Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Apakah Mas mencintaiku?
Nara menyesap teh yang telah Dissa buatkan untuknya. Karena hari ini merupakan hari minggu, temannya itu libur bekerja. "Kenapa malah kabur kesini sih? Bukannya hari Minggu itu quality time kalian bertiga?" tanya Dissa tidak habis pikir dengan Nara.
"Aku tidak memiliki pilihan, selain lari dari masalah. Nadya mengumumkan kehamilannya dan Mas Arjuna berniat untuk memeriksakan ke dokter nanti siang. Sudah bisa dipastikan jika keluarga Nadya dan Mama Azni akan datang," keluh Nara dengan tatapan mata yang kosong.
"Ra? Kalau kamu sudah tidak sanggup, mengapa tidak menyerah saja?" Pertanyaan itu membuat Nara terkekeh getir. Tidak semudah itu untuk lepas dari rumah tangganya. Sebagai perempuan yang sedikit paham soal agama, meminta cerai tidak bisa sembarangan.
Selain Arjuna yang tetap menjalankan kewajiban dengan adil, Nara juga masih begitu mencintai suaminya. "Bagaimana? Ada lowongan pekerjaan tidak?" tanya Nara mencoba mengganti topik pembicaraan.
Dissa yang sadar, hanya menghembuskan napasnya kasar. Dia tak ingin memaksa jika Nara masih teguh pada pendiriannya. Karena dibanding dirinya, Nara lebih paham akan hukum yang berlaku.
"Kamu yakin mau kerja?" tanya Dissa untuk yang kesekian kali. Jika dihitung, mungkin susah hampir seribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan.
"Ya kerja yang bisa dilakukan di rumah saja. Kerja online kan sekarang banyak, Dis," jawab Nara kesal sendiri.
Dissa tertawa. "Aku ada sih. Kamu tidak perlu datang setiap hari ke kantor. Paling ketika ada rapat yang membahas hal penting. Tapi, apakah kamu yakin ingin bekerja?"
Nara sampai harus menggertakkan giginya, merasa gemas sendiri karena Dissa seperti meragukan dirinya. "Serius, Dissa. Apa mukaku ini tidak meyakinkan?" tanyanya kesal.
Dissa kembali tertawa. Merasa tak terganggu dengan omelan yang baru saja Nara lontarkan. "Jadi admin sosial media Lambe Turah, mau?" tanya Dissa yang membuat mata Nara seketika melotot. Sampai bola matanya bagai ingin keluar dari tempat.
"Yang benar dong, Dis. Memangnya tidak ada pekerjaan lain?" Nara mengusap wajahnya frustasi. Temannya satu ini memang agak lain.
Tawa Dissa meledak seketika. Sudah dipastikan temannya itu enggan menerima pekerjaan seperti itu. Jelas bukan Passion seorang Inara.
"Ada lagi sih," ucap Dissa ketika telah berhenti tertawa.
"Apa? Jangan aneh-aneh loh," peringat Nara dengan tatapan memicing.
Kali ini Dissa bersungguh-sungguh. Dua hari yang lalu dia baru saja menemukan sebuah info di sebuah akun sosial media milik perusahaan penerbitan.
"Kamu bisa jadi editor kan?" tanya Dissa yang membuat Nara mengangguk seketika.
"Seperti merevisi naskah begitu ya?" tanya Nara memastikan dan Dissa langsung mengangguk.
"Nih. Coba buka akun sosial media dan cari perusahaan penerbitan ini. Nah, di sini ada rules-nya lengkap. Kamu harus baca dulu. Bila cocok, langsung hubungi nomor yang tertera," jelas Dissa seketika membuat wajah Nara tersenyum cerah.
"Wah, ini sangat menarik, Dis. Oke. Aku akan baca peraturannya terlebih dahulu. Terima kasih ya, Dis. Kamu tuh memang terbaik," ucap Nara membuat Dissa memutar bola matanya malas.
Sedangkan di tempat lain, Arjuna dan Nadya sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Arjuna sudah membuat janji dengan dokter spesialis kandungan.
"Mas? Kalau anak kita lahir, kamu mau perempuan atau laki-laki?" tanya Nadya mencoba membangun topik pembicaraan.
Arjuna terkekeh dengan mata yang tetap fokus menatap ruas jalan. "Mau perempuan atau laki-laki bagi aku tidak menjadi masalah. Keduanya sama-sama aku inginkan," jawabnya lembut.
Nadya pun tersenyum lega sambil menatap profil samping Arjuna. Sosok tampan dan gagah penghuni hatinya sejak dahulu, juga cinta pertamanya. Nadya masih tidak percaya jika takdir mengizinkan dirinya untuk bisa memiliki laki-laki tersebut.
Dan yang membuat Nadya bersyukur berkali-kali adalah ketika mengetahui jika di dalam rahimnya terdapat bakal bayi yang selama ini begitu nanti. Bolehkah Nadya bangga pada dirinya sendiri karena Nara belum bisa memberikan anak untuk Arjuna?
"Nad?" panggil Arjuna berhasil membuyarkan lamunan Nadya.
"Iya, Mas. Kenapa?" jawabnya memalingkan muka malu ketika melihat jika mata suaminya sedang tertuju kepadanya. Nadya sampai tidak sadar jika traffic light sedang menyala merah dan mobil berhenti.
"Aku boleh meminta sesuatu padamu tidak?" tanya Arjuna penuh harap dan Nadya mengiyakan begitu saja. Permintaan Arjuna pasti akan selalu Nadya lakukan karena suaminya itu tidak mungkin memiliki niat buruk untuk istri-istrinya.
"Apa? Jika aku sanggup, maka akan aku lakukan," jawab Nadya dengan senang hati.
Belum sempat Arjuna kembali bersuara, lampu telah berganti hijau yang mengharuskan mobil kembali melaju, sebelum kendaraan di belakangnya protes dengan membunyikan klakson.
"Aku ingin kamu memakai kerudung dan menutup aurat. Bisa?" pinta Arjuna yang membuat Nadya pada akhirnya terdiam.
Berhijab? Menutup aurat? Pandangan wanita baik-baik menurut Nadya tidak melulu tentang menutup aurat. Dia memiliki pandangan jika orang yang tidak berhijab kadang sikapnya lebih baik daripada orang yang berhijab.
"Untuk apa, Mas? Bukankah orang berhijab itu belum tentu bersikap baik? Bahkan, aku sering menemui orang-orang bercadar justru melakukan hal yang melanggar norma," tanya Nadya dengan menjelaskan pandangannya tentang hijab.
"Kalau begitu, bukan hijabnya yang salah, melainkan orang yang memakainya. Hijab dan sifat adalah dua hal yang berbeda. Menutup aurat bagi muslimah adalah sebuah kewajiban yang sudah Allah perintahkan. Bukankah akan menjadi sebuah dosa jika kita meninggalkan perintah-Nya?" tanya Arjuna mencoba meyakinkan Nadya agar mu merubah pandangan mengenai hijab.
Melihat Nadya terdiam, Arjuna mengulum senyum. Mungkin, istrinya itu sedang memikirkan maksud dari perkataannya tadi. "Kamu tahu, siapa yang akan menanggung dosa akibat kamu tidak menutup aurat? Aku, ayah kamu, dan saudara laki-laki kamu, Sofyan. Kami ikut menanggung di akhirat kelak bila saat di dunia kamu tidak menutup aurat."
Arjuna kembali bersuara agar keyakinan Nadya semakin kuat. Istrinya itu pasti sedang berpikir keras mengenai ucapannya. "Apa kamu tidak kasihan—"
"Oke. Aku akan tutup aurat dan mulai mengenakan kerudung, Mas. Sudah. Jangan katakan itu lagi. Aku takut jika seandainya hal itu terjadi. Aku tidak sanggup membayangkan Mas, Ayah, dan Sofyan berada di neraka karena ulahku," sela Nadya ketakutan sendiri.
Arjuna tersenyum lebar. "Nanti kita beli kerudungnya setelah selesai ke dokter ya?" ucap Arjuna yang membuat bibir Nadya mencebik kesal.
"Harus hari ini ya, Mas? Tidak bisa ditunda seminggu lagi?" tanya Nadya dengan bibir yang mengerucut.
"Tidak masalah jika kamu ingin minggu depan. Hanya saja, dalam satu minggu itu kamu akan memberiku dosa karena tak menutup aurat. Aku yang bertanggung jawab dan menanggung hukuman dari Allah. Jika benar itu yang akan kamu lakukan, sungguh kamu adalah istri yang tega," jawab Arjuna dramatis.
Helaan napas kasar pun terdengar. "Ya sudah. Habis kerudungnya di beli, aku akan langsung mengenakannya," jawab Nadya pada akhirnya.
Walau Arjuna tahu jika Nadya tampak terpaksa, itu lebih baik daripada tidak mengenakan hijab sama sekali. Ibarat kata, lebih baik dipaksa untuk masuk surga daripada dengan sukarela masuk neraka.
"Bagus. Berarti kamu masih sayang aku, ayah dan Sofyan," ucap Arjuna lalu kembali fokus menyetir.
Nadya terdiam lalu duduk menyerong demi bisa menatap wajah Arjuna dengan serius. "Lalu, apakah Mas sayang aku juga?" tanya Nadya dan Arjuna membenarkan.
"Sayang dong."
"Kalau cinta? Apa Mas juga mencintaiku?"
Pertanyaan itu membuat Arjuna membeku. Beruntung, mobil telah memasuki area rumah sakit dan berhenti di tempat parkir yang masih kosong.
"Jawab, Mas," kejar Nadya menuntut jawaban.
"Kita harus segera turun. Jam giliranmu sudah hampir tiba," ucap Arjuna mengalihkan topik pembicaraan dan memilih keluar lebih dulu dari mobil.