Cerita ini mengikuti kehidupan Keisha, seorang remaja Gen Z yang sedang menghadapi berbagai tantangan dalam hidupnya. Ia terjebak di antara cinta, persahabatan, dan harapan keluarganya untuk masa depan yang lebih baik. Dengan karakter yang relatable dan situasi yang sering dihadapi oleh generasi muda saat ini, kisah ini menggambarkan perjalanan Keisha dalam menemukan jati diri dan pilihan hidup yang akan membentuk masa depannya. Ditemani sahabatnya, Naya, dan dua cowok yang terlibat dalam hidupnya, Bimo dan Dimas, Keisha harus berjuang untuk menemukan kebahagiaan sejati di tengah kebisingan dunia modern yang dipenuhi tekanan dari berbagai sisi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sasyaaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Ujung Tanduk
Ibu Raka menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
"Ibu paham kamu mau bantu, Raka. Tapi apa kamu pikir ini keputusan yang benar? Kamu masih muda, masa depan kamu penting. Fokus di kuliah dulu," kata Ibu Raka dengan suara lembut, namun tegas.
Raka menunduk, frustasi. "Tapi, Bu... gimana bisa fokus kalau di rumah kita lagi kesusahan? Aku cuma mau bantu sedikit."
Ibu Raka melembutkan suaranya. "Ibu tahu kamu berniat baik, tapi Ibu juga nggak mau kamu terbebani. Jangan sampai tanggung jawab ini justru merusak masa depan kamu."
Keesokan harinya, konflik tak hanya terjadi di rumah Raka. Keisha mulai merasa tertekan dengan situasi yang makin rumit. Di kampus, ia mendengar bisikan-bisikan teman-temannya yang semakin berani membicarakan hubungan Raka dan dirinya. Mereka menilai Keisha terlalu ikut campur, bahkan ada yang menyindir kalau dia hanya berusaha tampil sebagai “pahlawan” di depan Raka.
Di kantin, Keisha mendengar beberapa mahasiswa berbisik sambil memandang ke arahnya.
"Eh, lo lihat kan si Keisha sama Raka? Kok kayaknya dia yang sibuk banget bantuin, kayak nggak punya urusan lain aja," ujar salah satu dari mereka.
"Iya, mungkin dia pengen dipuji pahlawan kali. Atau... siapa tahu, biar lebih deket sama Raka, kan?" balas yang lain, diikuti tawa kecil.
Keisha mencoba mengabaikan mereka, tapi hatinya sedikit tergores. Dia memang peduli sama Raka, tapi dia tidak ingin orang lain salah paham dengan niat baiknya. Setelah kelas berakhir, ia memutuskan untuk menemui Raka dan mengajak bicara.
Di taman kampus, Keisha menunggu Raka dengan perasaan gelisah. Ketika Raka datang, ia langsung mengungkapkan perasaannya.
"Raka, gue mau jujur," ujar Keisha, berusaha tenang. "Akhir-akhir ini banyak yang ngomongin kita, bilang kalau gue terlalu ikut campur. Gue nggak peduli sih sama gosip, tapi gue cuma nggak mau lo juga jadi nggak nyaman."
Raka tersenyum tipis. "Keish, biarin aja mereka ngomong. Gue tau lo peduli sama gue, dan itu cukup buat gue."
"Iya, tapi gue nggak mau ini malah bikin lo tambah stres. Gue cuma mau bantu," kata Keisha, suaranya sedikit bergetar.
"Gue tahu, dan gue nggak akan pernah nyalahin lo atas apapun," balas Raka. "Kalau gue ada di posisi lo, mungkin gue bakal ngelakuin hal yang sama."
Percakapan itu seharusnya menenangkan Keisha, tapi justru membuatnya berpikir lebih dalam. Apakah ia benar-benar membantu Raka, atau malah menambah beban pikirannya? Ia mulai merasa, mungkin dia tidak hanya peduli pada Raka sebagai teman, tapi perasaannya sudah lebih dari itu.
Di sisi lain, masalah Raka di rumah semakin kompleks. Malam itu, ketika Raka pulang, ia menemukan ayahnya duduk termenung di ruang tamu. Setelah saling menyapa dengan canggung, Ayah Raka mengungkapkan berita tak terduga.
"Raka, kita perlu bicara. Ayah dapat tawaran kerja di luar kota. Kalau Ayah terima, kita harus pindah. Dan itu artinya kamu mungkin harus pindah kampus juga," kata Ayah Raka, langsung ke pokok masalah.
Raka terkejut, pikirannya berkecamuk. Selama ini ia berjuang untuk bisa membantu keluarganya tanpa harus mengorbankan kuliah, tapi sekarang sepertinya keputusan bukan lagi di tangannya.
"Pindah? Tapi... kuliahku gimana, Ayah?" tanyanya dengan suara penuh kebingungan.
"Itu yang harus kita pikirin bareng-bareng. Ayah mau yang terbaik buat keluarga, termasuk kamu. Tapi kalau ini bisa jadi solusi buat kita, mungkin kita harus mempertimbangkannya," jawab Ayahnya, matanya memandang Raka dengan serius.
Raka terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dalam kebingungan itu, ia kembali teringat Keisha, satu-satunya orang yang selama ini menjadi tempatnya berbagi.
Keesokan harinya, Keisha sedang bersama teman-temannya di kafe ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Itu pesan dari Raka.
"Keish, bisa ketemu? Ada hal penting yang mau gue omongin," tulis Raka.
Keisha setuju, meski hatinya berdebar-debar. Ia bisa merasakan ada yang tidak beres, dan ketika mereka bertemu di taman kampus, firasatnya terbukti benar.
"Raka, ada apa? Kamu kelihatan serius banget," tanya Keisha, khawatir.
Raka menghela napas panjang sebelum menjawab, "Keish, mungkin gue harus pindah kuliah. Ayah dapat tawaran kerja di luar kota, dan itu artinya kami harus ikut."
Keisha terdiam. Hatinya seperti terhenti sejenak. Pikirannya langsung melayang ke semua momen yang sudah mereka lewati bersama. Dia belum siap membayangkan harus kehilangan Raka, teman yang selalu ada di sisinya, sekaligus orang yang diam-diam mulai ia cintai.
"Jadi... ini mungkin terakhir kali kita bisa bareng di kampus?" tanya Keisha, dengan suara pelan.
Raka mengangguk, terlihat berat. "Gue nggak mau ini terjadi, tapi gue juga nggak bisa egois. Kalau ini yang terbaik buat keluarga gue, mungkin gue harus terima."
Keisha merasakan hatinya teriris, tapi ia mencoba menahan air matanya. "Gue ngerti, Raka. Gue cuma... gue nggak tahu harus bilang apa. Tapi gue akan selalu dukung lo, apapun keputusan yang lo ambil."
Mendengar itu, Raka merasa lega sekaligus sedih. "Gue nggak pernah bilang ini sebelumnya karena gue nggak mau nambah beban lo, tapi gue benar-benar suka sama lo. Dan gue nggak tahu kalau gue harus ninggalin kota ini, gimana perasaan gue selanjutnya."
Keisha terkejut, namun dalam hatinya ia merasa hangat. "Raka, gue juga suka sama lo. Tapi gue nggak mau kita bikin keputusan yang terburu-buru. Kita harus mikir dengan kepala dingin."
Raka tersenyum tipis. "Gue tahu. Tapi gue juga nggak mau ninggalin lo dengan cara seperti ini. Gue bingung, Keish."
Keisha menatap Raka dalam-dalam. "Gue nggak mau lo pergi, Raka. Tapi kalau ini yang terbaik, gue akan coba ngerti. Tapi... gimana kalau kita cari cara lain? Mungkin lo bisa ngomong lagi sama Ayah lo, atau kita cari solusi bareng."
"Lo serius mau bantu gue sampai segitunya?" tanya Raka, matanya berbinar.
"Gue nggak cuma mau bantu. Gue pengen kita sama-sama nyelesain ini. Gue nggak bisa diam aja ngelihat lo kesusahan," jawab Keisha dengan tegas.
Percakapan itu akhirnya menjadi titik balik bagi Keisha dan Raka. Mereka sama-sama menyadari perasaan mereka, tapi juga tahu bahwa masalah ini lebih besar daripada hanya sekadar perasaan. Mereka harus menghadapi kenyataan, apapun risikonya.
Keisha tidak ingin melihat Raka menyerah begitu saja. Ia memutuskan untuk mencari cara, bahkan jika itu berarti harus berbicara dengan keluarga Raka secara langsung untuk meyakinkan mereka bahwa ada solusi lain tanpa harus pindah. Tapi apakah itu akan berhasil, atau justru memperumit situasi? Konflik semakin memuncak, dan keputusan besar harus segera diambil, dengan masa depan hubungan mereka di ujung tanduk.
Beberapa hari setelah percakapan mereka di taman, Keisha tidak bisa berhenti memikirkan cara membantu Raka. Dia merasa harus melakukan sesuatu, tapi dia juga tahu bahwa masalah ini rumit. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengunjungi rumah Raka dan berbicara langsung dengan keluarganya.
Ketika tiba di depan rumah Raka, Keisha merasa gugup. Namun, ia sudah bertekad untuk setidaknya mencoba. Saat pintu terbuka, Ibu Raka tampak terkejut melihat Keisha berdiri di sana.
"Keisha? Kamu ada perlu apa ke sini?" tanya Ibu Raka, sedikit bingung.
Keisha tersenyum sopan, mencoba menenangkan perasaannya yang berkecamuk. "Permisi, Bu. Saya mau ngobrol sebentar, kalau tidak keberatan. Ini tentang Raka dan... keputusan keluarga untuk pindah."
Ibu Raka terlihat ragu sejenak, tapi kemudian mempersilakan Keisha masuk. Di ruang tamu, Keisha melihat Raka dan ayahnya sedang duduk. Suasana tegang terasa di antara mereka.
"Ada apa, Keisha?" tanya Raka, heran dengan kehadiran Keisha di rumahnya.
Keisha menarik napas dalam, kemudian berkata dengan nada penuh keyakinan, "Raka, gue tahu ini bukan urusan gue, tapi gue nggak bisa diam aja. Gue tahu lo sayang banget sama keluarga lo, dan gue respek sama keputusan yang lo buat. Tapi gue yakin pasti ada solusi lain tanpa harus ninggalin semua yang udah lo bangun di sini."
Ayah Raka, yang sejak tadi hanya diam, menatap Keisha dengan mata tajam. "Keisha, kami juga tidak ingin pindah kalau tidak terpaksa. Tapi, apa kamu tahu seberapa sulit keadaan kami saat ini?"
Keisha menunduk sejenak, lalu mengangguk. "Saya paham, Pak. Saya tahu ini bukan keputusan yang mudah. Tapi saya mau bantu cari solusi. Mungkin ada cara lain yang bisa kita pikirkan sama-sama."
Raka menatap Keisha dengan tatapan campur aduk antara harapan dan ketidakpercayaan. "Keish, gue nggak mau lo terbeban sama masalah gue. Ini urusan keluarga gue."
"Tapi, Raka, kita kan teman. Bahkan lebih dari itu," ujar Keisha dengan suara bergetar. "Gue peduli sama lo, dan gue nggak bisa pura-pura nggak peduli. Gue siap bantu lo, asal lo juga mau berjuang."
Ayah Raka menghela napas panjang, lalu berkata, "Anak muda, kami sangat menghargai niat baikmu. Tapi masalah keuangan keluarga ini bukan hal yang bisa diselesaikan dengan mudah."
Keisha memberanikan diri untuk melanjutkan. "Pak, saya tahu saya bukan ahli, tapi saya punya ide. Bagaimana kalau kita cari pekerjaan sampingan untuk Raka di sini, atau mungkin saya bisa bantu mencarikan pekerjaan yang sesuai buat Bapak. Dengan begitu, Raka bisa tetap kuliah dan kita tetap bisa berusaha mengatasi masalah keuangan ini tanpa harus pindah."
Raka terlihat kaget. "Keish, lo serius? Gue nggak bisa minta lo ngelakuin ini semua..."
"Raka, ini bukan soal minta atau nggak. Gue melakukan ini karena gue mau, karena gue peduli," balas Keisha cepat, menatap Raka dengan penuh keyakinan. "Dan gue tahu lo juga punya tekad yang sama."
Ibu Raka terlihat terharu mendengar kata-kata Keisha. "Keisha, kamu sangat baik. Tapi, kalaupun kita bisa dapat pekerjaan tambahan, masalahnya masih lebih besar dari itu..."
"Tapi kita belum mencoba semua jalan, Bu. Kalau kita menyerah sekarang, kita nggak akan pernah tahu apakah ada kesempatan lain," Keisha berargumen dengan semangat. "Kita bisa mulai cari-cari, dan lihat apa yang bisa kita lakukan."
Ayah Raka tampak termenung. Keisha bisa melihat ada keraguan di matanya, tapi juga rasa ragu yang perlahan berubah menjadi pertimbangan.
"Tawaran kerja ini memang besar, tapi mungkin... kita bisa coba tahan dulu beberapa bulan untuk mencari solusi," kata Ayah Raka akhirnya, dengan nada lebih lembut. "Tapi kita harus realistis, Keisha. Kalau dalam waktu itu nggak ada perkembangan, kita harus pergi."
Raka tak bisa menahan senyumnya. "Ayah... terima kasih," katanya pelan. Ia tak menyangka Keisha bisa membuat perubahan sebesar ini hanya dengan keberanian dan tekadnya.
Setelah percakapan itu selesai, Raka mengantar Keisha keluar. Saat mereka berdiri di halaman rumah, Raka menatap Keisha dengan tatapan yang penuh rasa terima kasih.
"Keish, gue nggak tahu gimana caranya gue bisa balas semua ini. Tapi terima kasih," ujar Raka dengan suara serak.
Keisha tersenyum, merasa lega karena setidaknya ia sudah mencoba. "Kita masih belum selesai, Raka. Gue nggak janji ini akan mudah, tapi selama kita masih punya waktu, kita harus coba."
Malam itu, Keisha kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa senang karena berhasil meyakinkan keluarga Raka untuk memberikan waktu lebih. Tapi di sisi lain, ia tahu ini baru permulaan. Mereka harus bekerja keras untuk mencari solusi yang nyata, dan itu bukan tugas yang mudah.
Hari-hari berikutnya, Keisha dan Raka mulai sibuk mencari berbagai peluang. Keisha bahkan meminta bantuan teman-temannya yang lain untuk mencari informasi pekerjaan, baik untuk Raka maupun ayahnya. Keisha berharap, usaha kecil-kecilan ini bisa memberikan secercah harapan bagi keluarga Raka.
Tapi masalah tidak berhenti di sana. Beberapa teman di kampus mulai mencibir usaha Keisha, mengatakan bahwa dia terlalu ikut campur dalam urusan keluarga orang lain. Bahkan, gosip bahwa Keisha dan Raka "lebih dari sekadar teman" semakin menyebar.
"Apa lo nggak capek, Keish? Sampai segitunya bantu Raka? Gue cuma takut lo akhirnya bakal kecewa sendiri," kata salah satu temannya, Sari, saat mereka duduk di kantin.
Keisha hanya tersenyum tipis. "Gue tahu risikonya, Sar. Tapi gue nggak bisa cuek aja. Ini pilihan gue."
"Tapi kalau sampai lo yang jadi korban, gimana?" tanya Sari lagi, serius. "Gue cuma khawatir lo nyakitin diri lo sendiri karena terlalu fokus ke masalah orang lain."
Keisha terdiam, memikirkan kata-kata Sari. Memang ada kekhawatiran dalam hatinya, tapi ia juga merasa bahwa membiarkan Raka berjuang sendirian bukanlah hal yang benar.
"Aku ngerti, Sar. Tapi aku nggak menyesal. Raka bukan cuma teman biasa buat aku. Dan kalau dengan melakukan ini aku bisa bantu dia, meskipun sedikit, aku akan tetap lanjut," jawab Keisha dengan mantap.
Perjuangan mereka memang belum berakhir. Dan sementara gosip dan masalah terus berdatangan, Keisha dan Raka menyadari bahwa mereka tidak sendirian. Dengan sedikit harapan dan banyak usaha, mungkin mereka bisa menemukan jalan keluar. Dan di tengah semua itu, perasaan mereka satu sama lain pun perlahan-lahan berkembang, menambah komplikasi di antara semua masalah yang sudah ada.
Namun, apakah mereka bisa bertahan menghadapi semua tekanan ini? Ataukah kenyataan akan memisahkan mereka lebih cepat dari yang mereka bayangkan?