Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesepakatan
Pukul satu siang, mobil Mercedes hitam Rangga meluncur keluar dari halaman rumah menuju kawasan Kuningan, tempat Gunawan Industries berlokasi. Rangga duduk di kursi pengemudi dengan wajah yang lebih segar dari kemarin... ia sudah tidur cukup, sudah bercukur, bahkan sudah sempat olahraga pagi. Hari ini adalah hari yang penting. Hari yang bisa menyelamatkan perusahaannya.
Ayunda duduk di kursi penumpang dengan dress kerja berwarna navy blue yang fitted, memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan sempurna namun tetap profesional. Rambutnya digelung french twist yang rapi. Makeup natural tapi sempurna. Ia terlihat seperti... sekretaris profesional.
"Kamu gugup?" tanya Ayunda sambil merapikan lipstik di cermin lipat.
"Sedikit," jawab Rangga jujur. "Ini kesempatan besar. Aku tidak boleh gagal."
"Kamu tidak akan gagal," Ayunda menutup cermin lipat, menatap suaminya dengan senyum yang menenangkan. "Pak Gunawan sudah tertarik kemarin. Kamu hanya perlu presentasi dengan baik. Dan aku akan ada di sana untuk support kamu."
Rangga melirik istrinya dengan senyum hangat. "Terima kasih. Aku beruntung punya kamu."
"Ya, kamu memang beruntung," Ayunda tertawa tapi ada sesuatu di matanya. Sesuatu yang tidak bisa Rangga tangkap.
Mereka berkendara dalam keheningan beberapa menit... Rangga fokus pada jalan, Ayunda fokus pada ponselnya. Lalu tiba-tiba Ayunda berbicara dengan nada yang dibuat santai.
"Rangga, aku mau bicara sesuatu."
"Apa?" Rangga melirik sekilas.
"Tentang... kalau Pak Gunawan setuju untuk investasi," Ayunda mulai dengan hati-hati. "Aku mau kita buat kesepakatan."
Rangga mengernyit. "Kesepakatan apa?"
"Aku mau jadi sekretaris kamu," Ayunda menjawab dengan cepat.
"Apa?" Rangga hampir salah belok. "Sekretaris? Tapi kamu kan tidak punya pengalaman..."
"Aku bisa belajar," Ayunda memotong dengan tegas. "Dan aku mau dekat denganmu. Aku tidak mau seperti kemarin... kamu sibuk di kantor sepanjang hari dan aku sendirian di rumah. Kalau aku jadi sekretarismu, kita bisa bersama setiap hari. Kita bisa makan siang bersama. Kita bisa pulang bersama. Bukankah itu bagus?"
Rangga terdiam memproses usulan itu. Memang benar, kalau Ayunda jadi sekretarisnya, mereka bisa lebih banyak waktu bersama. Tapi...
"Tapi Bu Sari sudah jadi sekretarisku bertahun-tahun," Rangga berargumen. "Dia loyal. Dia kompeten. Aku tidak bisa..."
"Rangga," Ayunda menatapnya dengan tatapan yang serius, tatapan yang tidak bisa dibantah. "Ini kesepakatan. Kalau Pak Gunawan jadi investasi hari ini, kamu harus penuhi permintaanku. Aku mau jadi sekretarismu.."
"Tapi Ayunda..."
"Tidak ada tapi-tapian," Ayunda memotong dengan nada final. "Aku yang bantu kamu dapat kesempatan ini. Aku yang kenalan dengan Pak Gunawan. Aku yang atur meeting ini. Jadi aku berhak minta sesuatu sebagai imbalannya. Dan yang aku mau adalah posisi sekretaris."
Rangga menatap jalan di depan dengan perasaan tidak nyaman. Ada sesuatu yang tidak beres dengan permintaan ini. Tapi di sisi lain, Ayunda benar... Ia yang membantu. Dan kalau ini yang ia mau...
"Baiklah," akhirnya Rangga menyetujui. "Kalau Pak Gunawan jadi investasi, kamu bisa jadi sekretarisku."
Senyum lebar muncul di wajah Ayunda... senyum yang terlihat senang, tapi ada sesuatu di balik senyum itu. Sesuatu yang gelap. Sesuatu yang terencana.
"Terima kasih, sayang," ucapnya sambil mencium pipi Rangga. "Kamu tidak akan menyesal."
Tapi Rangga tidak melihat kilatan di mata Ayunda, kilatan yang mengatakan ini bukan hanya soal ingin dekat dengan suami. Ini adalah langkah pertama dari sesuatu yang lebih besar.
---
Gunawan Industries terletak di gedung pencakar langit di kawasan Kuningan, gedung kaca biru dengan logo "GI" berwarna silver di bagian atas. Lobby-nya megah dengan marmer putih dan reception desk yang luas. Rangga dan Ayunda memasuki gedung tepat pukul dua siang.. on time, tidak terlalu cepat atau terlalu telat.
"Selamat siang," sapa Rangga pada resepsionis. "Kami ada appointment dengan Pak Gunawan Santoso. Atas nama Rangga Pradipta."
Resepsionis wanita muda dengan seragam rapi mengecek komputer. "Ah ya, Mr. Pradipta. Pak Gunawan sudah menunggu di ruangannya. Lantai 25. Silakan menggunakan lift di sebelah kanan."
"Terima kasih," Rangga dan Ayunda berjalan menuju lift dengan langkah yang penuh percaya diri, meskipun dalam hati Rangga gugup luar biasa.
Di dalam lift, Ayunda merapikan blazer Rangga, memastikan dasinya lurus. "Kamu terlihat sempurna," ucapnya dengan senyum.
"Aku masih gugup," Rangga mengakui.
"Jangan," Ayunda menatap matanya dengan serius. "Kamu CEO. Kamu punya pengalaman. Kamu punya value. Tunjukkan itu pada Pak Gunawan. Buat dia percaya bahwa investasi di perusahaanmu adalah keputusan yang tepat."
Rangga mengangguk, merasa sedikit lebih percaya diri dengan kata-kata istrinya.
Lift terbuka di lantai 25. Mereka berjalan melewati koridor dengan karpet mewah menuju ruangan CEO di ujung... ruangan dengan pintu kayu besar bertuliskan "GUNAWAN SANTOSO - CEO".
Rangga mengetuk. "Permisi."
"Masuk!" suara berat terdengar dari dalam.
Mereka masuk.. disambut oleh ruangan besar dengan jendela lebar menghadap kota Jakarta. Di balik meja kayu mahoni duduk seorang pria berusia lima puluhan... rambut beruban di sisi-sisinya, kacamata bermata tajam, jas abu-abu yang rapi. Gunawan Santoso.
"Ah, Mr. Pradipta!" Gunawan berdiri dengan senyum ramah, mengulurkan tangan. "Dan Mrs. Ayunda! Senang bertemu lagi!"
"Senang bertemu juga, Pak Gunawan," Rangga berjabat tangan dengan tegas. "Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk kami."
"Tidak masalah, tidak masalah," Gunawan mempersilakan mereka duduk. "Silakan. Mari kita langsung ke business."
Satu jam kemudian... setelah presentasi yang panjang, diskusi yang mendalam, dan negosiasi yang alot... Gunawan akhirnya bersandar di kursinya dengan senyum puas.
"Mr. Pradipta," ucapnya sambil melepas kacamata, "saya terkesan dengan presentasi Anda. Saya lihat potensi besar di Pradipta Medika. Dan saya percaya kerjasama ini akan menguntungkan untuk kedua belah pihak."
Jantung Rangga berdegup kencang. "Jadi... Bapak setuju?"
"Ya," Gunawan mengangguk dengan tegas. "Gunawan Industries akan investasi 300 miliar rupiah di Pradipta Medika. Kita akan buat kontrak kerjasama dengan term yang adil untuk kedua pihak. Anda akan dapat suntikan dana yang Anda butuhkan. Dan kami akan dapat partner yang kompeten di bidang distribusi alat kesehatan."
Rangga tidak bisa bernapas. 300 miliar. TIGA RATUS MILIAR. Itu lebih dari cukup untuk menyelamatkan perusahaannya. Lebih dari cukup untuk melunasi hutang. Lebih dari cukup untuk bangkit kembali.
"Pak Gunawan," Rangga berdiri, mengulurkan tangan dengan wajah yang penuh dengan lega dan kebahagiaan. "Terima kasih. Terima kasih banyak. Bapak menyelamatkan perusahaan kami. Kami tidak akan mengecewakan Bapak."
"Saya percaya itu," Gunawan berjabat tangan dengan erat. "Dan Mrs. Ayunda," ia menatap Ayunda dengan senyum, "terima kasih sudah mengenalkan saya dengan suami Anda. Anda wanita yang cerdas."
Ayunda tersenyum manis, yang terlihat tulus. "Terima kasih, Pak. Saya hanya ingin membantu suami saya."
Tapi di balik senyum itu, ada sesuatu. Sesuatu yang hanya Ayunda yang tahu.
Di perjalanan pulang, Rangga tidak bisa berhenti tersenyum. Ia bahkan tertawa sendiri... tawa lega, tawa bahagia.
"Kita berhasil!" ucapnya sambil memukul setir dengan excited. "Kita benar-benar berhasil, Ayunda! 300 miliar! Itu lebih dari yang aku harapkan!"
"Aku tahu," Ayunda juga tersenyum meskipun tidak se-excited Rangga.
"Aku harus telpon Papa," Rangga sudah meraih ponselnya. "Aku harus kasih tahu dia kabar baik ini..."
"Tunggu," Ayunda menarik tangan Rangga. "Sebelum itu, kamu lupa sesuatu?"
Rangga mengernyit. "Lupa apa?"
"Kesepakatan kita," Ayunda mengingatkan dengan nada yang lembut tapi tegas. "Kamu janji kalau Pak Gunawan setuju, aku bisa jadi sekretarismu."
Rangga terdiam... baru ingat tentang kesepakatan itu. "Oh. Iya. Tapi Ayunda, itu..."
"Tidak ada tapi," Ayunda memotong. "Janji adalah janji, Rangga. Dan aku mau kamu tepati sekarang."
"Sekarang?" Rangga terkejut. "Maksudmu..."
"Besok," Ayunda mengklarifikasi. "Besok aku mau kamu pecat Bu Sari. Dan besok juga aku akan mulai kerja sebagai sekretarismu."
"Tapi Ayunda, Bu Sari sudah bekerja bertahun-tahun..."
"Dan sekarang waktunya dia pensiun," Ayunda memotong dengan dingin. "Kamu bisa kasih pesangon yang bagus. Tapi aku mau posisi itu. Aku mau jadi sekretarismu. Aku mau dekat denganmu setiap hari. Dan aku mau tahu semua yang terjadi di perusahaan mu."
Ada sesuatu di nada terakhir itu yang membuat Rangga tidak nyaman. Tapi ia sudah berjanji. Dan ia tidak bisa mengingkari janji... tidak setelah Ayunda membantunya sebanyak ini.
"Baiklah," Rangga menyerah dengan helaan napas. "Baiklah. Besok aku akan bicarakan dengan Bu Sari. Dan kamu bisa mulai sebagai sekretarisku."
"Terima kasih, sayang," Ayunda tersenyum yang terlihat manis tapi ada sesuatu yang tidak beres di sana.
Rangga melanjutkan menyetir, tidak melihat Ayunda yang diam-diam membuka ponselnya. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak disimpan di kontaknya. Ayunda membuka dengan hati-hati, memastikan Rangga tidak melihat.
"Status?"
Ayunda mengetik dengan cepat, jari-jarinya bergerak lincah di layar.
"Berhasil. Gunawan Industries setuju investasi 300M. Dan aku sudah jadi sekretaris Rangga mulai besok. Rencana berjalan sesuai jadwal."
Beberapa detik kemudian, balasan datang.
"Bagus. Lanjutkan ke tahap selanjutnya."
Ayunda mengetik lagi.
"Understood. Akan aku kerjakan. Berapa lama timeline nya?"
"Secepatnya."
Ia menghapus seluruh percakapan... tidak menyisakan jejak sama sekali. Lalu ia menyimpan ponselnya kembali, menatap keluar jendela dengan wajah yang tenang.
mau bgaimanapun ayunda adlh pelakor.
mau bgaimanapun alasannya ayunda adlh pelakor dan pelakor hrs dpt hukuman juga biar gk tuman dan gk Ada yg niru.
nnti jd kebiasaan mendukung ayunda jd pelakor krn blas dendam.