Ceritanya berkisar pada dua sahabat, Amara dan Diana, yang sudah lama bersahabat sejak masa sekolah. Mereka berbagi segala hal, mulai dari kebahagiaan hingga kesedihan. Namun, semuanya berubah ketika Amara menikah dengan seorang pria kaya dan tampan bernama Rafael. Diana yang semula sangat mendukung pernikahan sahabatnya, diam-diam mulai merasa cemburu terhadap kebahagiaan Amara. Ia merasa hidupnya mulai terlambat, tidak ada pria yang menarik, dan banyak keinginannya yang belum tercapai.
Tanpa diketahui Amara, Diana mulai mendekati Rafael secara diam-diam, mencari celah untuk memanfaatkan kedekatannya dengan suami sahabatnya. Seiring berjalannya waktu, persahabatan mereka mulai retak. Amara, yang semula tidak pernah merasa khawatir dengan Diana, mulai merasakan ada yang aneh dengan tingkah sahabatnya. Ternyata, di balik kebaikan dan dukungan Diana, ada keinginan untuk merebut Rafael dari Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Rafael baru saja pulang lebih awal dari pekerjaannya, harapannya untuk menikmati waktu yang tenang di rumah kini terkubur begitu saja. Begitu masuk ke dalam rumah, ia terkejut melihat kekacauan yang terjadi. Piring-piring berserakan di lantai, beberapa benda terjatuh dan rusak, mencerminkan amarah yang tak terkontrol. Dan di tengah semua itu, ia melihat Diana, duduk di lantai dengan wajah penuh air mata, tubuhnya terbungkuk, menangis tersedu-sedu.
Rafael terdiam sejenak di pintu, matanya tertuju pada sosok istrinya yang sedang terpuruk. Ada rasa iba yang muncul dalam dirinya, namun di sisi lain, rasa kecewa dan amarah yang sudah lama tertanam membuatnya berpikir dua kali. Diana, yang selama ini ia perjuangkan, kini tidak lagi sama. Rasa kecewa yang menguasainya membuat Rafael tak bisa lagi melihat Diana dengan cara yang sama seperti dulu.
Dia berjalan perlahan menuju Diana, namun langkahnya terasa berat. Perasaan campur aduk antara iba, kecewa, dan kebingungan memenuhi dirinya. "Diana..." suaranya pelan, namun cukup untuk menarik perhatian wanita itu.
Diana mengangkat wajahnya yang basah, mata merah dan sembab. "Rafa...," suara Diana terdengar penuh sesak, seperti menahan semua perasaan yang bertumpuk. "Aku... aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Semua terasa salah."
Rafael berdiri di depan Diana, tatapannya kosong dan terpisah. Ia ingin berbicara, ingin melepaskan semua kekesalannya, tetapi entah kenapa mulutnya terasa kaku. Ada perasaan malu yang datang begitu saja, terutama memikirkan keluarganya, yang pasti sudah tahu tentang keretakan rumah tangga mereka.
"Diana, aku..." Rafael memulai, namun kata-katanya terhenti. Ia menghela napas berat. "Aku sudah terlalu kecewa denganmu. Semua yang kamu lakukan, semua yang terjadi antara kita, itu sudah sangat melelahkan."
Diana menatapnya dengan mata penuh harapan, meskipun ada rasa takut yang jelas terlihat. "Aku tahu... aku tahu aku banyak salah, Rafa. Tapi, aku tidak bisa hidup seperti ini. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu," kata Diana, suaranya terputus-putus.
Rafael menundukkan kepala, berusaha menahan perasaan yang semakin membingungkan dirinya. Ada bagian dari dirinya yang masih ingin melindungi Diana, meskipun semua yang terjadi telah mengubah perasaannya. Tapi di sisi lain, dia merasa malu, terhina, dan lelah. "Aku... aku sudah sangat kecewa, Diana. Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu begitu saja. Aku tidak tahu harus bagaimana."
Diana terisak, tangisnya semakin keras. "Jangan tinggalkan aku, Rafa. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu."
Rafael merasa terjebak. Meskipun rasa kecewa dan marahnya begitu dalam, ada juga rasa tanggung jawab yang tidak bisa dia buang begitu saja. Dia terlalu malu untuk meninggalkan Diana, terutama di hadapan keluarganya. Rasa cemas tentang bagaimana orang lain akan memandangnya, membuatnya memilih untuk tetap tinggal, meskipun hatinya sudah tidak seutuh itu lagi.
"Ini bukan tentang kita, Diana," kata Rafael dengan suara yang lebih rendah. "Ini tentang apa yang kita lakukan dengan hidup kita. Aku... aku tidak tahu apakah aku bisa memperbaiki semuanya, tapi aku tidak bisa pergi begitu saja sekarang."
Diana menggenggam tangan Rafael dengan penuh harapan, namun Rafael merasa kosong. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi dia merasa semakin terperangkap dalam pernikahannya yang semakin rapuh.
Rafael berdiri diam di sana sejenak, menatap Diana yang masih terisak, sementara pikirannya berputar cepat. Ia merasa lelah dengan segalanya—dengan Diana, dengan pernikahannya, dan dengan dirinya sendiri. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia meraih ponselnya dan tanpa basa-basi, langsung menelpon seseorang.
"Ambil semuanya," kata Rafael tegas di ujung telepon, suaranya datar dan penuh tekanan. "Segera bersihkan kekacauan ini. Jangan biarkan ada yang tertinggal."
Setelah berbicara, Rafael menutup teleponnya dan melangkah ke ruang tamu, berusaha menghindari tatapan Diana yang penuh harap. Dalam dirinya, ada perasaan kosong yang semakin menebal. Semua yang terjadi begitu cepat, dan kini ia hanya merasa terperangkap dalam situasi yang ia buat sendiri.
Diana yang melihat reaksinya hanya bisa memandang dengan kebingungan. "Rafa, siapa yang kamu hubungi? Apa... apa yang sedang kamu rencanakan?"
Rafael tidak menjawab. Dia tidak ingin menjelaskan apapun. Hatinya sudah terlalu lelah untuk berdebat. Sementara Diana duduk mematung, perasaan cemas yang sudah mendera begitu lama mulai semakin menghantuinya.
Sekitar setengah jam kemudian, beberapa orang yang dihubungi Rafael datang ke rumah mereka. Mereka mulai membersihkan kekacauan yang ada di sekitar rumah, mengangkat barang-barang yang terjatuh, dan merapikan segala sesuatu yang berantakan. Rafael hanya berdiri di sana, menyaksikan dengan kosong.
Diana masih duduk di sudut ruangan, matanya menatap ke lantai, tidak tahu harus berbuat apa. Dia merasa semakin terasing, semakin merasa tidak memiliki tempat di rumah ini. Apa yang telah terjadi pada pernikahannya? Semua seakan runtuh begitu saja, dan Rafael, yang dulu penuh kasih sayang, kini semakin menjauh.
Diana menggigit bibirnya, menahan tangis yang hampir keluar lagi. "Rafa, kenapa kita jadi seperti ini?" tanyanya dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Apa salahku sampai semuanya jadi kacau begini?"
Rafael tidak menjawab. Ia hanya melangkah menuju pintu dan membuka kunci pintu utama. Setelah beberapa saat, dia kembali ke dalam rumah dan berdiri di depan Diana, tanpa berkata apa-apa lagi. Hanya ada kebisuan yang melingkupi mereka berdua.
Seiring berjalannya waktu, hubungan Amara dan Ferdi semakin dekat. Mereka mulai menghabiskan waktu lebih banyak bersama, berkomunikasi dengan lebih terbuka, dan mendalami satu sama lain. Amara merasa bahagia melihat Ferdi semakin nyaman di sisinya, walaupun perjalanan mereka tidak mudah. Namun, jauh di dalam hati Amara, ada rasa lega karena kini dia bisa merasakan kembali cinta yang sejati, yang selama ini hilang akibat pengkhianatan.
Di sisi lain, Liana mulai menyadari bahwa hidupnya tidak bisa terus-terusan berputar di sekitar keinginan untuk memiliki seseorang yang tidak ingin dimilikinya. Selama ini, dia merasa terjebak dalam perasaan terhadap Ferdi, yang awalnya dia kira bisa menjadi pengganti Rafael. Namun, semakin dia berusaha untuk mendekati Ferdi, semakin ia menyadari betapa sulitnya membuat seseorang jatuh cinta jika hatinya tidak terbuka untuk itu.
Liana mengingat kembali ketika Ferdi pertama kali mendekatinya, atas perintah Amara. Waktu itu, Liana merasa tersanjung, namun juga bingung karena Ferdi tampak ragu-ragu, seolah hatinya tidak benar-benar ingin terbuka untuknya. Ferdi, yang selama ini fokus pada Amara, tidak bisa sepenuhnya membuka diri kepada Liana. Meskipun Liana sudah mencoba untuk memahami, dia merasa semakin jelas bahwa Ferdi hanya menghormati dirinya sebagai teman dan bukan sebagai kekasih.
"Jadi ini yang disebut cinta sejati, ya?" Liana berpikir dalam hati. "Cinta tidak bisa dipaksakan. Jika hati seseorang tidak terbuka, tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mengubahnya."
Seiring waktu, Liana mulai menerima kenyataan tersebut. Dia tidak ingin lagi memaksakan diri untuk menjadi bagian dari kehidupan Ferdi. Liana akhirnya memutuskan untuk melepaskan perasaan yang sempat ia pendam. Dia tahu bahwa dirinya pantas untuk dicintai dengan tulus, dan jika itu bukan Ferdi, maka dia harus siap untuk melanjutkan hidupnya.
Di sisi lain, Ferdi pun mulai melihat betapa besar perubahan yang terjadi pada Liana. Dia mengagumi cara Liana menerima kenyataan dan bagaimana Liana mulai bergerak maju. Ferdi menyadari, bahwa meskipun ia hanya bisa mencintai Amara, Liana tetap menjadi teman yang sangat berarti bagi dirinya. Mereka berdua belajar bahwa hidup tidak selalu tentang mendapatkan apa yang kita inginkan, tetapi juga tentang memahami dan menerima bahwa terkadang kita harus melepaskan.