Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersenang senang
Naya mengangguk lagi, agak malu karena menyebut nama pria itu. "Iya. Kebetulan kami bertemu, dan aku minta tolong dia bawa aku pergi dari sana. Tapi Arfan malah laporin dia ke polisi, bilang kalau Dante menculik aku."
Mata Widuri membulat, jelas terkejut dengan cerita yang begitu dramatis. "Serius? Astaga, Nay, ini kayak drama Korea yang lebih gila dari biasanya!"
Naya hanya bisa tertawa kecil, meski lelahnya masih terasa. "Iya, aku juga nggak nyangka hidupku bisa se-rumit ini dalam sehari. Aku nggak tahu lagi harus gimana menghadapi Arfan."
Widuri menatapnya dengan serius. "Nay, kamu tahu kan kalau ini nggak bisa dilanjutkan lagi? Maksudku, Arfan udah jelas selingkuh, dan dia bahkan main kasar dengan orang yang cuma ingin menolong kamu. Kamu harus bisa mengambil keputusan buat dirimu sendiri. Jangan terus bertahan di hubungan yang jelas-jelas udah nggak sehat."
Naya terdiam, kata-kata Widuri menggema dalam pikirannya. Ia tahu temannya benar, tapi menerima kenyataan itu dan mengambil langkah yang tepat adalah dua hal yang sangat berbeda. "Aku tahu, Widur. Aku cuma... aku masih belum siap buat menghadapi semuanya. Selama ini aku pikir kami bisa perbaiki hubungan ini, tapi ternyata aku salah."
Widuri menggenggam tangan Naya lagi, kali ini lebih erat. "Naya, kamu kuat. Kamu bisa keluar dari ini. Aku tahu itu. Kamu cuma perlu waktu buat mencerna semuanya. Dan aku akan ada di sini buat bantu kamu kapanpun kamu butuh."
Naya tersenyum lemah, matanya mulai basah lagi. "Terima kasih, Widur. Kamu benar-benar sahabat terbaik."
Widuri tersenyum dan memeluk Naya erat. "Aku selalu ada buat kamu, Nay. Jangan pernah ragu buat bilang kalau kamu butuh bantuan."
Setelah pelukan itu, suasana mulai terasa sedikit lebih ringan. Mereka terus berbicara tentang hal-hal lain, mencoba melupakan sebentar masalah besar yang sedang dihadapi Naya. Namun, di dalam hati, Naya tahu bahwa ia tidak bisa menghindar selamanya. Cepat atau lambat, ia harus menghadapi Arfan dan memutuskan apa yang terbaik untuk dirinya.
Tak lama kemudian, setelah mereka selesai makan, ponsel Naya berbunyi. Ia melihat nama Arfan di layar, membuat dadanya kembali sesak.
Widuri, yang juga melihat itu, mengangkat alis. "Kamu mau angkat?"
Naya menatap ponsel itu dengan ragu. "Aku nggak tahu. Mungkin dia mau minta maaf, tapi aku rasa aku nggak siap dengar apapun dari dia sekarang."
Widuri menepuk bahunya. "Kalau kamu nggak siap, jangan angkat. Dia yang salah, bukan kamu. Kamu punya hak buat menjauh dulu sampai kamu benar-benar siap."
Naya memandang ponsel itu selama beberapa detik, lalu memutuskan untuk menekan tombol 'abaikan'. Dia menarik napas dalam-dalam setelahnya, merasa sedikit lega meski rasa bersalah masih menghantui.
"Benar, aku nggak siap," gumamnya lebih pada dirinya sendiri.
Widuri tersenyum, bangga pada keputusan yang diambil Naya. "Bagus. Kamu butuh ruang buat bernapas, dan dia harus mengerti itu."
Naya menunduk, merasa sedikit lebih kuat dari sebelumnya. Ia tahu jalan di depannya masih panjang dan penuh tantangan, tapi setidaknya, untuk saat ini, ia punya sahabat yang selalu mendukungnya.
Malam semakin larut, dan setelah beberapa jam berbincang dengan Widuri, Naya merasa tubuhnya mulai melemah karena lelah. "Widur, aku rasa aku butuh tidur. Kepala aku berat banget," kata Naya sambil mengusap pelipisnya.
Widuri mengangguk, berdiri dari sofa. "Iya, kamu istirahat aja. Aku bisa pulang sendiri. Besok kalau kamu butuh aku lagi, tinggal telepon, oke?"
Keesokan harinya, Naya masih merasa berat dengan perasaan yang membebani dirinya sejak kemarin. Meskipun sudah mencoba tidur, pikirannya terus melayang kembali pada kejadian dengan Arfan, Dante, dan semua kekacauan yang mengikutinya. Pagi itu terasa lambat, dan Naya bahkan tidak merasa ingin bangun dari tempat tidurnya. Tetapi janji dengan Widuri mengingatkannya untuk mencoba bangkit.
Ponselnya berbunyi, menunjukkan pesan dari Widuri.
Widuri: "Jangan lupa, ya. Malam ini kita keluar. Aku janji kamu bakal senang! 💃"
Naya menghela napas panjang dan tersenyum tipis. Meskipun ia masih merasa kacau, mungkin bersenang-senang dengan Widuri adalah apa yang ia butuhkan. Setidaknya, itu bisa membuat pikirannya teralihkan, meski hanya sementara.
Seharian itu Naya menghabiskan waktunya di rumah, mencoba mengisi waktu dengan hal-hal yang ringan. Tapi tidak ada yang benar-benar membuatnya merasa lebih baik. Ketika sore mulai datang, ia tahu waktunya bersiap-siap untuk keluar malam.
Pukul sembilan malam, Widuri datang ke rumah Naya dengan penuh semangat. "Oke, Naya! Kamu siap untuk malam yang menyenangkan? Kita bakal ke club malam, musiknya keren, dan kamu pasti butuh ini!" ujar Widuri dengan wajah ceria.
Naya, yang sudah berdandan sederhana dengan celana jeans hitam dan atasan kasual, hanya bisa tersenyum lemah. "Iya, aku ikut kamu aja, Widur. Tapi jangan berharap aku bakal joget-joget, ya."
Widuri tertawa. "Nggak apa-apa, yang penting kamu datang dan mencoba menikmati malam ini. Kita butuh melepas stres!"
Mereka berdua segera berangkat ke club malam yang cukup terkenal di kota. Di dalam mobil, Widuri terus bercerita tentang tempat itu, mencoba membuat Naya tertawa dengan cerita-cerita konyol yang biasa terjadi di sana. Meskipun Naya hanya tersenyum tipis, ia menghargai usaha sahabatnya.
Sesampainya di sana, suasana langsung terasa berbeda. Lampu-lampu neon yang berkelap-kelip, suara musik yang menggema dari dalam, dan orang-orang yang berdatangan dengan pakaian mereka yang mencolok membuat Naya merasa sedikit asing. Tapi Widuri langsung menarik tangannya, memastikan Naya tidak merasa canggung.
"Ayo, kita langsung masuk!" ajak Widuri antusias.
Begitu mereka masuk ke dalam, dunia di sekeliling Naya berubah menjadi hiruk-pikuk warna, suara, dan gerakan. Musik EDM yang keras membuat lantai club bergetar, dan orang-orang di sekitarnya terlihat menikmati setiap dentuman beat yang memekakkan telinga.
Naya berdiri sejenak, merasa canggung. Namun, Widuri sudah memesan minuman untuk mereka berdua dan menyerahkannya kepada Naya. "Ini buat bantu kamu sedikit relax," ujar Widuri sambil tersenyum nakal.
Naya meminum sedikit dari gelasnya, merasa minuman itu agak kuat. "Widur, aku nggak biasa minum yang sekeras ini," katanya sambil tertawa kecil.
"Tenang aja, Nay. Cuma buat kasih kamu semangat. Kalau nggak suka, kita bisa pesan yang lebih ringan," jawab Widuri sambil menenggak minumannya sendiri tanpa ragu.
Setelah beberapa saat, Naya mulai merasakan efek dari minuman yang ia minum. Pikirannya mulai terasa sedikit lebih ringan, meskipun belum sepenuhnya hilang dari beban yang ia rasakan. Widuri terus mencoba mengajaknya berbicara dan bergabung dengan kerumunan yang sedang menari di lantai dansa, tetapi Naya hanya duduk di kursi, mengamati dari jauh.
Namun, seiring malam semakin larut, Naya mulai merasa rileks. Mungkin itu efek dari suasana atau minuman, tapi untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia merasa bisa tersenyum sedikit lebih lepas. Di sudut lain, Widuri terlihat sedang berbicara dengan beberapa orang yang dikenalnya, tertawa dan menari bersama mereka.
Naya memutuskan untuk memesan minuman lagi, kali ini lebih ringan. Saat ia menunggu di bar, ia tidak sengaja bertemu pandang dengan seorang pria yang duduk di dekatnya. Pria itu tersenyum ramah, dan Naya sedikit terkejut melihat betapa familiar wajahnya.
"Naya, ya?" tanyanya. Pria itu mengenakan jaket kulit hitam dengan kaus putih di dalamnya. Ia terlihat santai, tapi caranya menatap Naya seperti sudah mengenalnya.
Naya menoleh, mencoba mengingat siapa dia. "Iya, aku Naya. Kamu siapa?"
Pria itu tertawa pelan. "Dante."
Naya tercengang. "Dante? Kamu—kamu ngapain di sini?"
Naya merasa sedikit kikuk. Terakhir kali mereka bertemu, situasinya tidak menyenangkan, terutama dengan kejadian di penginapan dan drama dengan Arfan. "Aku di sini sama temanku, Widuri. Dia yang ngajak."
Dante hanya mengangguk, lalu meminum minumannya. "Baguslah. Aku kira kamu butuh istirahat dari... masalah yang kamu hadapi."
Naya tertawa pahit. "Kamu benar soal itu. Tapi aku nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini. Rasanya dunia ini kecil banget, ya?"
Dante tersenyum tipis. "Kadang memang begitu."