Ini bukan tentang harga diri lagi, ini hanya tentang mencintai tanpa dicintai.
Aruna nekat menjebak calon Kakak iparnya di malam sebelum hari pernikahan mereka. Semuanya dia lakukan hanya karena cinta, namun selain itu ada hal yang dia perjuangkan.
Semuanya berhasil, dia bisa menikah dengan pria yang dia inginkan. Namun, sepertinya dia lupa jika Johan sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Yang dia cintai adalah Kakaknya, bukan Aruna. Hal itu yang harus dia ingat, hingga dia hanya mengalami sebuah kehidupan pernikahan yang penuh luka dan siksaan. Dendam yang Johan punya atas pernikahannya yang gagal bersama wanita yang dia cintai, membuat dia melampiaskan semuanya pada Aruna. Perempuan yang menjadi istrinya sekarang.
"Kau hanya masuk dalam pernikahan semu yang akan semakin menyiksamu" -Johan-
"Jika perlu terluka untuk mencintaimu, aku rela" -Aruna-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencintaimu, Aku Rela Terluka
Banyak hal yang Aruna lakukan hari ini, mulai dari bermain beberapa wahana permainan di Taman Hiburan, lalu membeli banyak makanan juga. Tidak ada yang dia larang untuk dimakan hari ini, mulai dari makanan pedas, asam, manis, asin, semuanya dia coba.
Pergi ke Mal, makan siang disana dengan berbagai menu yang belum pernah Aruna coba sebelumnya. Faas juga sedikit bingung, kenapa Aruna bertingkah aneh hari ini.
"Kenapa memesan ini? Bukannya tidak suka?"
"Ingin mencobanya, mungkin aku tidak punya kesempatan untuk mencobanya lagi. Haha. Karena mungkin memang aku tidak suka, tapi penasaran mau mencoba sekali lagi, siapa tahu jadi suka"
Faas hanya menggeleng pelan, merasa heran dengan tingkah adik sepupunya ini. Tapi dia tidak banyak membantah apa yang Aruna inginkan saat ini. Karena yang jelas, dia juga tahu jika Aruna hanya berani meminta padanya. Tidak ada orang lain yang bisa Aruna meminta sesuatu selain pada Faas.
"Sekarang mau kemana?" tanya Faas.
Aruna meminum sisa minumannya, mereka sudah selesai makan. Aruna merogoh tasnya, lalu dia mengeluarkan sebuah amplop surat, menyodorkan pada Faas.
"Ini untuk Kak Faas, tapi jangan dibaca sekarang. Aku minta Kak Faas baca saat akhir bulan ini. Pokoknya jangan sampai membohongi aku, mengintip isinya pun tak boleh. Kalau sampai Kak Faas, melakukannya sebelum akhir bulan ini, maka aku akan sangat marah"
Faas terdiam menatap amplop surat ditangannya. Memang tertulis nama Faas di amplop itu. Beralih menatap Aruna. "Ini isinya apa? Tentang permintaan kamu lagi? Kenapa juga harus pakai surat-suratan kayak gini. Seperti tidak akan bertemu lagi"
Aruna terkekeh pelan, dia menatap Faas dengan lekat. "Pokoknya Kak Faas tidak boleh membukanya sebelum tanggal akhir bulan ini. Nanti Kak Faas akan tahu isinya, kalau itu memang permintaan aku, tolong dituruti ya"
"Ah baiklah, lagian ada-ada aja pake surat segala. Padahal bisa kirim pesan"
"Biarin aja, kan biar seperti jaman dulu. Main surat-suratan. Hehe"
Setelah selesai makan, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Hari juga sudah sore, Aruna begitu bahagia saat ini. Bisa menghabiskan banyak waktu dengan bahagia bersama Faas.
"Yakin tidak mau aku antar pulang?"
"Tidak perlu, aku mau naik taksi saja. Kak Faas hati-hati di jalannya ya, kalau sudah sampai rumah kabari. Salam untuk Bibi dan Paman"
"Iya, kapan-kapan main ke rumah. Mama dan Papa sering menanyakan kamu"
"Iya, kalo ada kesempatan aku akan mampir ya. Aku pergi dulu ya, Kak"
Aruna masuk ke dalam taksi yang sudah berhenti di depannya. Melambaikan tangannya pada Faas dari jendela mobil yang terbuka. Faas juga ikut melambaikan tangan sambil tersenyum.
"Dia kenapa ya? Aku merasa ada yang aneh"
Faas bergumam pelan sebelum dia berlalu ke parkiran untuk mengambil mobilnya. Sikap Aruna hari ini memang cukup membuatnya bingung. Faas merasa aneh pada gadis itu.
Mobil mulai melaju meninggalkan kawasan Mal, Faas menatap amplop surat dari Aruna yang dia letakan di dashboard mobil.
"Sebenarnya surat apa itu ya? Aku penasaran sekali, tapi aku janji tidak akan membukanya sekarang"
*
Aruna menghentikan taksi yang dia tumpangi di depan sebuah kawasan pekaman umum. Melangkah masuk dengan membawa sebuah buket bunga yang dia beli saat di jalan tadi.
Berhenti di depan sebuah pusara, Aruna berjongkok di depan pusara itu. Mengusap batu nisan dengan pelan, lalu menaruh buket bunga di atasnya.
"Aruna datang Bu, maaf karena sudah lama tidak datang. Aruna kangen sama Ibu, pengen ketemu Ibu, peluk Ibu. Dan kenapa Ibu tidak lagi datang ke mimpi Aruna? Padahal Aruna sangat ingin memeluk Ibu, meski hanya dalam mimpi"
Aruna mengusap air matanya dengan kasar, rasanya terlalu merindukan Ibunya yang sudah meninggal sejak 2 tahun lalu. Hanya dia yang bisa mengerti perasaannya.
"Sekarang aku tidak punya siapa-siapa yang bisa benar-benar mengerti aku, Bu. Mungkin ada Kak Faas, tapi dia juga tidak sepenuhnya bisa ada untukku dan mengerti perasaanku"
Banyak sekali Aruna bercerita disana, bahkan dia juga menceritakan tentang Johan. Suaminya yang dia cintai, tapi tidak pernah mencintainya.
"Aku hanya bisa mencintai tanpa dicintai"
Aruna tersenyum lirih, dia kembali mengusap pelan batu nisan itu. "Runa pergi dulu ya Bu, semoga kita bisa segera bertemu"
Aruna kembali ke rumah hampir gelap, ketika dia masuk ke dalam rumah, dia terkejut melihat Johan yang berada di ruang tengah, duduk diam dengan tangan bersidekap dada. Melirik Aruna dengan tajam.
"Hebat sekali, pergi dengan pria lain tanpa memberitahu suamimu? Haha. Bodoh sekali aku karena mempercayai ucapanmu yang ingin merasakan jadi istriku dalam waktu 3 bulan ini. Sementara kau saja bisa memiliki pria lain selain aku, kenapa kau tidak meminta pisah sekarang saja!"
Deg ... Tubuh Aruna membeku, ucapan Johan barusan benar-benar menusuk ke relung hatinya. Bahkan dia tidak menyangka jika Johan akan berkata seperti itu padanya. Padahal Aruna juga hanya pergi dengan Faas, tapi dimana Johan melihatnya pergi dengan Faas? Bagaimana dia bisa tahu?
"Ak-aku-"
Johan berdiri dan berjalan mendekat pada Aruna, membuatnya begitu ketakutan. Bahkan ucapannya pun langsung terhenti, padahal dia berniat untuk menjelaskan semuanya pada Johan.
Johan mengelus pipi Aruna dengan jemarinya, sedikit tersenyum sinis melihat tatapan Aruna yang penuh ketakutan. Bahkan Aruna sampai memejamkan matanya sekarang. Jemari tangan Johan terus turun sampai tangannya berada di lehernya sekarang, mencengkram leher Aruna dengan kuat.
"Kau hanya masuk dalam pernikahan semua yang akan semakin menyakitimu!"
Wajah Aruna sudah memerah, bahkan dia mulai kesulitan bernafas. Cengkraman tangan Johan di lehernya benar-benar kuat. Matanya sudah mulai berkaca-kaca.
"Jika perlu terluka untuk mencintaimu, aku rela"
Suara tawa Johan terdengar menggelegar di ruangan ini. Sangat menakutkan. "Kau pikir kata cinta yang diucapkan bisa membuat aku luluh? Tidak! Sampai kapanpun kau hanya perempuan penghalang dalam hubunganku dan Jesika. Dan saat aku mulai kasihan padamu, aku bersimpati dengan memberikanmu kesempatan 3 bulan untuk menjadi istriku yang sebenarnya, tapi kau sudah berani pergi dengan pria lain tanpa izin padaku!"
Aruna memejamkan matanya, cairan bening yang langsung meluncur di pipinya. Tentu saja rasa sesak semakin dia rasakan. Wajahnya sudah sangat memerah.
"Kak, sa-kit" lirih Aruna dengan suara tercekat.
"Kau mati sekalipun, aku tidak akan pernah peduli!"
Aruna memejamkan matanya, hatinya teramat sangat sakit mendengar ucapan Johan. "Bu-nuh saja aku jika itu akan membuatmu puas"
Brak.. Johan melepaskan cengkraman tangannya di leher Aruna, membuat gadis itu limbung dan langsung terjatuh ke atas lantai. Mencoba untuk mengatur nafasnya yang sudah tercekat sejak tadi. Aruna mendongak dan menatap Johan dengan mata sayunya.
"Aku tidak akan membunuhmu dengan tanganku. Karena itu hanya sia-sia dan mengotori tanganku"
"Baiklah, karena tanpa kamu lakukan itu, aku mungkin akan menjemput kematianku sendiri, Kak"
Bersambung
Yang mau nangis boleh, mau santet Johan juga terserah. Asalkan novel ini rame, serah kalian lah mau memaki Johan kayak apa.. Haha
selamat ya Jo.... selamat menuai, yg slama ini kau tanam