tunangan dulu bulan depan. Pernikahan dua atau tiga bulan setelah itu," tanya Mama Lily yang sudah Riana duga akan sulit menerima kabar itu.
"Saya..." Barra ragu-ragu. Dilihatnya Riana yang diam dan kedua orangtua Riana yang menunggu jawaban darinya.
'Kenapa sulit cuma buat ngomong?'
"Saya rasa, lebih cepat lebih baik. Lagi pula ayah saya juga dengan senang hati menerima Riana sebagai menantu. Terlebih, papa dan mama sudah merestui kami, jadi tak ada salahnya bukan kalau saya percepat saja?" kata Barra akhirnya.
'Begitu saja. Lebih diplomatis,'
"Nana gimana?" tanya Mama Lily pada Riana.
"Eh? Kalo Nana, terserah Mas Barra aja sih, Ma. Lagi pula kata Mas Barra nggak akan ada yang berubah setelah menikah. Nana boleh tetep kerja seperti biasa," kata Riana pasrah. Melawan juga percuma.
"Baguslah. Memang kalo sudah sama-sama mau dan mantap, memang lebih cepat lebih baik," kata Papa Danu sambil tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana yang sedari tadi tegang.
'Tapi aku sebenernya nggak mau, Pa, kalo boleh milih,' batin Riana.
Mama Lily melihat putrinya lekat-lekat. Meski ingin sekali menolong putrinya menolak pernikahan itu, dirinya tetap tak bisa berbuat apa-apa. Alasan apa yang bisa dia gunakan untuk menolak? Barra dari keluarga baik-baik. Masa depannya terlihat cerah. Ayah Barra sudah merestui pernikahan putranya dan Riana. Apa? Mama Lily tak bisa menemukan alasan untuk menolak Barra dan rencananya.
"Semoga kalian bahagia," kata Mama Lily akhirnya, sambil menatap Riana yang tersenyum berat ke arah mamanya.
Mobil Barra sudah berjalan menyusuri jalanan kota. Hari ini Barra tidak meminta Rei mengantar mereka. Barra hanya ingin bersama Riana. Berdua saja. Kenapa? Entah. Barra sendiri tak tahu. Dia hanya ingin seperti itu.
Hanya ada diam diantara Riana dan Barra, dari sejak mobil keluar dari halaman rumah orangtua Riana. Barra sesekali melirik ke arah Riana yang khusyuk menikmati jalanan dari jendela mobil. Barra ingin membuka percakapan tapi tak tahu harus mengatakan apa.
Riana yang memang sedang tak ingin mengatakan apapun, memilih diam dan melihat sibuknya jalanan kota akhir pekan lewat jendela mobil, tanpa menghiraukan kehadiran Barra di sampingnya.
"Kamu..." suara Barra tiba-tiba memecah keheningan. Riana menoleh ke arah Barra yang sedang fokus mengendarai mobil, menunggu apa yang akan dikatakan oleh Barra.
"Kamu... Pernah punya pacar?" tanya Barra akhirnya.
'Hah? Kenapa tiba-tiba dia tanya hal pribadi?' batin Riana heran.
"Nggak," jawab Riana singkat.
"Kenapa nggak? Nggak ada yang deketin?" tanya Barra, masih sambil fokus mengendara.
"Banyak," jawab Riana santai sambil kembali fokus melihat jalanan.
"Hah?" Barra reflek menghentikan mobilnya, membuat klakson-klakson berbunyi riuh di belakang mobil mereka.
"Kenapa Tuan tiba-tiba berhenti?" tanya Riana yang kaget sekaligus heran dengan tingkah Barra. Barra yang tersadar telah membuat gangguan di jalanan, segera menepikan mobilnya.
"Terus, kenapa kamu nggak pacaran?" tanya Barra setelah menepikan mobilnya.
"Eh? Kenapa Tuan jadi ingin tahu kehidupan pribadi saya?" tanya Riana heran.
"Kenapa kamu jadi manggil saya Tuan lagi?"
Hening.
"Na..." panggil Barra lirih.
"Nggak usah maksa manggil saya Nana kalo memang susah. Saya juga susah kalo harus manggil Tuan dengan Mas kalo sedang berdua seperti ini," kata Riana sedikit kesal. Entah mengapa dia begitu kesal hari ini. Mungkin karena PMS? Entah.
Barra menatap Riana yang lurus menatap ke depan. Ada sesuatu di wajah Riana yang membuat Barra ingin terus menatapnya. Tapi, apa? Barra sendiri tak tahu apa. Dia hanya ingin menatap Riana, seolah-olah Riana akan segera menghilang selama-lamanya.
Riana merasakan hening yang tak biasa. Diliriknya Barra yang ternyata tengah menatap dirinya. Lekat. Riana menoleh ke arah Barra. Barra hanya terdiam, menatapnya dengan tatapan yang Riana tak bisa artikan.
"Kamu..." bibir Barra tertahan. Seperti berat mengatakan apa yang ada dalam hati dan pikirannya.
'Cantik...'
Riana masih mencoba memahami arti tatapan Barra. Bukan tatapan tajam yang mengintimidasi seperti biasanya. Tatapannya kali ini tajam, namun ada keteduhan disana. Seperti ada sesuatu yang ingin Barra sampaikan lewat matanya.
'Dia ini... Tuan Barra, kan?'
***
..