"Kalau kamu tetap enggak izinin aku menikah lagi, ... aku talak kamu. Kita benar-benar cerai!"
Dwi Arum Safitri atau yang akrab dipanggil Arum, terdiam membeku. Wanita berusia tiga puluh tahun itu benar-benar sulit untuk percaya, Angga sang suami tega mengatakan kalimat tersebut padahal tiga hari lalu, Arum telah bertaruh nyawa untuk melahirkan putra pertama mereka.
Lima tahun mengabdi menjadi istri, menantu, sekaligus ipar yang pontang-panting mengurus keluarga sang suami. Arum bahkan menjadi tulang punggung keluarga besar sang suami tak ubahnya sapi perah hingga Arum mengalami keguguran sebanyak tiga kali. Namun pada kenyataannya, selain tetap dianggap sebagai parasit rumah tangga hanya karena sejak menikah dengan Arum, pendapatan sekaligus perhatian Angga harus dibagi kepada Arum hingga keluarga Angga yang biasa mendapat jatah utuh menjadi murka, kini Arum juga dipaksa menerima pernikahan Angga.
Angga harus menikahi Septi, kekasih Andika-adik Angga yang memilih minggat setelah menghamili. Yang mana, ternyata Septi mau dinikahi Angga karena wanita muda itu juga mencintai Angga.
Lantas, salahkah Arum jika dirinya menolak dimadu? Dosakah wanita itu karena menjadikan perceraian sebagai akhir dari pengabdian sekaligus kisah mereka? Juga, mampukah Arum membuktikan dirinya bisa bahagia bahkan sukses bersama bayi merah tak berdosa yang telah Angga dan keluarganya buang hanya karena ia tetap memilih perceraian?
🌿🌿🌿
Follow Instagram aku di : @Rositi92
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27 : Kalandra yang Mencurigakan
“Memangnya Mas enggak mencium bau busuk?” Arum masih bertanya dengan sangat hati-hati karena biar bagaimanapun, apa yang ia tanyakan terbilang sensitif. Jangan sampai, hanya karena rasa ingin tahunya tapi itu merupakan bagian dari kepeduliannya kepada Kalandra, hubungan mereka malah hancur.
Walau tampak akan mengelak, Arum merasa seorang Kalandra menjadi gelisah akibat pertanyaannya. Seolah memang ada yang sengaja pria itu coba sembunyikan.
“Bau busuk bagaimana, sih, Mbak Arum?” Kalandra menatap Arum dengan tatapan frustrasi.
Arum sulit mengartikan tatapan pria di hadapannya, tapi ia melihat luka yang begitu besar dan tengah Kalandra sembunyikan. Terlebih, Kalandra sudah langsung gelisah.
“Mas Kalandra, sehat?” Karena terakhir kali, Kalandra Arum ketahu mengonsumsi obat masuk angin. Bahkan Arum yang membuatkannya dengan teh manis hangat. Kini, pria di hadapannya mengangguk, anggukan yang sangat kaku dan malah membuat Arum ragu. Arum meragukan jawaban Kalandra. Pria itu seolah tidak mau diusik urusan pribadinya bahkan sekadar urusan kesehatan. Kalandra terlihat jelas hanya ingin membahas kerja sama mereka saja tanpa hal lain.
“Saya memang sedang agak flu, dan penciuman saya sudah mulai terganggu, Mbak.” Kalandra bertutur penuh pengertian, berusaha meyakinkan. Dari cara Arum bertanya, ia sadar wanita itu sedang mencoba mencari informasi darinya. “Tapi harusnya bukan covid, sih, Mbak. Namun memang udah enggak jelas ke bau-bau.”
Duh, kalau aku tetap memaksa, kesannya aku keterlaluan banget, batin Arum.
“Memangnya bau busuk bagaimana, sih, Mbak? Kok Mbak seserius itu?” lanjut Kalandra lantaran diamnya Arum juga disertai kegelisahan. Wanita itu tampak serba salah sekaligus tak enak hati kepadanya.
Arum menghela napas pelan. “Itu ... duh saya jadi enggak enak bilangnya, Mas.”
“Ya sudah, Mbak, katakan saja, enggak apa-apa kok. Posisinya kan hidung saya lagi gangguan.” Kalandra meyakinkan.
“Iya, Mas. Maaf banget pokoknya, daripada ... duh, ....”
“Iya, Mbak, enggak apa-apa, katakan saja.” Kalandra masih meyakinkan. Ia sampai tersenyum meski senyum yang ia hasilkan jauh dari bahagia apalagi hangat.
“Busuk kayak ....” Arum terdiam sejenak. Berat rasanya untuk melanjutkan. “Bang ... kai, Mas.” Ia tak berniat menceritakan kasus Aidan yang juga menjadi bau busuk setelah keluar dari rumah Kalandra. Arum takut Kalandra makin tertekan. Iya, pria itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda tersinggung, tapi cenderung sedih sekaligus tertekan.
“B-bangkai, Mbak?”
Setelah sempat diam kebingungan, Kalandra juga mendadak syok tapi Arum merasa pria itu hanya sedang pura-pura. Tentunya akan salah jika Arum terus memaksa pria itu untuk cerita.
Kayaknya memang harus pelan-pelan. Tapi kok Mas Kala juga sampai bau busuk, ya? Sumbernya memang Mas Kala, apa memang ada di dalam rumah dan masih bersinggungan dengan Mas kala? Pikir Arum yang kembali tersenyum masam di tengah kenyataannya yang masih menatap Kalandra. Pria itu mengabsen pakaiannya, seolah sedang berusaha mencari sumber bau busuk yang dimaksud.
Bersamaan dengan itu, sebenarnya Arum juga mengamati. Karena jika ia melihat dari penampilan Kalandra yang kali ini memakai kemeja lengan panjang slimfit warna abu-abu, semuanya memang tampak baik-baik saja. Namun, ... bagian dada sebelah kiri dan juga lengan kiri bagian dalam Kalandra, seolah dihiasi bekas noda yang sudah meresap. Iya, meski kemeja lengan panjang Kalandra berwarna abu-abu, mata Arum yang masih bekerja dengan baik bisa menemukan perbedaannya.
Bergegas Arum berdiri menghampiri Kalandra. Ia mendekati bagian yang ia curigai dan benar saja, ia sampai nyaris muntah. Kendati demikian, ia tetap menunjuk bagian yang ia curigai.
“Hah ...?” Kalandra makin kebingungan.
“Baunya dari situ, Mas.” Arum meyakinkan karena jika dilihat dari dekat, bekas terbilang luas, seolah Kalandra telah mendekapnya, terlihat sangat jelas.
“Oh ... ah, ... ini ... ya ampun saya lupa kalau tadi pagi, kucing istri saya meninggal dan pas saya temukan sudah jadi bangkai, Mbak. Tadi saya refleks gendong kucingnya karena istri saya histeris banget pas tahu kucing kesayangannya meninggal. Duh, efek lupa dan hidung juga gangguan, saya sampai enggak sadar.” Kalandra benar-benar gugup, tapi ia sengaja langsung pamit untuk ganti pakaian terlebih dulu. Ia memberitahu Arum bahwa dirinya memiliki pakaian ganti di bagasi mobilnya.
Kenapa mas Kala sampai sibuk menjelaskan jika semuanya memang baik-baik saja? Jika aroma bangkaii itu memang dari kucing istrinya yang meninggal, kenapa mas Kala harus segugup, bahkan sepanik itu? Dan jika itu memang bau busukk dari bangkaii kucing, kasus bau busukk Aidan semalam, kenapa? Masa iya karena kucing juga? Termasuk mengenai kepekaan sekaligus kepedulian istri Mas Kala, ... masa iya seorang istri, enggak mengoreksi penampilan suaminya yang mau pergi padahal mereka ada di tempat yang sama? Pikir Arum sambil melepas kepergian Kalandra. Pria itu meninggalkannya dengan sangat tergesa-gesa hingga ia makin curiga.
“Coba nanti gimana. Kalau mas Kala sampai bau busuk lagi setelah mas Kala dari rumah, berarti masalahnya ada di rumah. Namun jika mas Kala tetap bau walau mas Kala belum ke rumah, berarti masalahnya ada di mas Kala. Soalnya alasan yang mas Kala berikan tadi menurutku kurang masuk akal,” pikir Arum yang berniat akan melakukan penyelidikan andai ia sampai mampir ke rumah Kalandra lagi. Terlepas dari semua kecurigaan Arum, wanita itu berharap semuanya baik-baik. Tapi kok aku jadi penasaran ke istrinya mas Kala, ya? Arum mendadak merenung sejenak. Seorang suami sampai menangis karena istrinya susah makan, sementara saat aku ke sana kemarin malam dan Aidan sampai dibawa menemui istrinya, ... bukannya aku bertemu istrinya, yang ada malah Aidan bau busuk. Atau jangan-jangan, istrinya mas Kala sakit makanya enggak bisa keluar buat menemui aku, ya? Secara, mas Kala saja seakrab itu orangnya, masa iya istrinya yang aku masakin tetap enggak ada niat buat menemui aku? Atau jangan-jangan malah, sakitnya istrinya mas Kala, yang menjadi sumber bau busuk? Arum makin sibuk bertanya-tanya, dan perkiraannya sumber busuknya ada di Kalandra terpatahkan lantaran setelah ganti pakaian, siang menuju sore, Kalandra yang kembali, baik-baik saja. Pria itu tak lagi bau busuk. Sama persis dengan kejadian yang menimpa Aidan. Aidan kembali wangi dan tak bau busukk lagi setelah Arum bersihkan.
“Orang tua Septi mau menebus Angga karena bagi mereka, ulah Angga masih bisa dimaafkan dengan jaminan. Mereka akan memastikan Angga enggak lepas tangan ke Aidan.” Kalandra bertutur serius terbilang kesal.
Arum yang masih sibuk masak langsung bengong sekaligus lemes. “Dia mau langsung dinikahkan sama Septi, ya? Ibaratnya, alasan orang tua Septi menebus ini itu asal Angga bebas karena mereka ingin Angga menikahi Septi secepatnya?”
“Mbak Arum enggak usah takut karena kalau Mbak memang mau, meski paling hanya beberapa bulan kurungan, saranku maju saja biar mereka kapok.” Kalandra meyakinkan.
“Tapi kok, hukumnya terkesan jadi bisa dibeli sih, Mas?” keluh Arum yang jujur saja kecewa meski ia memang sudah mendapatkan uang tiga puluh jutanya. Kalandra sudah memberikan uangnya kepadanya dan tinggal dihitung saja.
“Itu masuk semacam mediasi, Mbak. Kalau Mbak mau lanjut ya lanjut naik ke sidang. Namun kalau Mbak milih dikasih ganti rugi, ya kasus ditutup dan Mbak sudah enggak bisa nuntun lagi.”
Arum tak langsung menjawab, tapi ia ingat pengakuan Supri mengenai Septi. “Sebenarnya saya curiga kalau anak Septi malah anaknya si Supri, Mas. Saya tahu Angga mungkin tak peduli, tapi apakah fakta itu anak Supri bisa membuat perubahan berarti?”
“Itu hanya akan menjadi urusan mereka yang menjalani, Mbak. Soalnya melihat dari kasus Mbak, mantan suami Mbak bukan tipikal yang akan peduli ke hal yang lain selain ke keluarganya. Bisa jadi, demi keutuhan rumah tangga si mbaknya, dia tetap bersedia menikahi Septi. Sementara kepada Aidan, saya sangat yakin dia tetap enggak peduli walau mungkin nanti akan ada surat perjanjian dia wajib kasih nafkah ke Aidan. Jadi saran saya, biar tuh pria jera, meski hanya beberapa bulan, lanjut penjarakan saja. Agar Septi dan keluarganya juga kapok sudah membenarkan zina!” sergah Kalandra.
“Ya sudah, Mas. Begitu saja. Dilanjut saja.“ Arum mantap dengan keputusannya. Karena baik Angga maupun Septi malah seolah sengaja mengajak perang.
Aq padamu /Kiss/