Di malam ulang tahun suaminya yang ke tiga puluh lima, Zhea datang ke kantor Zavier untuk memberikan kejutan.
Kue di tangan. Senyum di bibir. Cinta memenuhi dadanya.
Tapi saat pintu ruangan itu terbuka perlahan, semua runtuh dalam sekejap mata.
Suaminya ... lelaki yang ia percaya dan ia cintai selama ini, sedang meniduri sekretarisnya sendiri di atas meja kerja.
Kue itu jatuh. Hati Zhea porak-poranda.
Malam itu, Zhea tak hanya kehilangan suami. Tapi kehilangan separuh dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
"Besan ... maafkan kami. Kami tidak menyangka Zavier akan melakukan hal sejahat itu pada Zhea. Kami malu. Kami benar-benar malu." Rindu berkata dengan suara bergetar dan air mata yang mengalir deras.
Soni, yang biasanya tegas dan berwibawa, kini tampak tak berdaya. Matanya memerah. "Kami merasa tidak punya muka."
Ucapan itu diikuti gerakan spontan dari Rindu dan Soni yang hampir saja bersujud di kaki Zahrani. Rindu sudah membungkuk sangat rendah, tangan terulur hendak meraih kaki besannya, namun Zahrani langsung menahan bahunya.
"Jangan begini, besan," suara Zahrani tegas namun tetap lembut. "Jangan bersujud di kaki saya. Tolong berdirilah.
Zhea juga segera maju, ikut menahan.
"Ma ... Pa, jangan bersujud begini. Cukup," ucapnya lirih, tapi tegas. "Apa yang dilakukan Zavier bukanlah kesalahan Mama dan Papa ..."
Arin yang sejak tadi diam, ikut bersimpuh di samping kedua orang tuanya. "Mama Rani ... tolong jangan membenci Papa, Mama dan juga aku."
Seketika, ruang tamu itu dipenuhi isak tangis yang tertahan. Penuh penyesalan dan kesakitan.
Zahrani menarik napas panjang. "Jujur, besan. Saya tidak menyangka kalau menantu yang selama ini saya banggakan. Saya kagumi dan juga saya sayangi ... ternyata tega melakukan itu. Saya kecewa, iya. Tapi saya tidak akan membenci apalagi menyalahkan besan Rindu dan juga besan Soni. Karena saya tahu ... kalian sudah mendidik Zavier dengan sangat baik. Dan apa yang dilakukan Zavier sekarang ... itu pasti pilihannya sendiri. Yang penting sekarang, Zhea dan Zheza baik-baik saja, dan sudah pulang ke rumah saya."
Hening sesaat, hanya terdengar suara napas yang tersengal dari Rindu yang terus menangis.
Soni akhirnya berkata dengan suara rendah, "Terima kasih, besan. Terima kasih atas kelapangan hati besan. Demi Tuhan ... kami benar-benar merasa kehilangan muka. Sekali lagi, maafkan kami ..."
Zahrani menepuk bahu Rindu pelan sambil melemparkan tatapan ke Soni. "Saya maafkan."
Rindu menangis makin keras, tetapi kali ini tidak histeris ... lebih seperti lega karena permintaan maaf mereka diterima, meski jarak tetap akan terbentuk.
"Besan ... jika perceraian terjadi di antara Zhea dan Zavier ... tolong jangan larang kami bertemu dengan Zhea dan Zheza," pinta Rindu memelas.
Zahrani menyeka air matanya dahulu, sebelum menanggapi permintaan Rindu. "Tentu saja tidak, besan. Kapan pun kalian mau berkunjung ... silakan saja."
Adegan itu berakhir dalam kesunyian yang berat, tetapi tetap menyisakan sedikit ruang untuk penyembuhan, di sisi Zhea maupun orang tua Zavier.
Sementara kedua orang tuanya menundukkan kepala di rumah Zhea, Zavier justru melenggang santai ke parkiran basement apartemen Elara. Ia mematikan mesin mobil dan melihat pantulan dirinya di kaca ... rapi, wangi, tanpa sedikit pun terlihat seperti pria yang baru menghancurkan keluarganya.
Ia naik ke lantai dua puluh tiga dan mengetuk pintu. Elara membukanya dengan wajah lega sekaligus gelisah.
"Babe ... kamu lama banget, sih," keluhnya, langsung menarik Zavier masuk. "Aku khawatir banget tahu. Takut kamu disiksa sama si Zhea dan keluargamu. Mengingat semalam, mereka sangat marah sama kita. Aku sampai diancam akan dilaporkan ke polisi. Makanya aku pergi aja dari rumah kamu itu. Tapi hatiku bener-bener nggak tenang karena takut kamu kenapa-kenapa. Aku sampai nggak bisa tidur. Kamu juga kenapa tadi malam nggak bales pesan dan mengangkat teleponku. Jahat kamu, tega ..." Elara memukuli dada Zavier dengan manja dan mata berkaca-kaca.
Zavier menarik Elara ke dalam pelukan. "Maafkan aku ya, sayang. Semalam aku kacau banget. Aku diusir dari rumahku sendiri oleh Mama dan Papa. Mereka malah membela Zhea dan mengabaikan aku. Makanya aku sama sekali nggak menggubris pesan dan teleponmu, sekali lagi maafkan aku karena semalam membiarkan kamu pulang sendirian dan membuatmu khawatir." Kecupan-kecupan hangat didaratkan Zavier di puncak kepala Elara.
Tanpa Zavier ketahui, dalam pelukannya ... Elara menangis sambil tertawa. Dia membatin lega. "Akhirnya ... Zavier menjadi milikku. Semoga Zhea dan Zavier benar-benar bercerai."
Elara menggigit bibir. Ia pura-pura gugup. "Tapi kamu nggak bakalan kembali ke Zhea kan, sayang?"
Zavier menggeleng cepat. "Enggak akan! Aku udah muak sama dia," katanya geram.
"Syukurlah. Berarti sekarang kamu bisa kan menikahi aku?"
Zavier terdiam sejenak. Bukan karena syok, tapi mencoba sedang meyakinkan diri untuk yang kesekian kali. Ia mengusap dagunya, lalu duduk di sofa.
"Bisa, Ela. Aku akan segera menikahimu."
Wajah Elara terbelah oleh tawa. Dia loncat ke pangkuan Zavier sambil berseru girang. "Aaaa ...! Makasih, sayang! Makasih cintaku! Rajaku, belahan hatiku!" Dia menciumi wajah Zavier. Dari jidat hingga dagu dan memagut bibir Zavier dengan rakus.
Zavier terpancing dan mendorong tubuh Elara dengan cepat supaya merebah di sofa. "Ela ... aku pengen," desisnya dengan suara berat.
"Lakukan, sayang. Jangan malu-malu lagi. Jangan ditahan-tahan lagi. Gempur aku sesuka hatimu. Karena mulai hari ini, aku seutuhnya milikmu. Tapi sebagai imbalannya, aku ingin kita menikah minggu depan?"
"As you wish, baby. Apa pun yang kamu inginkan, aku akan melakukannya."
"Makasih, Babe." Elara menarik tengkuk Zavier dan menyerang bibir sensual lelaki itu.
Suara cecapan seketika memenuhi ruang tamu apartemen itu.
Satu persatu pakaian melayang ke sembarang arah diiringi desahan berat dari dua insan yang kini merasa lebih bebas melakukan penyatuan.
"Ahhh!" Elara menjerit ketika Zavier menghentak miliknya dengan keras. "Lebih cepat, Babe. Keluarkan semua tenagamu. Sembur aku dengan benihmu. Agar aku segera mengandung anakmu ..." racau Elara sambil mengaitkan kedua kakinya ke pinggang Zavier.
"Tentu, Ela. Aku akan membuahimu. Terimalah ini, sayang."
______
Setelah kepulangan mertua dan adik iparnya, Zhea termenung di sebelah boks bayi di mana Zheza terlelap. "Zheza ... jangan rewel ya, Nak. Mulai sekarang, kita akan tinggal di rumah ini. Rumah yang penuh cinta dan rumah masa kecil Mama." Satu titik cairan bening lolos membasahi pipinya. Pandangan Zhea berpindah ke arah pintu kamarnya yang perlahan terbuka. Sang ibu muncul dengan wajah sembap. "Mama ..." lirih Zhea parau.
"Zhea ..." Zahrani berjalan setengah berlari, menghampiri Zhea lalu memeluknya. "Mama masih tidak menyangka jika Zavier tega melakukan hal menjijikan seperti itu. Hati Mama sakit sekali mendengar semua ceritamu, Nak. Rasanya jiwa dan raga Mama remuk, sayang. Anak yang Mama besarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang, malah dizalimi oleh suami yang seharusnya menjadi pelindung dan pembimbingmu. Mama sangat mendukung keinginanmu untuk menggugat cerai dia. Lakukan secepatnya, Zhea. Jangan ditunda-tunda ..." pecah lagi tangis Zahrani menangisi nasib sang putri.
"Mama ..." Zhea tersedu dalam pelukan ibunya. Sekuat apa pun ia menahan untuk tak menangisi kehancuran rumah tangganya, tetap saja benteng itu runtuh juga.
Keduanya meraung, saling menguatkan dalam pelukan.
_______
"Babe, nanti kalau kita udah nikah ... aku mau pindah dari apartemen ini. Aku pengen punya rumah yang besar, seperti rumahnya si Zhea," rengek Elara sambil memainkan telunjuknya di dada Zavier yang tak tertutup apa pun.
"Boleh, sayang. Aku akan membelikanmu rumah yang kamu mau."
"Aaa ... Babe, makasih." Elara menjerit kecil, memeluk Zavier dengan erat. "Oh, ya ... aku punya permintaan yang sangat penting dan kamu wajib mengabulkannya!"
Zavier mengusap punggung Elara yang polos. "Permintaan apa? Katakan!"
"Aku minta sama kamu, jika kita sudah menikah nanti ... kamu jangan pernah menemui anakmu! Apalagi memberikan dia uang. Biar saja si Zhea yang banting tulang untuk menghidupi bayi itu!"
"Hahaha ..." Zavier tertawa lepas. "Tenang saja, sayang. Tanpa dilarang pun, aku sudah berniat tak akan mempedulikan anak itu. Aku benci dia, sama seperti aku membenci ibunya!"
Mata Elara melebar. Kaget sekaligus bahagia. "Hahaha! Aku menang, dan kamu kalah telak, Zhea! Selamat hidup sengsara dan menderita wahai wanita bawel, bodoh dan arogan! Aku berhasil mendapatkan suamimu dan juga seluruh hartanya!" batin Elara puas dan bahagia.
_______
"Kak, kenapa Kakak nggak ngomong dari awal ke aku soal perselingkuhan bajingan itu?! Kenapa Kakak memendam semua ini sendirian, Kak!" Rafly menggeram, memukul sofa yang ia duduki setelah mendengar cerita dari Zhea.
"Kakak juga baru tahu pas ulang tahun lelaki itu, Rafly. Makanya Kakak menyiapkan semuanya sendirian. Lagipula, Kakak tidak mau membuat kamu dan Mama khawatir. Sudahlah, Dek. Semuanya juga sudah berakhir. Kakak minta besok pagi, temani Kakak ke pengadilan agama, ya? Kakak mau mendaftarkan gugatan."
Rafly beringsut, memanjangkan tangan untuk memeluk Zhea. "Iya, Kak. Aku akan menemani Kakak." Sedikit demi sedikit, amarah di hati Rafly mereda. "Kakak harus kuat ya? Aku dan Mama akan selalu ada untuk mendukung Kakak dan juga Zheza."
"Makasih, Dek. Makasih ..." Zhea tidak kuasa menahan air mata. Ia terisak dalam pelukan Rafly. Tapi bukan menangisi perceraiannya dengan Zavier, melainkan terharu karena keluarganya selalu peduli dan mendukungnya.
*
Mentari pagi menyinari mobil hitam yang dikemudikan Zavier. Mobil itu berbelok, masuk ke basement kantor Dinata Grup.
"Akhirnya sampai juga ya, Babe," ucap Elara yang duduk di samping Zavier.
"Iya, sayang. Ayo kita turun. Dan mulai sekarang ... pegang tanganku. Kita tidak usah sembunyi-sembunyi lagi." Zavier membukakan sabuk pengaman yang melingkar di tubuh kekasihnya.
"Siap, Baby." Elara tersenyum puas.
Mereka berdua benar-benar bergandengan tangan mesra, membuat para karyawan yang berpapasan membulatkan mata dan saling berbisik-bisik syok.
Namun sepasang kekasih itu tak mengindahkan semuanya. Mereka acuh tak acuh seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Tiba di lantai empat, Zavier mengajak Elara masuk ke ruangannya. "Mulai detik ini, kamu tidak usah mengetuk pintu kalau mau masuk ke ruanganku. Langsung masuk saja. Karena ruanganku adalah ruanganmu juga. Sebentar lagi, kamu akan menjadi Nyonya Zavier Dinata."
"Aaa ... makasih, Babe. Aku senang sekali." Elara melabuhkan ciuman di pipi Zavier lalu di bibir.
Setelah itu, Zavier menurunkan gagang pintu dan pintu pun terbuka.
Namun keduanya langsung tersentak dengan mata melebar dan mulut sedikit terbuka.
memang cocok mereka berdua sama-sama iblis
gimana yah reaksi zavier kalau lihat El lagi kuda" sama laki laki lain
seperti istrimu yg melihat mu pasti booom like nuklir