Nala Purnama Dirgantara, dipaksa menikah dengan Gaza Alindara, seorang Dosen tampan di kampusnya. Semua Nala lakukan, atas permintaan terakhir mendiang Ayahnya, Prabu Dirgantara.
Demi reputasi keluarga, Nala dan Gaza menjalani pernikahan sandiwara. Diluar, Gaza menjadi suami yang penuh cinta. Namun saat di rumah, ia menjadi sosok asing dan tak tersentuh. Cintanya hanya tertuju pada Anggia Purnama Dirgantara, kakak kandung Nala.
Setahun Nala berjuang dalam rumah tangganya yang terasa kosong, hingga ia memutuskan untuk menyerah, Ia meminta berpisah dari Gaza. Apakah Gaza setuju berpisah dan menikah dengan Anggia atau tetap mempertahankan Nala?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon za.zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Mulai Takut Kehilangan
Mobil yang dikendari Gaza tak bisa melaju sesuai keinginan si pengemudi, padatnya arus lalu lintas membuat beberapa kendaraan terjebak macet. Pria yang biasa terlihat tenang dalam segala kondisi itu tak bisa lagi menutupi kekesalannya. Beberapa kali ia mengetuk kemudi dengan jari telunjuknya, sesekali menatap spion dan mengeraskan rahangnya.
Anggia yang melihat semua itu tau bahwa Gaza sedang gelisah, pikirannya tak lagi bisa fokus setelah tau Nala pergi menggunakan motor Rey.
“Kamu dan Nala lagi ada masalah?” Anggia memecahkan kehilangan, sejak perjalanan dari rumah keduanya terjebak dalam kebisuan.
“Biasa masalah rumah tangga, salah paham sedikit.” Gaza menjawab tanpa menatap ke arah Anggia.
Anggia tersenyum getir. “Karena aku ya?” tebaknya.
Gaza menatap Anggai sejenak kemudian kembali fokus menatap jalanan di depannya. “Bukan, gak ada hubungannya sama kamu.”
Anggia mengangguk pelan, semoga saja apa yang diucapkan Gaza benar. Jika semuanya disebabkan oleh Anggia, ia pasti merasa sangat bersalah.
“Tapi aku merasa kalian berdua menutupi sesuatu, aku berharap tentang kita dulu tidak membuat hubunganmu dengan Nala terganggu,” ucap Anggia dengan sangat hati-hati.
“Tentang kita dulu bahkan selesai sebelum dimulai, jadi tak mungkin mengganggu.”
Ucapan Gaza menyadarkan Anggia betapa bodohnya ia dulu mengabaikan perasaan Gaza. Ia bahkan membiarkan Ayahnya menjodohkan Gaza dengan Nala. Padahal saat itu ia sudah mulai menaruh hati pada Gaza.
“Apa Nala ada bercerita sesuatu?” tanya Gaza setelah diam cukup lama.
Anggia menggeleng, tetapi seketika teringat percakapan singatnya dengan Nala pagi tadi.
“Tapi pagi tadi Nala agak aneh, dia meminta maaf dan menyuruh aku memperjuangkan kebahagian aku. Apa Nala tau tentang kita dulu?” tanya Anggia panik.
Gaza diam, rahangnya mengeras dan tangannya mengepal di kemudi. Nala sudah mulai mendorong Anggia ke arahnya. berarti istrinya itu tak main-main mengenai keinginan untuk bercerai.
Anggia menatap Gaza, pria tampan dengan garis wajah tegas itu sungguh mempesona, binar matanya, hidung mancungnya dan bibir tipisnya seolah pas untuk di pandang. Ia memang bodoh, tapi jika ia mengikuti kata hatinya saat ini, itu bukan lagi bodoh tapi tak pantas disebut manusia.
“Dulu aku memang bersalah padamu, tapi jika saat ini disuruh memilih antara kamu dan adikku, aku tetap memilih Nala. Dia sangat berarti, apalagi saat dia meminta maaf, seolah-olah dia akan pergi jauh seperti Ayah. Aku takut kehilangan lagi, Za. jadi tolong… jaga Nala, bukan untuk aku, tapi untuk Ayah yang sudah menitipkan dia padamu.”
Ada rasa sesak yang menghimpit dada Gaza saat mendengar ucapan Anggia, apa hanya ia yang terjebak sama perasaan masa lalu.
“Aku akan menjaga Nala, jadi tak ada yang perlu kamu dan Bunda khawatirkan. Nala adalah tanggung jawabku,” ucap Gaza tegas.
Anggia tersenyum sinis, ia menatap Gaza cukup tajam. “Apa hanya perasaan tanggung jawab yang ada di hatimu? Nala adalah istrimu, harusnya ia mendapatkan lebih dari sekedar tanggung jawab.”
Gaza mantap perempuan cantik di sampingnya, mata Anggia memerah, ada gejolak emosi yang berusaha ia tahan. Gaza merasa tak ada yang salah dari ucapannya. Tapi yang baru saja Anggia katakan, cukup untuk menyadarkannya bahwa selama ini perasaannya tak lebih dari tanggung jawab.
***
Untuk kesekian kalinya Gaza menatap telepon genggamnya, ragu. Apakah dia harus menghubungi Nala atau menunggu info dari Rey. Tapi ucapan Anggia tadi sungguh mengusiknya.
“Apa perasaan gelisah ini juga bagian dari tanggung jawab?” tanya Gaza pada dirinya sendiri.
Suara pintu diketuk membuyarkan lamunannya. Tak lama seorang pria masuk, senyumnya jelas mengejek. Dia Surya Atmaja, rekan dosen sekaligus sahabat Gaza.
“Tumben gak masuk kelas, kamu hanya meninggalkan tugas saja. Gak seperti Gaza biasanya. Lagi ada masalah?” tebak Surya.
“Nala minta cerai,” ucap Gaza pelan.
Tawa Surya menggema, ia menatap puas ke arah Gaza yang mulai kesal padanya.
“Akhirnya Nala sadar juga. Siapa yang tahan punya suami seperti kulkas, sudah dingin, cuek gak di cintai lagi.”
Gaza diam, ia sepertinya menyesal memberitahu masalahnya pada Surya.
“Awalnya aku merasa itu hanya ancaman. Tapi, Nala mulai memperlihatkan bahwa rumah tangga kami tidak seperti yang terlihat.” Walaupun Gaza kesal pada Surya, ia tetap menceritakan masalahnya, sepertinya ia butuh bantuan.
“Za…” Surya menatap Gaza serius. “Wajar Nala lelah, setahun berumah tangga, di luar dan di hadapan keluarga, kalian tampil sebagai pasangan yang bahagia. Tapi di dalamnya, Nala hancur Za. Mungkin kamu tidak merasa, tapi Nala? Kamu menghancurkannya pelan-pelan.” Surya tau semua mengenai Gaza, perasaannya pada Anggia dan hubungannya dengan Nala. Bahkan Pria yang sudah dikarunia dua anak itu selalu menasehati Gaza, tapi hal yang sama selalu terjadi, Gaza menolah nasehatnya.
“Aku tidak pernah bermaksud menyakitinya, justri aku bersikap seperti ini karena aku tak mau menyakitinya. Dia perempuan baik-baik, aku tak ingin perasaanku pada Kakaknya akan menyakitinya.”
“Kamu sudah menyakitinya!” bantah Surya.
Gaza menggeleng, ia menolak ucapan Surya.
“Kamu menyakitinya, Gaza. Dengan menahan dia di sisimu, kamu sudah menyakitinya lebih dari yang kamu pikirkan. Lepaskan, Za.”
Gaza ketika menegang, melepaskan Nala tak pernah ada dalam bayanganmu. Bahkan keluarganya sangat menentang hal itu. Perceraian akan menghancurkan reputasi keluarganya.
“Tidak bisa, kami tidak mungkin bercerai. Keluargaku dan Nala pasti menolak itu. Reputasi keluarga kami lebih dari itu.”
Surya menjentikkan tangannya tepat di depan wajah Gaza seolah meminta sahabatnya itu berhenti dengan ucapannya.
“Abaikan dulu tenang reputasi keluarga. Bagaimana dengan kamu? bagaimana perasaanmu jika pada akhirnya Nala memaksa berpisah?” tanya Surya serius, ia bahkan mengunci pandanganya pada wajah Gaza, mencari jawaban dan setitik harapan untuk pernikahan sahabatnya itu. Bagaimanapun, Surya ingin yang terbaik untuk Gaza.
Gaza menggeleng, ia tak bisa menjawab. Lebih tepatnya bingung dengan perasaan sendiri. “Aku berharap bisa memiliki rumah tangga seperti orang-orang, tapi hati ku seolah terjebak dalam masalah lalu.”
Surya menunduk, ia kesal. Gaza bahkan tak bisa menyadari perasaannya sendiri. “Selesaikan! Selesaikan perasaan gak jelas itu. Tapi aku yakin, saat itu selsai, saat itu pula kamu kehilangan Nala.”
“Gak…” Gaza menggeleng cepat. Membayangkan kehilangan Nala ada perasaan takut yang memenuhi hatinya.
Surya tertawa, sudah seperti ini Gaza masih tak menyadari perasaannya.
“Setidaknya berdiri di pihak Nala, Za. Apa yang kamu lakukan saat ia mendapat kesulitan di luar sana. Kampus ini milik keluargamu, apa kamu membantunya? Karena menjadi istrimu beberapa dosen bahkan mempersulitnya, apa kamu tau? ini masih di lingkungan kampus. Bagaimana dengan keluargamu?”
Surya menepuk bahu Gaza, ia tahu pria itu sedang bertaruh antara logika dan perasaannya. Sikap profesionalnya selama ini seolah membiarkan Nala menghadapi masalah kuliahnya seorang diri.
“Za, menikah denganmu saja Nala sudah mempertaruhkan masa remajanya. Harusnya saat ini dia menikmati masa-masa bersama teman-temannya, tapi dia harus terkurung menjadi istrimu dengan semua tuntutan dari kamu dan juga keluargamu. Dia meminta berpisah saja, tandanya dia sudah kelelahan, Za. Kasihan Nala,” ujar Surya dengan suara lembut, ia berharap sedikit saja bisa menyentuh hati Gaza.
Gaza diam, ia tak memikirkan semua ucapan Surya. Tak ada yang salah, tapi melepas Nala? Gaza tak bisa.
Perlahan Gaza memandang telepon genggamnya dalam sekejap jemarinya lincah menari di layar ponselnya, membuka nama seseorang di daftar kontak dan memanggilnya.
“Halo…” ucap Gaza setelah panggilannya tersambung. “Tolong cari kemana saja istri saya dan apa yang dia lakukan, laporkan pada saya secepatnya.”
Gaza menutup teleponnya, ia mengusap wajahnya kasar. Pikirannya tidak tenang, tapi menunjukkan kepedulian terang-terang akan membuat Nala semakin menjauh darinya.
Surya melihat semua, ia tersenyum senang. Setidaknya Gaza sudah mulai peduli pada Nala. Perasaan Gaza mungkin akan terbuka pelan-pelan.
“Semoga kisah kamu gak seperti film-film, Za,” celetuk Surya membuat Gaza menatapnya bingung.
“Seperti apa?” tanya Gaza dengan suara lelahnya.
“Sadar setelah kehilangan Nala. Semoga pernikahanmu dengan Nala baik-baik saja. Aku hanya ingin yang terbaik untuk kamu dan Nala. Bagaimanapun, Nala perempuan baik-baik dan kamu juga pria yang baik dan bertanggung jawab, sangking tanggung jawabnya sampai tidak peka dengan perasaan sendiri.”
Gaza menyetujui ucapan Surya, jauh di dalam hatinya pun, ia menginginkan rumah tangganya baik-baik saja. Nala, perempuan itu cantik dan baik, hanya hatinya terlalu takut hingga tanpa sadar menyakiti Nala.
Brak!
Pintu dibuka dengan kasar, Surya dan Gaza terlonjak kaget. Gaza sudah bersiap marah, betapa tidak sopannya orang tersebut masuk ke ruangan dosen tanpa mengetuk pintu.
“Kak!” Zanna muncul dengan nafas terengah-engah. “Nala mana?” tanya Zanna mengabaikan Kakanya yang siap marah.
“Zanna! ini di kampus, kamu tolong jaga sikap kamu,” tegas Gaza sembari menunjuk wajah Zanna.
Zanna menepis tangan kakaknya, ia menatap kesal ke arah Gaza.
“Nala mana? apa ini ulah Kakak?” Zanna menyodorkan telepon genggamnya.
Nama-nama mahasiswa dan lokasi KKN terlihat di sana. Gaza membacanya satu persatu tapi tak menemukan keanehan.
“Ada apa?” tanya Gaza heran.
“Nala pindah kelompok, harusnya aku dan Nala satu kelompok dan penempatannya gak jauh dari sini. Tapi ini…” Zanna memperlihat nama Nala di sana. “Nala pindah kelompok, Kak. Lihat ini… Lokasinya sembilan jam dari kota, ini pelosok desa, bahkan gak ada jaringan di sana. Kakak sengaja mindahin Nala ya? gak mungkin bisa pindah kalau gak ada campur tangan orang dalam.” Zanna terus menumpahkan semua kekesalannya pada Gaza.
Gaza mengerutkan keningnya, ia kembali membuka list nama-nama yang tadi di perlihatkan Zanna, surat keputusan itu bahkan sudah ditandatangani. Gaza ingat, kemarin nama Nala ada di kelompok Zanna.
“Gak, Kakak gak ada pindahin,” ucap Gaza sembari membaca nama-nama mahasiswa yang bergabung dengan kelompok Nala. Tak banyak, hanya sepuluh orang.
Surya merebut telepon genggam dari tangan Zanna, ia pun penasaran.
“Duh, mahasiswanya banyak cowok,” celetuk Surya.
“Nah betul Pak, dua cowok ini…” Zanna menujuknya pada Surya. “Idola kampus, mereka berprestasi, kaya dan juga ganteng banget,” puji Zanna dengan wajah berbinar. “Dan ini…” Zanna kembali memperlihatkan pada Surya. “Empat lainnya, ganteng banget sih Pak, bisa gak saya pindah ke kelompok ini?” tanya Zanna penuh harap.
“Sudah di tanda tangan ini,” tunjuk Surya lagi.
Zanna menunduk kecewa. Ia melirik Kakaknya yang dari tadi diam dengan kening berkerut menunjukkan beban pikirannya.
Nala menepuk pundah Gaza. “Selamat LDM, kak. Walaupun kangen pun gak bisa video call, udah gitu sebulan lebih lagi. Semoga aja Nala gak kepincut anak kepala desa,” ledek Zanna sembari tersenyum jahil.
“Keluar!” usir Gaza.
“Kak… tolonglah, aku mau satu kelompok sama Nala, aku capek jomblo.” Zanna kembali merayu Gaza.
“Gak! Keluar!” Pikiran Gaza mulai tak tenang.
Zanna menunduk, ia memilih keluar dan mencari Nala. Ia butuh penjelasan kenapa bisa Nala pindah kelompok, siapa yang sudah membantunya, semuanya harus Nala jelaskan, sejelas-jelasnya.