Kesempatan kembali ke masa lalu membuat Reina ingin mengubah masa depannya yang menyedihkan.
Banyak hal baru yang berubah, hingga membuatnya merasakan hal tak terduga.
Mampukah Reina lari dari kematiannya lagi atau takdir menyedihkan itu tetap akan terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak mau kalah
Reina tak menyangka, ternyata dia disambut hangat oleh bos serta ketiga rekan kerja lainnya.
"Maaf Rei, karena kamu yang benar-benar tak memiliki kegiatan lain, oleh sebab itu kamu yang masuk pagi terus ngga papa 'kan?" tanya Elke.
Reina mengangguk patuh, "Siap bos!"
Maira dan rekannya yang bernama Riko memang berkuliah, oleh sebab itu mereka memiliki shift bergantian.
Beruntung tempat kuliah mereka sama dan letaknya tak begitu jauh dari kafe. Ada dua lagi karyawan Elke yang tak hadir karena merupakan chef dan pelayan bagian sore hari.
Hari ini, Reina bekerja dengan Maira selama seminggu kedepan dan setelahnya Maira akan bergantian tugas dengan Riko.
Beruntung Reina cukup cekatan hingga bisa belajar dengan cepat. Hari ini Kafe juga tampak Ramai karena kedatangan para calon mahasiswa baru.
Kafe milik Elke memang berada di daerah perkantoran dan perkampusan, sehingga kebanyakan pengunjungnya adalah orang-orang itu.
Maira mendatangi meja kasir setelah berhasil membersihkan meja terkahir yang ditinggalkan pelanggan.
Tak ada kasir atau pelayan, Maira dan Reina bekerja bergantian sebagai keduanya.
"Astaga, kamu emang pembawa berkah, Nona Elke pasti senang sekali pas closing nanti!" seru Maira sembari mendudukan dirinya sambil bersandar pada meja kasir.
Reina terkekeh. "Memang biasanya ngga serame ini?"
Maira yang sedang meneguk minumannya menggeleng, "Mungkin karena banyak para calon mahasiswa baru tadi kali ya?"
Reina tersenyum dan mengangguk, dia kembali melayani seorang pelanggan. Saat Maira hendak bangkit, dia melarang gadis itu dan membiarkannya istirahat sejenak.
"Sebaiknya kamu makan dulu Mai, bukannya kamu juga harus ke kampus nanti?"
"Ah belum aku mah, udah lihat di hp aja pengumumannya, buat apa ke kampus!"
Saat mereka tengah berbincang, tiba-tiba Elke turun dengan wajah berbinar.
"Kita dapat orderan kue di kampus kamu Mai!"
Kedua gadis itu lantas saling melempar pandangan.
"Benarkah? Berapa banyak Nona?"
"Kita diminta buka stand di sana buat jamuan para mahasiwa baru. Aku udah siapin menunya. Karena mereka pesan bukan hanya kue sekaligus minuman, cuma—"
"Apa Non?"
"Siapa yang mau jaga di sana? Kamu mau Rei? Maira sama Riko pasti ada di sana sebagai mahasiswa, mungkin kamu sama Tita yang bisa."
"Baik Non, lalu siapa yang akan jaga kafe?"
"Ah gampang itu mah. Aku juga bisa turun sendiri kok!"
"Tuh 'kan Rei, kamu memang benar-benar membawa keberuntungan!" seru Maira lagi.
"Besok kamu harus datang lebih pagi bantuin aku sama Chef buat persiapan bisa?"
"Jam berapa Non?"
Elke tampak berpikir, lalu "Sekitar jam 6 pagi bisa?"
Reina terdiam, dia ingin berkata jika ia bisa saja ke kafe pagi hari. Hanya saja, kendaraan umum yang lewat di jalan sekirar perumahannya baru beroperasi sekitar pukul tujuh pagi.
"Kenapa? Kamu ngga bisa?" cecar Elke yang melihat keraguan Reina.
"Bisa Nona Elke, tenang saja." Reina memutuskan akan mengayuh sepedanya hingga ke kafe. Dia akan berangkat lebih pagi dari pada harus mengecewakan Elke.
"Kamu mau naik apa? Angkutan umum belum beroperasi di jalan rumahmu jam segitu," sela Maira seakan tahu kegusaran temannya.
"Dari tadi kamu kelihatan bingung karena kendaraan? Astaga, kenapa ngga bilang!" seru Elke yang merasa tak cepat tanggap karena masalah karyawannya.
"Maaf Nona Elke tapi tenang saja, aku bisa kok kayuh sepeda ke sini!"
"Apa? Gila kamu, yang ada kamu bisa kecapaian pas sampe," pekik Maira. Jelas Maira tahu seberapa jauh kompleks perumahan Reina sampai ke kafe ini.
Jika dilaju menggunakan kendaraan roda dua saja bisa menghabiskan waktu kurang lebih empat puluh lima menit. Ia tak bisa membayangkan akan selama apa waktu yang Reina butuhkan untuk sampai ke kafe menggunakan sepedanya.
Elke sendiri tak tahu tempat tinggal Reina, saat menerima Reina, dia tak memperhatikan resume gadis itu.
"Apa jauh banget Mai?" tanyanya pada Maira yang pasti tahu tempat tinggal gadis itu.
"Jauh Non. Kalau pakai motor bisa empat puluh lima menit sampai satu jam. Kalau pakai mobil yang setengah jam mungkin."
"Ya ampun jauh juga ya. Emmm ... Kamu bisa mengendarai motor?" Reina membalas dengan anggukan.
"Kalau gitu kamu naik motor milik kafe aja gimana?"
"Terima kasih Nona, aku janji akan mengendarainya dengan hati-hati."
"Tapi dia ngga punya sim Nona," sela Maira khawatir.
Dia yakin Reina pasti tak memiliki surat izin itu. Dia bahkan heran saat mendengar Reina bisa mengendarai motor sebab yang dia tahu gadis itu jika tidak datang bersama kedua sahabatnya atau Edwin yang mengendarai mobil, Reina akan datang dengan bus sekolah.
Di masa lalu, semua yang Maira pikirkan memang benar. Namun setelah menikah dengan Edwin, kehidupannya berubah sangat jauh.
Edwin tak pernah lagi memperhatikannya dan tak membiarkannya naik ke mobil lelaki itu. Keluarga Edwin pun sama saja.
Reina bahkan masih ingat saat pertama kali belajar mengendarai motor dia bahkan terjatuh hingga menyebabkan tulang siku tangannya bergeser.
Jangan tanya bagaimana sakitnya. Bahkan tak peduli tangannya yang masih terluka, Nessa tetap saja memintanya melakukan pekerjaan rumah.
Setelah sehat, Edwin kembali memintanya belajar mengendarai motor lagi, meski saat itu Reina masih merasa trauma.
Namun saat ini dia bersyukur, setidaknya berkat latihan keras yang Edwin lakukan, dia bisa mengendarai motor meski tidak dengan mobil.
"Kamu yakin bisa mengendarai motor Rei?"
"Nona bisa menguji saya saat ini juga kalau tidak yakin," jawab Reina mantap.
"Baiklah, bukan karena aku takut kamu merusak motorku. Aku hanya takut kamu kenapa-napa saja."
"Nanti kalau kamu memang bisa, kita akan mengurus surat izin mengendaramu ok?"
"Benarkah Nona?" tanya Reina antusias. Elke tentu saja mengangguk yakin.
.
.
Pulang kerja hari itu juga Reina langsung mengendarai motor fasilitas kafe. Dia terpaksa menitipkan sepedanya ke penitipan lebih lama.
Beruntung pemilik penitipan tak mempermasalahkannya dan juga tak menambah biayanya lagi karena mendengar penjelasan Reina.
Reina membuat Tama terkejut karena pulang mengendarai motor. Di rumah keluarga Angkasa, hanya Vano yang memiliki kendaraan roda dua selain mobil tentu saja.
Akan tetapi, motor yang Vano miliki adalah sebuah motor besar yang harganya setara dengan mobil.
Ayahnya selalu memanjakan mereka dengan barang-barang mewah. Tetapi untuk Reina, jelas pengecualian. Menurut Hendro, Reina cukup dengan sepeda saja, lagi pula ada sopir yang bisa mengantarkan ke mana pun ia pergi jika mau.
Andai bisa semudah itu. Jika sebelum kedatangan Meike ke rumahnya, tentu Reina masih bisa merasakan fasilitas itu, tetapi setelah kedatangan Meike, ia tak pernah membiarkan Reina menikmati fasilitas antar jemput sopir karena semuanya diberikan pada Elyana.
Bukan hanya Tama yang terkejut, bahkan Vano yang datang bersamaan dengan Elyana juga terkejut melihat kedatangannya.
Elyana bergegas turun dari mobil Vano dan menghampiri Reina yang baru saja memarkirkan motornya.
"Sejak kapan ka Reina bisa naik motor?"
Vano ikut bergabung dan penasaran juga dengan jawaban adik bungsunya.
"Tentu saja aku bisa banyak hal—" balas Reina pongah.
Elyana mencebik kesal karena dia tak terima Reina lebih unggul darinya.
Gadis itu lantas menatap Vano dengan tatapan penuh tuduhan.
"Apa kakak yang mengajari Ka Rei? Kakak jahat, kenapa kakak ngga mengajari aku juga!" rengeknya terdengar menyebalkan.
Vano terkejut bukan main karena Elyana langsung menuduhnya begitu saja.
"Astaga, aku bahkan sama terkejutnya sama kamu pas tahu kalau dia bisa naik motor!" balas Vano setengah memekik karena Elyana memukul lengannya bertubi-tubi.
Elyana benar-benar akan menjelma sebagai ibunya di masa depan, bahkan lebih parah. Selain suka playing victim, gadis itu suka sekali berteriak dan menggunakan kekerasan jika sedang kesal.
Elyana benar-benar seperti anak kecil jika sedang marah. Sekarang gadis itu tengah berjongkok karena kesal.
"Sudahlah, kenapa juga kamu harus repot-repot belajar motor? Selain berdebu, panas matahari akan merusak kulit wajahmu yang cantik," bujuk Vano disertai dengan pujian agar Elyana bisa tenang.
Benar saja, narsistik gadis itu sudah tak tertolong. Setelah di puji barulah tangis Elyana berhenti.
"Kakak benar, kenapa juga aku harus panas-panasan naik motor, tapi—"
Gadis itu menggigit bibirnya. Tetap saja di kalahkan oleh Reina membuatnya sangat tak suka.
"Setidaknya aku tetap ingin belajar Ka, siapa tahu saat keadaan terdesak aku bisa mengendarainya."
Elyana memang hidup sangat kekurangan dulu, dia sama seperti Reina hanya bisa mengendarai sepeda.
Tentu saja tersaingi Reina saat ini membuatnya tak senang, dia tak mau Reina mendapatkan pujian atas apa pun.
"Baiklah-baiklah, aku akan bilang ayah supaya mencarikan pelatih agar bisa mengajarimu mengendarai motor, tapi kamu harus bilang sama mamihmu ya."
Tubuh Elyana menegang, jika berkaitan dengan sang ibu, rasa-rasanya, dia tak yakin akan diizinkan.
Padahal dirinya sudah membayangkan bisa mengendarai motor Vano yang besar dan pasti akan terlihat keren seperti gadis-gadis di media sosial yang sering ia lihat.
Sebenarnya sejak dulu dia menginginkan itu, tapi baru sekarang dia memiliki alibi agar keinginannya tercapai. Hanya saja dia harus memiliki alasan kuat agar sang ibu mengizinkan.
.
.
.
Lanjut