Di hari pernikahannya, Andi Alesha Azahra berusia 25 tahun, dighosting oleh calon suaminya, Reza, yang tidak muncul dan memilih menikahi sahabat Zahra, Andini, karena hamil dan alasan mereka beda suku.
Dipermalukan di depan para tamu, Zahra hampir runtuh, hingga ayahnya mengambil keputusan berani yaitu meminta Althaf berusia 29 tahun, petugas KUA yang menjadi penghulu hari itu, untuk menggantikan mempelai pria demi menjaga kehormatan keluarga.
Althaf yang awalnya ragu akhirnya menerima, karena pemuda itu juga memiliki hutang budi pada keluarga Zahra.
Bagaimanakah, kisah Zahra dan Althaf? Yuk kita simak. Yang gak suka silahkan skip!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang Kampung
Bandara Soekarno–Hatta malam itu terasa ramai. Pengumuman keberangkatan bersahut-sahutan, dan bau parfum bercampur aroma kopi dari kios terdekat memenuhi udara.
Di tengah keramaian itu, Zahra dan Althaf berdiri bersama koper mereka. Keduanya sudah siap berangkat, sementara Papa Sultan dan Mama Rani berdiri tak jauh dari mereka.
Althaf lebih dulu menyalami mertuanya. “Pa, saya berangkat dulu, ya.”
Papa Sultan menepuk bahu menantunya pelan. “Papa titip Zahra padamu, Nak. Salam juga sama kedua orang tuamu.”
Althaf mengangguk tegas. “Iya, Pa.”
Sekarang giliran Zahra. Ia mendekat, mencium tangan Papa Sultan dengan hati-hati. “Ara berangkat ya, Pa.”
Papa Sultan mengangguk sambil menghela napas. “Jangan bikin onar di kampung orang. Dan ingat, turuti perintah suami selama tidak bertentangan dengan agama. Paham?”
Zahra memainkan bibirnya sambil mendengus. “Iya, iya … Ara tahu kok. Emang Ara ini pembuat onar apa?”
Mama Rani dan Papa Sultan langsung menatapnya bersamaan, dengan raut kesal.
“Beberapa jam lalu,” kata Mama Rani sambil mengangkat alis, “ada seorang perempuan memporak-porandakan acara pernikahan mantannya. Kira-kira siapa, ya?”
Zahra langsung meringis seperti anak kecil ketahuan mencuri kue. “Aduh … itu kan … beda kasus, Ma.”
Papa Sultan mengibaskan tangan.
“Alah! Banyak alasan. Sudah sana. Pergi.”
“Cih, Papa ngusir anaknya,” balas Zahra cepat ingin kabur sebelum ceramah tambahan muncul.
Althaf lalu berpamitan. “Kamj berangkat dulu, Ma, Pa! Assalamualaikum!”
“Wa'alaikumussalam.”
Mereka masuk ke area keberangkatan. Karena sudah check-in online, mereka tak perlu antre lagi dan langsung menuju Gate 1.
Perjalanan ke gate berlangsung hening.
Zahra sesekali melirik Althaf dari sudut mata.
Laki-laki itu berjalan tegap, wajahnya datar dingin, seperti patung marmer mahal. Tatapannya lurus ke depan, tak ada sepatah kata pun keluar.
Zahra menggaruk-garuk pipinya. “Ini orang lagi mikir berat atau lagi marah, sih?” gumamnya pelan.
Tapi Althaf tetap diam. Seolah tak mendengar.
*
*
Suara mesin pesawat yang stabil membuat suasana di kabin bisnis terasa tenang. Lampu kabin diredupkan karena penerbangan malam, membuat tiap penumpang tenggelam dalam dunia mereka sendiri.
Althaf duduk bersandar dengan postur tegap. Di pangkuannya terbuka sebuah mushaf Al-Qur’an kecil, miliknya sejak kuliah. Ia membaca perlahan, bibirnya bergerak tanpa suara.
Di sampingnya, Zahra duduk dengan posisi sedikit miring. Dari tadi ia tak banyak bicara, hanya sibuk melihat keluar jendela sebelum akhirnya menyerah pada kantuk.
Beberapa menit kemudian kepala Zahra perlahan jatuh ke pundak Althaf.
Althaf refleks berhenti membaca. Tangannya yang memegang mushaf menegang. Ia menoleh perlahan, menatap wajah istrinya yang tertidur pulas. Nafas Zahra naik turun, tenang sekali. Berbeda jauh dengan sikap bar-barnya saat bangun.
Althaf menghela napas tipis, setengah bingung, setengah tersentuh.
Ia hendak menggeser bahunya sedikit, tapi berhenti saat Zahra menggumam kecil.
Zahra mengerutkan hidung sambil berkata lirih dalam tidur, “Enak banget bantalnya.”
Althaf terkejut. “Itu pundak aku.”
Zahra tidak sadar apa-apa, malah makin bersandar.
Althaf memalingkan wajah, menatap ke depan. Mendadak, pikirannya melayang ke memori tadi sore, detik sebelum ia dan Zahra bersiap ke bandara.
Di ruang kerja papa Sultan, Althaf duduk berhadapan dengan Papa Sultan. Suasana serius.
Papa Sultan menghela napas panjang. “Nak … maafkan papa kalau enjadikan kamu pengganti.”
Althaf menunduk sopan. “Tidak apa-apa, Pa.”
Papa Sultan menatapnya dengan mata sendu, mata seorang ayah yang jelas mencintai putrinya, meski putrinya itu sering bikin stres seluruh Jakarta.
“Papa cuma ingin Zahra punya seseorang yang bisa membimbingnya. Seseorang yang sabar.” Lalu ia menambahkan pelan, “Kalau dalam setahun ini kalian tidak bisa saling mencintai, Papa ikhlas kalau kamu mau menceraikannya.”
Althaf terkejut. “Pa .…”
“Asal satu hal. Jangan pernah sakiti Zahra. Bahkan dengan kata-kata.” suara Papa Sultan bergetar sedikit. “Dia memang keras kepala. Kadang nyebelin. Tapi hatinya lembut, Nak.”
Althaf hanya diam waktu itu, tak sanggup menjawab cepat. Banyak pikirannya.
Papa Sultan tersenyum, menepuk bahunya.
“Papa titip Zahra sama kamu.”
Ingatan Althaf kembali tertarik. Ia lalu menutup mushafnya perlahan, menatap Zahra lagi anak perempuan yang dulu terkenal tukang tawuran, suka balap liar, tapi entah bagaimana ia bisa tidur selelap ini di pundaknya.
Rambut Zahra jatuh berantakan, tapi entah kenapa terlihat lucu.
Althaf bergumam pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. “Bisakah aku mencintaimu, Zahra?”
Ia menatap wajah itu lama. “Atau … bisakah kamu mencintaiku?”
Tak ada jawaban, tentu saja.
Zahra hanya menggeser posisi tidurnya sedikit, lalu semakin menempel ke Althaf.
Althaf menegakkan punggung, membiarkannya bersandar lebih nyaman. Matanya melembut tanpa ia sadari.
“Setidaknya,” gumamnya pelan, “kalau kamu ingin tidur aku tidak keberatan jadi bantalmu.”
*
*
Kini mereka tiba di bandara Sultan Hasanuddin. Udara hangat Makassar menyapa ketika Althaf dan Zahra melangkah keluar dari pintu kedatangan.
Malam sudaj menunjukkan pukul sepuluh malam, namun hiruk-pikuk bandara masih ramai oleh penumpang yang baru tiba. Zahra menarik napas panjang, wajahnya langsung cerah meski baru bangun tidur.
“Akhirnya sampai juga,” gumamnya sambil merenggangkan badan. “Eh, kita abis ini ke mana, Pak KUA? Hotel dulu atau langsung ke kampung?”
“Kita masih harus naik mobil lima jam lagi,” jawab Althaf tanpa menoleh.
Zahra sontak berhenti. “Lima jam?” Ia berkedip cepat, seolah berharap Althaf hanya bergurau. “Serius, Pak KUA? Lima jam beneran?”
Althaf mengangguk ringan. “Iya.”
Zahra mendengus panjang. “Ya ampun, bisa tepos pantatku yang seksi ini.”
Kali ini Althaf menoleh singkat, tatapannya datar. “Seksi?”
“Ya iyalah.” Zahra menjawab tanpa malu sedikit pun. “Emang kamu kira nggak? Mau lihat?”
Althaf langsung mengalihkan pandangannya kembali. “Kita makan malam dulu. Setelah itu sholat Isya.”
“Sholat?” Zahra refleks menaikkan satu alis. Terakhir kali dia sholat lengkap, entahlah, lama sekali rasanya.
“Ya. Sholat,” balas Althaf tenang.
Zahra mengangguk pasrah. “Iya … iya. Ara ikut.”
Mereka berjalan menuju pintu keluar. Seorang lelaki paruh baya sudah menunggu di sana, memegang papan bertuliskan nama Althaf. Begitu melihat pasangan itu, ia segera menghampiri.
“Assalamualaikum, Pak Althaf,” ujarnya sopan.
“Waalaikumsalam.” Althaf menoleh pada Zahra. “Ini istri saya.”
“Halo, Om!” Zahra menyapa ceria sambil melambai kecil.
Lelaki itu tampak sedikit terkejut, namun cepat beradaptasi. “Mobilnya sudah siap, Dek. Apakah ingin langsung makan dulu?”
“Iya,” jawab Althaf. “Cari tempat makan terdekat. Setelah itu kita cari musholla.”
Zahra masuk ke mobil terlebih dahulu. Setelah memasang sabuk pengaman, ia mendesah panjang.
“Lima jam ya … lima jam,” gumamnya. Ia menatap Althaf yang duduk tenang di sampingnya. “Pak KUA nanti kalau aku bete, boleh nyetel lagu dangdut, nggak?”
“Tidak.”
Zahra mendengus keras. “Pak KUA itu nggak asik banget, sumpah.”
Althaf tak menanggapi. Ia hanya melirik Zahra, lalu senyum kecil terbit. Zahra hanya memalingkan wajahnya ke jendela dengan raut cemberut.
ortu nya Zahra kapan datang sih ke kampung Altaf, biar warga kampung pada mingkem
heran deh, bikin emosi aja😡
kalau tau identitas Zahra, yakin deh tu Mak Mak pada melongo
🤦🤦
padahal blm tntu itu emas alsi 🙈🙈🙈