"Setelah aku pulang dari dinas di luar kota, kita akan langsung bercerai."
Aryan mengucapkan kata-kata itu dengan nada datar cenderung tegas. Ia meraih kopernya. Berjalan dengan langkah mantap keluar dari rumah.
"Baik, Mas," angguk Anjani dengan suara serak.
Kali ini, dia tak akan menahan langkah Aryan lagi. Kali ini, Anjani memutuskan untuk berhenti bertahan.
Jika kebahagiaan suaminya terletak pada saudari tirinya, maka Anjani akan menyerah. Demi kebahagiaan dua orang itu, dan juga demi kebahagiaan dirinya sendiri, Anjani memutuskan untuk meninggalkan segalanya.
Ya, walaupun dia tahu bahwa konsekuensi yang akan dia hadapi sangatlah berat. Terutama, dari sang Ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tersangka
Rantai besi itu akhirnya bisa terlepas setelah Enzo membayar seorang ahli untuk memotongnya. Anjani duduk disudut ruangan dengan mata yang bengkak. Dia benar-benar tidak tega melihat Ibunya diperlakukan seperti itu.
Bi Lina perlahan mendekat. Ia memainkan ujung bajunya dengan perasaan gugup.
"Nona, maafkan saya!" lirih Bi Lina dengan tangis tertahan. "Saya sudah berusaha menyakinkan Tuan Anton dan Tuan Aryan untuk tidak melakukannya. Tapi, mereka tetap bersikeras. Mereka bilang, hanya ini satu-satunya cara supaya Nyonya Mariana tidak menyakiti siapapun lagi."
Mata Anjani memejam cukup lama. Ibunya memang menderita depresi. Namun, dia tak akan menyerang orang lain selama tak ada yang memicu penyakitnya untuk kambuh.
Apalagi, selama tinggal di desa, sang Ibu menjalani kehidupan yang cukup baik dan normal. Bunga-bunga yang tumbuh indah di halaman adalah buktinya. Juga, kebun sayur-sayuran yang begitu subur dihalaman belakang.
"Mereka yang bikin penyakit Mama kambuh. Dan, mereka juga yang memperlakukan Mama sekejam ini?" Anjani tertawa.
Akal sehatnya seperti terkikis dengan sangat cepat. Hingga ide-ide gila pun perlahan berseliweran dalam kepalanya.
Bagaimana saat jika pulang nanti, dia mengundang sang Ayah dan juga keluarga barunya untuk makan malam bersama? Aryan tentu saja juga harus diundang. Dan, disana... Anjani akan menaburkan sianida ke dalam makanan mereka.
Biar mereka semua berangkat ke neraka bersama-sama. Satu cara, empat nyawa manusia-manusia jahat langsung melayang.
"Nona..." tegur Bi Lina. Dia menyentuh pelan punggung tangan Anjani yang tampak melamun.
Khayalan sesat itu terputus seketika dalam benak Anjani. Dia menoleh. Mengusap air matanya lalu berusaha bersikap setenang mungkin.
"Obat Mama, masih ada?" tanyanya.
"Masih," angguk Bi Lina. "Tapi, Nona..." ucapan Bi Lina menggantung. Wajahnya menampakkan keraguan.
"Ada apa, Bi?" tanya Anjani penasaran.
"Saya tidak tahu harus menyampaikan hal ini atau tidak kepada Anda."
"Ada apa sebenarnya? Sampaikan saja, Bi!"
Bi Lina menarik napas panjang kemudian mengembuskannya secara perlahan. Ia berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengungkap hal yang selama ini terus mengganggu perasaannya.
"Sebenarnya... Dua bulan terakhir, saya merasa curiga dengan obat yang diminum Nyonya."
Degh!
Perasaan Anjani semakin tidak karuan. Firasat buruk yang baru, kini bercokol lagi dalam hatinya.
"Apa maksud Bi Lina?" tanya Anjani.
"Perawat sebelumnya yang sudah menjaga Nyonya Mariana tiba-tiba diganti dalam dua bulan terakhir. Lalu, perawat baru itu selalu memberi Nyonya Mariana obat dengan rutin. Masalahnya... obat yang diberikan oleh perawat itu bentuk dan baunya agak berbeda dengan obat yang sebelumnya selalu Nyonya Mariana konsumsi."
"Apa obatnya masih ada?" celetuk Enzo yang diam-diam mendengarkan percakapan Anjani dan Bi Lina.
"Masih, Tuan," jawab Bi Lina. "Saya tidak pernah memberikan obat itu lagi kepada Nyonya Mariana sejak dia mengamuk terakhir kali."
"Berikan padaku!" pinta Enzo.
Bi Lina mengangguk. Dia segera mengambil obat yang ia simpan didalam laci kemudian memberikannya kepada Enzo.
"Apa yang ingin Pak Enzo lakukan dengan obat itu?" tanya Anjani.
"Aku akan mengirimnya ke lab untuk diteliti," jawab Enzo sambil memasukkan obat itu ke dalam saku jaketnya.
Anjani mengangguk mengerti. Meski sedikit sungkan, namun dia terpaksa menerima bantuan yang Enzo berikan.
Tak ada yang bisa ia andalkan saat ini selain Enzo dan Anushka.
"Maaf, jika saya merepotkan Pak Enzo."
Alis Enzo terangkat sebelah. "Nanti, kamu harus balas budi. Jangan lupa!"
Dengan cepat, Anjani mengangguk. "Pasti. Saya janji. Saya pasti akan melakukan apapun untuk membalas kebaikan Pak Enzo."
Pria itu tampak menyeringai. Seperti ada rencana licik yang sudah ia rangkai didalam kepalanya.
"Baiklah!" Enzo mengusap puncak kepala Anjani. "Nanti, kamu harus menepati janji. Jangan coba-coba untuk ingkar."
Enzo pun berlalu keluar. Dia mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi seseorang.
"Anjani, kamu dalam masalah," ujar Anushka yang kini gantian mendekati Anjani.
"Aku memang sudah dalam masalah. Apa kamu nggak lihat, bagaimana berantakannya hidupku?" balas Anjani.
Anushka pun menggeleng. "Bukan itu maksudku," ujarnya. "Aku berbicara tentang janjimu pada Om Enzo."
"Memangnya, ada apa dengan janjiku?"
"Kamu nggak tahu, kalau Om Enzo orang yang sangat licik, ya? Dia bisa memanfaatkan janji itu untuk mengikatmu selamanya didekatnya."
"Kedengarannya, nggak terlalu buruk," timpal Anjani. "Seenggaknya, Pak Enzo hanya galak di mulut. Tidak seperti Papa-ku yang tega menyakiti istri dan anaknya sampai seperti ini."
Tatapan Anjani yang sendu terarah kepada sang Ibu yang tampak sudah nyenyak dalam tidurnya. Belenggu yang membatasi pergerakannya sudah dilepas. Kini, wanita setengah abad itu sudah kembali terlihat normal layaknya manusia biasa.
****
"Makan yang banyak, Anjani!" kata Enzo saat menyadari bahwa Anjani hanya memainkan makanan di piringnya dengan sendok.
"Aku kenyang," jawab Anjani.
Enzo mendesah samar. Ditelannya makanan yang masih berada didalam mulut kemudian menatap Anjani dengan tatapan tajamnya yang khas.
"Mau makan sendiri atau ku suapi lagi seperti di rumah sakit? Badanmu sudah sekurus itu. Kalau tambah kurus lagi, tengkorak pun akan jadi lebih menarik untuk dilihat dibanding kamu."
Anjani lagi-lagi terkejut. Sepertinya, Enzo terlalu kurang kerjaan sampai-sampai mengurusi Anjani hampir seharian penuh.
Sementara, Anushka yang duduk di seberang mereka tampak senyum-senyum sendiri. Sahabatnya yang diperhatikan, tapi dia yang merasa berbunga-bunga dalam hatinya.
"Saya akan makan sendiri," jawab Anjani.
"Kalau begitu, habiskan! Aku tidak mau ada sisa sedikitpun."
"Baik," angguk Anjani.
"Anak baik," puji Enzo. Lagi-lagi, dia mengusap puncak kepala Anjani sambil tersenyum kecil.
Di seberang meja, Anushka berusaha sekuat tenaga untuk tidak berteriak kegirangan. Uang jajan dua kali lipat, sepertinya bukan sekadar angan-angan lagi.
Hal itu akan segera terwujud.
"Apa?" tanya Enzo kepada sang keponakan.
Anushka reflek mengulum senyumnya lalu menggeleng cepat.
"Kau juga. Habiskan makananmu!"
"Siap, Om!" jawab Anushka sambil memberi hormat.
"Cih! Dasar anak kecil."
Usai makan malam, ketiganya berkumpul di ruang tamu untuk membicarakan masalah Ibunda Anjani dengan serius.
"Anjani, sepertinya Tante Mariana harus dibawa pergi dari sini."
Anushka membuka pembicaraan terlebih dulu.
"Aku curiga dengan obat yang katanya selalu diminum oleh Tante Mariana. Bagaimana jika seseorang berniat mencelakakan beliau menggunakan obat itu?" lanjut Anushka mengutarakan kecurigaannya.
"Aku juga berpikir seperti itu. Sepertinya, ada orang yang tidak menginginkan Ibumu untuk sembuh," imbuh Enzo.
"Anjani... apa kamu mencurigai seseorang yang kemungkinan jadi dalang dibalik semua ini?" tanya Anushka dengan hati-hati.
Anjani mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Hanya ada satu orang yang bisa berharap sekejam itu. Gundik Papa ku, Sandra."
lanjut lagi Thor 🙏🙏🙏