Menanti Cahaya Diujung Kesedihan

Mentari pagi yang cerah menerangi seluruh penjuru, seakan-akan memberi semangat baru dan menyulut api semangat yang tak tertandingi. Cahaya matahari yang menembus celah daun, membuat setiap dedaunan tampak berkilau, membawa harapan baru bagi hari yang baru saja dimulai.

" "Ma, Pa, Abi berangkat dulu ya," ucap seorang dokter tampan dengan suara lembut. Melihat itu kedua pasutri tersebut merasa bangga dengan putra satu-satunya dan kini sudah berhasil meraih kesuksesannya.

Abrisam menyalami tangan keduanya dengan rasa hormat, memandangi mata mereka yang penuh kebanggaan dan cinta. Ia bisa rasakan getaran emosional saat menatap mata mereka. Tak lupa, ia mencium pipi sang ibu dengan penuh kasih sayang.

" Jangan lupa makan ya sayang," ucap mama Rani mengingatkan sang putra.

Abrisam mengangguk tak lupa memberi senyuman hangat pada ke-duanya.

" Tentu saja, Ma. Jangan khawatir, Abi pasti jaga kesehatan kok." ucapnya meyakinkan.

" "Sepertinya Papa juga harus pergi, ya, Ma," ucap suami Rani, sedikit cemas melihat putranya yang baru saja meninggalkan halaman rumah. Sementara itu, Rani tersenyum menatap suaminya yang kini bergegas mempersiapkan diri dan mengucapkan, "Hati-hati, Pa, semoga semua lancar." Setelah suaminya pergi, Rani duduk sebentar di teras rumah, berharap bahwa suaminya dan putranya akan selalu diberkahi dan dilindungi.

"Mudah-mudahan hari ini Abi ketemu Hana, langsung putuskan kapan nikahannya, ya," ucapnya dengan semangat, tidak sabar menunggu kabar gembira.

"Aduh, saya sudah tak tahan pengen gendong cucu," lanjutnya sambil tersenyum lebar, lalu melangkah masuk ke dalam rumah.

Bibi tersenyum tipis melihat sang majikan tampak bahagia. Namun, ia terkadang merasa kasihan karena harapan Mama Rani sangat besar agar Nona Hana menjadi menantunya, demi bisnis kedua belah pihak. Namun, hingga kini ada yang mengganjal dalam benaknya, Den Abrisam masih belum menetapkan tanggal pernikahan dengan Hana. Alasan di balik semua ini masih menjadi misteri yang tak diketahui siapa pun.

" Bi, tolong bantu saya buat kue kesukaan Abi ya." titahnya.

" Baik, Nyonya." sahut sang pembantu dengan sopan.

Mama Rani tampak bersemangat pagi ini, ia ingin membuat kue kesukaan putranya. Entah apa yang membuatnya begitu bahagia, tapi wajahnya berseri-seri. Mungkin ia merasa lega karena akhir-akhir ini hubungan antara dirinya dan sang putra semakin baik.

"Hari ini saya mau buatkan kue kesukaan Abi, Bi," ucapnya sambil tersenyum kepada pembantunya.

"Apa ada hal khusus yang ingin Nyonya rayakan?" tanya pembantu dengan antusias. "Ah, Bi, tidak ada yang khusus," jawab Mama Rani dengan tulus.

"Hanya ingin melihat mereka bahagia, rasanya itu sudah cukup. Selain itu, bukankah melihat Abi tersenyum adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bagi kita semua?" sambungnya dengan cinta. Memang, tidak ada yang lebih penting bagi Mama Rani daripada kebahagiaan keluarganya. Itulah yang selalu ia pikirkan dan usahakan setiap hari.

"Den Abi pasti senang banget, Nyonya," sahut pembantu yang terharu. "Terima kasih sudah menjadi contoh yang baik bagi kami." Mama Rani merasa terharu dan berbagi rasa kebahagiaan dengan pembantunya. Saat itu, ia bersyukur karena memiliki keluarga yang harmonis dan kebahagiaan kecil yang bisa dinikmati bersama. Mereka, bukan hanya keluarga, tetapi juga teman dan sahabat yang saling membantu dan menguatkan satu sama lain. Momen-momen seperti ini akan selalu ia jaga dan kenang. Ia bertekad untuk terus menciptakan kebahagiaan dan kedamaian dalam keluarganya, demi masa depan yang lebih cerah dan penuh cinta.