Jakarta, di tengah malam yang sunyi, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Para remaja —terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 24
Di dalam ruangan yang sempit dan gelap, cahaya dari lilin kecil menjadi satu-satunya sumber penerangan. Bayangan dari kelompok kecil itu tampak bergetar di dinding retak, memantulkan kegelisahan yang sama di wajah-wajah mereka. Seno dan Masagena duduk di tengah ruangan, napas mereka masih terengah-engah setelah melarikan diri dari zombie mutan.
"Sial," desah Seno, mengusap dahinya yang basah oleh keringat, "kita tidak bisa mengandalkan cara lama lagi. Cahaya dan suara? Itu cuma bikin mereka makin agresif."
Masagena mengangguk, matanya menatap kosong ke lantai, masih teringat bagaimana zombie mutan itu bergerak cepat, kekuatan mereka seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. "Kita perlu sesuatu yang lebih... lebih mematikan."
Arka berdiri di sudut ruangan, wajahnya tegang. Dia mencoba menyusun rencana baru di kepalanya, tetapi semakin lama dia berpikir, semakin jelas bahwa taktik lama mereka sudah tidak berguna. "Oke," katanya, suaranya bergetar sedikit, tetapi tetap tegas, "kita perlu senjata yang lebih kuat. Apa pun yang bisa menembus tubuh mereka dan membuat mereka berhenti bergerak."
Gathan mencibir, menyandarkan tubuhnya ke dinding. "Dan senjata itu ada di mana, Arka? Apa kita tiba-tiba punya akses ke gudang senjata militer sekarang?"
Arka memandang Gathan, rahangnya mengeras. "Kita harus mencari. Apa pun yang bisa kita manfaatkan. Kita tidak bisa duduk di sini dan berharap mereka tidak menemukan kita."
Jasmine, yang duduk di kursi di sebelah Gathan, menatap Arka dengan cemas. "Tapi bagaimana kalau mereka sudah tahu kita di sini?" katanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam suasana tegang yang melingkupi ruangan. "Kita bahkan belum tahu seberapa banyak zombie mutan di luar sana."
Arka menatap lantai, mencoba menahan beban yang menghimpit dadanya. Dia bisa merasakan mata semua orang tertuju padanya. Tekanan ini... semakin menyesakkan. Dia adalah pemimpin mereka, orang yang diandalkan untuk memandu mereka melalui neraka yang sekarang mereka sebut hidup. Tapi bagaimana kalau dia membuat kesalahan? Bagaimana kalau keputusannya membuat semua orang mati?
Seno berdiri dan berjalan ke arah Arka, matanya penuh keseriusan. "Kita tidak punya pilihan lain, Arka. Kamu harus membuat keputusan sekarang. Semakin lama kita menunggu, semakin besar risiko kita ditemukan."
Arka menggenggam tangan erat, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Tapi dia tahu Seno benar. "Baik," katanya dengan suara yang lebih kuat dari yang ia rasakan. "Kita akan membagi tim menjadi dua. Satu tim mencari senjata, satu lagi memperkuat pertahanan gedung ini. Kita akan mulai dengan memeriksa toko-toko di dekat sini. Masagena, Seno, kalian pimpin tim pencari."
Gathan menghela napas, menggeleng pelan. "Ini gila. Kita mungkin tidak akan pernah kembali."
Masagena menatap Arka sejenak, bibirnya bergetar, tapi dia menunduk dan mengangguk. "Aku siap." Dia tahu, apapun yang terjadi, mereka harus mencoba.
Suasana ruangan semakin tegang, keheningan terasa berat. Arka hendak melanjutkan instruksinya ketika tiba-tiba terdengar dentuman keras dari luar. Semua kepala langsung berpaling, tatapan mereka terfokus pada pintu dan jendela yang berderak.
"Apa itu?" bisik Jasmine, wajahnya memucat, tangannya gemetar. Hatinya berdegup kencang, ketakutan mencekam.
Seno menoleh ke jendela, matanya menyipit, mencoba melihat ke luar di tengah kegelapan malam. "Kedengarannya seperti sesuatu yang besar... sangat besar."
Masagena segera bangkit, meraih kayu panjang yang tadi ia gunakan untuk melawan zombie mutan. "Apa mereka sudah di sini?" gumamnya, rasa panik mulai merayapi nadinya.
Arka berjalan ke arah pintu, tangannya gemetar meskipun dia berusaha tampak tenang. "Semuanya tetap tenang," perintahnya, meskipun suaranya terdengar sedikit gemetar. Jantungnya berdebar-debar lebih cepat daripada sebelumnya. "Apa aku bisa melindungi mereka?"
Suara dentuman lain terdengar, lebih keras dan lebih dekat kali ini. Semua orang menahan napas, seakan waktu berhenti sejenak. Di luar sana, sesuatu yang lebih menakutkan daripada zombie biasa sedang mendekat.
****
Suasana di dalam gedung yang awalnya sunyi mulai berubah mencekam seiring semakin jelasnya suara langkah kaki dari luar. Cahaya matahari yang mulai meredup perlahan menciptakan bayangan panjang dari balik jendela retak. Udara terasa berat, dan keheningan dipecahkan oleh desahan panik Nafisah yang bersembunyi di sudut, tangannya gemetar memegang pisau dapur yang bahkan terlihat terlalu ringan untuk melawan.
Arka melirik ke jendela, matanya menyipit, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Mereka bergerak... bersama?" gumamnya pelan, aliran keringat mulai membasahi pelipisnya. Di luar, zombie-baik yang biasa maupun mutan-bergerak dalam kelompok,seakan-akan ada yang mengarahkan mereka. Suara gemerisik dan jeritan samar dari kejauhan semakin mendekat.
"Ini gak masuk akal," bisik Jasmine, matanya terbelalak, wajahnya memucat saat melihat gerombolan zombie yang tak terhitung jumlahnya. "Bagaimana bisa mereka... sekoordinasi ini?"
Seno, yang berdiri di dekat pintu, mengepalkan tinjunya, tatapan tajamnya mengarah pada kerumunan zombie yang semakin banyak. "Kita gak bisa cuma duduk di sini!" teriaknya. "Kita harus serang duluan sebelum mereka masuk!"
Azzam mengangguk setuju, tubuhnya tegap sambil memegang palu besar di tangannya. "Seno benar. Mereka bakal ngejebak kita di sini kalau kita gak ambil langkah pertama."
Namun, di sudut ruangan, Nafisah menggigit bibirnya dengan gugup. "Itu gila! Lihat jumlah mereka!" serunya dengan suara bergetar, tangannya gemetar hebat. "Kita bahkan gak punya cukup senjata untuk melawan semua itu. Kita harus cari jalan keluar sebelum semuanya berakhir buruk."
Jasmine, yang berdiri tak jauh dari Nafisah, mengangguk setuju. "Aku setuju. Lari adalah pilihan terbaik. Kalau kita tetap di sini, kita akan habis."
Arka menarik napas dalam-dalam, kepalanya pusing oleh argumen yang saling bertentangan. "Apa yang harus kulakukan?" pikirnya. "Melawan mungkin berarti bunuh diri, tapi kalau kita kabur, kita bisa terjebak di luar..."
"Aku tahu kita takut," katanya akhirnya, suara tegasnya menekan rasa panik yang terus berusaha merayap ke permukaan. "Tapi kabur tanpa rencana juga berbahaya. Kita perlu bertahan dan melawan balik dengan strategi, atau kita akan mati di luar sana."
Seno menghempaskan pipa besinya ke tanah, suaranya bergetar oleh ketegangan. "Kita gak bisa terus-terusan nunggu! Mereka sudah di sini!"
Di luar, jeritan zombie semakin kencang, menggema di sepanjang jalan yang sempit dan berdebu. Cahaya yang semakin redup membuat bayangan mereka tampak semakin mengerikan.
Sebuah suara keras menggelegar dari jendela, kaca yang pecah berhamburan ke lantai. "Mereka mulai menyerang!" teriak Azzam, mata terbelalak, melihat salah satu zombie mutan mulai memanjat dinding, cakarnya yang tajam mencengkeram dinding bata.
Seno segera berlari ke arah pintu, napasnya memburu. "Jangan biarkan mereka masuk!" jeritnya, memukul kepala zombie yang muncul dengan brutal, darah hitam menyembur ke udara.
Tiba-tiba, Nafisah tersandung saat melangkah mundur, tangannya berusaha mencari pegangan. "A-aku jatuh!" teriaknya, wajahnya penuh teror saat salah satu zombie menjulurkan tangannya, hampir meraihnya.
"Jangan!" Jasmine berteriak panik, berlari ke arahnya dengan air mata mengalir di pipinya. Tapi semuanya bergerak terlalu cepat. Suara jeritan Nafisah memenuhi ruangan, dan dalam sekejap, dia ditarik ke kegelapan oleh tangan-tangan kasar zombie yang mengerikan. Suasana berubah menjadi kacau, ketakutan menyelimuti kelompok.
Arka, yang selama ini berusaha tetap tenang, kini menggigit bibirnya keras-keras, matanya dipenuhi kekalutan. "Kita... kita harus keluar sekarang! Ini tak terkendali!"