Menceritakan perjalanan raja iblis tak terkalahkan yang dulu pernah mengguncang kestabilan tiga alam serta membuat porak-poranda Kekaisaran Surgawi, namun setelah di segel oleh semesta dan mengetahui siapa dia sebenarnya perlahan sosoknya nya menjadi lebih baik. Setelah itu dia membuat Negara di mana semua ras dapat hidup berdampingan dan di cintai rakyat nya.
Selain raja iblis, cerita juga menceritakan perjuangan sosok Ethan Valkrey, pemuda 19 tahun sekaligus pangeran kerajaan Havana yang terlahir tanpa skill namun sangat bijaksana serta jenius, hidup dengan perlakukan berbeda dari ayahnya dan di anggap anak gagal. Meskipun begitu tekadnya untuk menjadi pahlawan terhebat sepanjang masa tak pernah hilang, hingga pada akhirnya dia berhasil membangkitkan skill nya, skill paling mengerikan yang pernah di miliki entitas langit dengan kultivasi tingkat tertinggi.
Keduanya lalu di pertemukan dan sejak saat itu hubungan antara bangsa iblis dan ras dunia semakin damai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NAJIL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5
Azazel tersenyum tipis, dingin. "Sosok yang kau tikam tadi adalah aku di jalur waktu yang sama denganmu. Namun, aku yang berdiri di sini adalah diriku dari 30 menit sebelumnya."
Freya terdiam. Penjelasan itu menghantamnya seperti badai yang tidak terduga. Azazel bukan hanya seorang lawan yang kuat, dia adalah makhluk dengan kekuatan yang melampaui logika. Mengalahkannya terasa mustahil, bahkan dengan semua kekuatan yang ada di dunia ini.
"Sejak kapan? Bukankah kau dulu pengguna skill ultimate berpedang? Aku dulu sangat mengagumi keterampilanmu! Tapi mengapa? Mengapa kau memberontak dan bergabung dengan para pasukan iblis?" teriak Freya, suaranya penuh rasa tidak percaya.
Azazel menatapnya tanpa emosi. "Kau ingin tahu alasanku? Itu karena keagungan Yang Mulia Zhask."
"Kau rela membuang semua rekanmu, semua kepercayaan yang kau bangun, hanya untuk mengabdi pada makhluk rendahan seperti itu? Sadarlah, guru! Iblis itu telah mencuci otakmu," Freya memohon, mencoba mengguncang keyakinan Azazel.
Mata Azazel menyipit, tetapi suaranya tetap dingin. "Kau sama sekali tidak sopan memanggil Yang Mulia Zhask sebagai makhluk rendahan. Karena itu, aku akan segera memenggal kepalamu."
Saat kata-kata itu terucap, tiba-tiba dari atas langit muncul empat tetua naga, meluncur cepat dengan sayap raksasa mereka. Aura mereka membawa harapan baru, tetapi hanya sesaat. Dalam hitungan detik, sebuah kubus transparan raksasa muncul, menjebak mereka semua.
Di dalam kubus, waktu berhenti. Para tetua naga, yang kekuatannya seharusnya mampu mengguncang langit, kini hanya diam seperti patung. Mereka mencoba melepaskan diri, tetapi setiap usaha mereka hanya berujung sia-sia.
"Sialan! Aku tidak bisa bergerak!" seru salah satu tetua naga, frustrasi.
"Kubus ini… zona waktunya telah dihentikan sepenuhnya," ujar tetua naga lainnya, mencoba menganalisis situasi. "Semua energi kita tertahan."
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" suara ketiga terdengar, penuh kecemasan.
Sementara itu, di luar kubus, Azazel tetap tenang. Sosoknya memancarkan dominasi yang menakutkan. Tiba-tiba, dari dalam kubus, muncul Azazel lain — dirinya dari jalur waktu tiga jam ke depan. Tanpa perlawanan, dia menghajar keempat tetua naga satu per satu.
Serangan demi serangan menghantam mereka, membuat tubuh raksasa itu terkulai tanpa daya.
Dalam beberapa saat, keempatnya jatuh tak sadarkan diri. Zona waktu di dalam kubus kembali normal, tetapi hanya untuk menegaskan kekalahan mereka. Di sisi lain, Freya menyadari bahwa ajalnya semakin dekat. Pedang Azazel kini sudah menempel di lehernya.
Freya memejamkan mata. Napasnya tercekat, dan bibirnya bergetar. Tidak ada jalan keluar. Pedang dingin itu hanya perlu satu ayunan lagi untuk mengakhiri segalanya.
Namun, saat pedang itu mulai diayunkan, tiba-tiba sosok misterius muncul. Dengan kecepatan luar biasa, sosok itu melesat dan menyelamatkan Freya dari tebasan maut.
Dia menggendong Freya dan terbang menjauh, membawa napas lega yang nyaris tak sempat diambil.
"Akhirnya tepat waktu. Itu sangat berbahaya," ucap sosok tersebut, suaranya tenang tetapi tegas.
Freya mendongak, mencoba mengenali penyelamatnya. Dia adalah salah satu dari 12 Kesatria Suci, legenda hidup yang berdiri di sisi terang dunia. Satu per satu, kesatria suci lainnya mulai muncul, membawa cahaya harapan yang baru.
"Apa kau baik-baik saja, Jenderal Langit Agung?" tanya sang kesatria yang mengenakan bandana di kepalanya, matanya penuh kekhawatiran.
Freya mengangguk lemah, napasnya masih berat. "Terima kasih telah menyelamatkanku. Aku tidak pernah menyangka akan diselamatkan oleh manusia."
"Syukurlah," jawabnya singkat, sebelum seorang kesatria suci lain dengan kapak besar di tangannya menghampiri mereka.
"Kapten, rencana sudah siap. Kita hanya menunggu instruksi," lapornya tegas.
"Bagus. Kita akan segera menjebak para iblis raksasa itu dan mengakhiri ini secepatnya," ujar kesatria dengan bandana yang ternyata adalah Hitadori, kapten dari 12 Kesatria Suci.
Ledakan besar tiba-tiba terdengar dan mengguncang hebat, memekakkan telinga hingga getarannya terasa menusuk dada.
Asap hitam mengepul, menyelimuti wilayah pertempuran bagian barat, tempat 10 Numbers yang sebelumnya tak terkalahkan mendadak roboh oleh kekuatan yang begitu dahsyat. Jeritan dan sorak-sorai bercampur menjadi satu, menggema di medan perang.
Numbers dikenal sebagai makhluk brutal dengan regenerasi luar biasa dan tak kenal rasa sakit. Untuk menghancurkan mereka, dibutuhkan serangan yang tidak hanya kuat tetapi juga terukur dengan presisi. Namun, para Kesatria Suci telah mempersiapkan segalanya.
Mereka menganalisis setiap kelemahan, setiap celah, bahkan sebelum perang dimulai. Ledakan ini adalah hasil dari strategi matang petapa suci, dirancang khusus untuk menghancurkan Numbers hingga ke akar-akarnya.
Sukacita menyelimuti pasukan dunia. "Kita berhasil!" teriak mereka, tangan terkepal ke udara. Namun, kebahagiaan itu hanya sesaat. Dari balik asap, gerombolan Numbers lain muncul, jumlah mereka tampak tak berujung. Suara gemuruh langkah mereka memecah euforia kemenangan.
"Siapkan barisan! Mereka datang lagi!" seru salah satu prajurit, suaranya serak namun penuh keberanian.
"Jangan takut! Lawan mereka sampai akhir!" teriak prajurit lain, diikuti oleh pekikan semangat dari semua pasukan.
"YAAAAAAH!"
YAAAAAAH!"
YAAAAAAH!"
Teriakan perang bergema, menggetarkan hati semua yang mendengarnya.
Di barisan depan, Hitadori berdiri tegap. Tubuhnya memancarkan aura otoritas, sementara matanya tajam menganalisis setiap pergerakan lawan.
Kecakapannya dalam strategi dan taktik membuatnya menjadi ancaman yang ditakuti pihak musuh.
"Jadi ini Jenderal Langit Agung?" ucap seorang Kesatria Suci yang baru tiba, matanya terpaku pada Freya yang berdiri dengan luka dan kelelahan yang nyata.
"Aku tak percaya bisa melihatnya langsung. Dia... sangat cantik dan begitu kuat serta wangi," lanjutnya, nada kagum terdengar jelas.
"Cukup bicara bodohmu! Hormati Jenderal Langit Agung!" bentak Kesatria Suci perempuan yang berdiri di sampingnya, wajahnya memerah karena malu dan marah pada rekan nya sesama kesatria suci.
Freya, yang mendengar percakapan itu, menghela napas, lalu berkata dengan nada tenang, "Tak perlu terlalu formal. Panggil aku Freya saja."
Suasana canggung mencair seketika, meski kesatria-kesatria itu masih sedikit kikuk.
Freya melangkah maju, menatap langsung ke mata Hitadori. "Aku membutuhkan bantuan kalian untuk mengalahkan Azazel. Kita harus mengalahkannya lebih dulu jika ingin memenangkan perang ini."
Hitadori mengernyitkan dahi, pikirannya berputar cepat. "Bukankah lebih mudah jika kita fokus pada pasukan iblis lainnya?" tanyanya, nada skeptis mengiringi.
"Percuma. Mengalahkan mereka semua tidak akan berarti apa-apa," tegas Freya. "Azazel memiliki kemampuan untuk memutar waktu dan membangkitkan dirinya atau pasukannya yang telah mati, seolah-olah mereka tidak pernah tewas. Itulah kekuatan yang sedang kita hadapi."
Semua Kesatria Suci terdiam, mencerna informasi itu. Seorang wanita dengan rambut perak panjang akhirnya bertanya, "Apakah itu benar-benar mungkin? Kekuatan seperti itu... terdengar mustahil."
Freya mengangguk, rahangnya mengeras. "Azazel bukan makhluk biasa. Dia adalah mantan Jenderal Langit Agung, salah satu penyandang gelar Monster Keadilan. Kekuatan monster keadilan generasi pertama melampaui nalar semua".
Mendengar itu, semua Kesatria Suci terdiam lebih dalam. Azazel adalah prajurit legenda tak terkalahkan yang pernah di miliki Kekaisaran Surgawi, simbol kekuatan mutlak. Sosok ancaman yang sangat nyata.
"Jadi, dia adalah Azazel?" suara salah satu Kesatria Suci bergetar. "Yang diperingatkan oleh petapa suci itu... Sosok jendral langit agung penghianat yang harus dihindari."
Sebelum ada yang sempat menjawab, sebuah pemandangan mencekam menarik perhatian mereka. Di sisi medan perang, Azazel berdiri tenang. Dengan gerakan tangan yang hampir tidak kentara, dia memanggil kembali The Numbers No. 2 yang sebelumnya dihancurkan oleh serangan gabungan para tetua naga.
Perlahan, sosok Numbers itu kembali terbentuk, diikuti oleh kebangkitan 10 Numbers yang hancur akibat ledakan super besar mengerikan tadi.
Freya menggertakkan giginya, tinjunya mengepal. "Inilah yang aku maksud. Azazel menggunakan zona waktu tiga hari sebelum perang ini dimulai untuk memutar kembali kehidupan mereka. Tidak ada batasan bagi kekuatannya."
Semua Kesatria Suci kini menyadari skala ancaman yang mereka hadapi. Azazel bukan hanya musuh, dia adalah bencana yang dapat merusak alur waktu itu sendiri. Freya menatap mereka satu per satu, matanya penuh tekad.
"Jika kita ingin menyelamatkan dunia ini, kita harus mengalahkan Azazel. Tidak ada pilihan lain."
Suara Freya menggema, menanamkan keberanian sekaligus rasa kepercayaan di hati semua yang mendengarnya. Pertempuran baru akan segera dimulai, dan semuanya bergantung pada strategi yang mereka miliki.
Narator kembali membawa kita semua ke masa sekarang, flashback panjang peperangan di alam dunia telah selesai dan kini cerita akan terfokus pada situasi saat ini.
Langit surgawi berpendar lembut, tetapi suasana di dalamnya mencekam. Di bawah cahaya keabadian itu, Mikael terkapar tak berdaya, tubuhnya bersimbah luka, darah suci mengalir di antara retakan tanah.
Di hadapannya berdiri Lucifer, Sang Bencana Kematian, iblis kuno yang kini menjulang sebagai ancaman tak tertandingi.
Mikael, yang sebelumnya mendominasi pertarungan dengan keahlian energi surgawi dan kekuatan luar biasa, kini tak lebih dari sosok rapuh yang kehabisan tenaga. Kekalahannya adalah hasil dari kesalahan fatal—sebuah penghinaan kepada keagungan Raja Iblis Zhask.
Kata-katanya, yang dianggap remeh, membakar amarah Lucifer, membangkitkan kekuatan tersembunyi nya hingga menciptakan kehancuran yang mengguncang dimensi langit
Lucifer, yang sejak awal menyembunyikan kekuatan sejatinya, kini berdiri dalam kemuliaan penuh kekuatan.
Tatapannya dingin, namun di balik mata hitamnya terlihat kobaran amarah yang mengintimidasi.
Para iblis di sekitarnya merasakan teror yang tak terlukiskan, dan tanah pun bergemuruh, mencerminkan kedahsyatan Sang Eksekutor Raja Iblis Zhask Agung.
“Cepat bangkit, Mikael,” ucap Lucifer dengan nada tajam, disertai tawa kecil yang menggema. “Aku ingin membunuhmu lagi dan lagi—kau, makhluk lancang yang berani menghina keagungan Raja Iblis Sejati.”
Kata-katanya mengiris udara, memancarkan aura kutukan yang merayap ke setiap sudut medan perang. Mikael, meski abadi, tak bisa menyembunyikan aura penderitaan yang mengelilinginya.
Pengabdian Lucifer kepada Zhask tak mengenal batas. Bersama para jenderal eksekutif iblis lainnya, dia menjunjung Raja Iblis Zhask sebagai sosik yang lebih dari sekadar penguasa. "Dia adalah yang terkuat di antara yang terkuat," bisik Lucifer, suaranya penuh dengan keyakinan mutlak.
“Hanya dengan keberadaannya, dunia akan dirasuki teror yang tak henti-henti.”
Nama Raja Iblis Zhask Agung telah mengukir ketakutan mendalam di alam langit dan neraka, tetapi pengaruhnya melampaui rasa takut—dia adalah pusat kehormatan dan pengabdian mutlak.
Bahkan Lucifer, pemimpin alam Neraka sebelum kedatangan Zhask, dengan sukarela menyerahkan tahtanya untuk melayani penguasa baru ini.
“Sebutan iblis kuno tidak berarti apa-apa bagiku,” lanjut Lucifer, sambil tertawa kecil, aura kegelapan melingkupinya. “Aku hanyalah bawahan setia Raja Iblis Zhask Agung, pemilik keagungan sejati.”
Di tengah penghinaan Lucifer terhadap Mikael, jasad suci Mikael mulai memancarkan sinar kuning terang yang semakin menyilaukan. Cahaya itu berdenyut, menandakan sesuatu yang besar akan terjadi.
Bahkan dalam kekalahan, Mikael tetaplah makhluk abadi—dan keabadiannya kini berusaha membangkitkannya kembali.
Namun, suasana semakin mencekam.
Dari arah berbeda, tekanan energi luar biasa menyapu medan perang. Iblis-iblis yang tadinya bersorak atas kemenangan Lucifer kini meringkuk, wajah mereka memancarkan ketakutan yang tak bisa disembunyikan.
Lucifer sendiri, meskipun seorang iblis kuno, merasakan tubuhnya memberontak di bawah tekanan energi tersebut. Tawa tipis yang sebelumnya menghiasi wajahnya perlahan memudar, tergantikan dengan tatapan tajam penuh waspada.
Kemudian, cahaya terang yang menyilaukan muncul, memancar dengan kekuatan keadilan sejati, menembus kegelapan yang menyelimuti medan pertempuran. Aura keadilan itu begitu kuat, seperti sebuah deklarasi atas kehadiran entitas yang tak asing bagi Lucifer.
“Tentu saja,” bisik Lucifer, tawa kecil kembali menghias bibirnya. “Energi ini... aku mengenalnya. Kutukan ku sudah sangat lapar ingin melahap mu, Gabriel!”
Semua pasukan yang ada di sana tersentak ke tanah, seolah tubuh mereka dikendalikan oleh kekuatan yang tak terlihat dan tak dapat dimengerti. Perlahan, pasukan iblis dan pasukan langit memberi hormat pada sosok yang tiba-tiba muncul di medan pertempuran.
Namun, hanya satu makhluk yang tetap tegak tanpa tunduk. Lucifer, sang Iblis Kuno, berdiri dengan angkuh, matanya penuh keyakinan, menolak memberi penghormatan. Bahkan di dimensi lain, tempat Asmodeus dan Julius tengah bertarung, keduanya merasakan tekanan luar biasa.
Tubuh mereka terhempas ke tanah dengan paksa, tak mampu melawan kuasa yang melumpuhkan itu.
"Apa yang terjadi? Kenapa kita tiba-tiba tersentak ke tanah seolah dipaksa memberi hormat pada sesuatu?" tanya Asmodeus dengan nada bingung, menoleh pada Julius yang sama-sama terkunci dalam posisi tersebut.
"Kalian semua akan binasa," jawab Julius sambil tertawa puas cekikikan, meskipun tubuhnya sendiri tak bisa bergerak. "Gabriel, sang terkuat, telah datang. Perang ini akan segera kami menangkan!"
Gabriel. Sosok ini bukan sekadar nama. Sebagai pemegang gelar Monster Keadilan dan salah satu dari Tiga Keadilan Absolut, Gabriel adalah senjata terkuat dari pasukan langit—sebuah legenda hidup yang membawa kehancuran pada siapa saja yang berani menentang keadilan surgawi.
Di medan perang utama, Lucifer perlahan mengangkat kepalanya, senyum penuh kepuasan terpancar dari wajahnya. Dialah satu-satunya yang tidak terguncang oleh kehadiran Gabriel. Matanya bersinar tajam, penuh antisipasi.
"Aku sudah lama menunggu mu," ucap Lucifer dengan nada rendah namun penuh kegembiraan. "Sang Monster Keadilan. Akhirnya, kau datang!"
Gabriel, dengan aura yang memancar terang menyilaukan, turun ke tengah medan perang. Sosoknya membawa keheningan yang luar biasa, seolah waktu berhenti untuk memberi ruang bagi kehadirannya.
Inilah momen yang telah lama ditunggu-tunggu oleh Lucifer—pertemuan dua kekuatan besar yang akan menentukan arah peperangan ini.
Di alam dunia, setelah hampir empat bulan peperangan brutal, kemenangan telah jatuh ke tangan bangsa iblis.
Peperangan yang begitu mengerikan ini meninggalkan hanya segelintir bangsa dunia yang selamat, tersebar tanpa arah seperti serpihan kaca yang pecah.
Azazel, sang mantan Jenderal Langit Agung, menepati janjinya dengan cara paling kejam. Dia menghancurkan pasukan dunia tanpa belas kasihan, menjadikan medan perang tempat penuh genangan darah dan jeritan tanpa akhir.
Janji Azazel di awal bahwa pasukan dunia bisa menyelamatkan banyak nyawa jika mereka menyerah, kini menjadi ironi pedih. Penolakan mereka kini berbuah kehancuran yang tak bisa diperbaiki.
Freya terkapar di tanah bersama sisa-sisa pasukannya. Tubuhnya penuh luka dan nyaris tak bergerak, hanya napas yang lemah menjadi tanda ia masih hidup. 12 Kesatria Suci, pilar kekuatan bangsa dunia, kini tinggal bayangan dari kejayaan mereka.
Salah satu di antara mereka bahkan tewas dengan kepala terpecah menjadi enam bagian—sebuah gambaran mengerikan dari kekejaman perang.
Azazel berdiri di tengah medan yang hening. Tubuhnya diselimuti aura kehancuran, matanya dingin tanpa rasa bersalah. Dalam dirinya, tak ada belas kasih, tak ada penyesalan—hanya kekuatan yang membara.
“Bangsa dunia telah menolak anugerah yang kuberikan. Maka, inilah takdir mereka,” ucap Azazel perlahan, suaranya menggema di medan perang.
Pasukan yang tersisa, baik manusia maupun makhluk dunia lainnya, dipaksa tersungkur ke tanah. Tubuh mereka bergerak sendiri, tunduk kepada kehadiran Azazel.
Bahkan para 20 Raja Dunia yang tersisa hanya bisa gemetar dalam kehinaan, dipaksa memberikan hormat kepada monster keadilan yang berdiri di atas kehancuran mereka.
“Aku sengaja tidak membunuh kalian,” lanjut Azazel dengan nada dingin yang menusuk, “agar kalian memahami keagungan Raja Iblis Zhask. Kehancuran kalian adalah bukti dari kekuasaan kami.”
Di sekitar medan perang, sepuluh The Number s yang telah tewas bangkit kembali penuh senyum mengerikan, luka-luka mereka seakan tak pernah ada.
Bukan hanya itu, bahkan para Numbers dan pasukan iblis lainnya juga kembali pulih, berdiri dengan kekuatan yang sama, berkat skill Time Zone milik Azazel.
Jumlah mereka masi tetap sama tanpa ada yang berkurang satupun, gigi roda waktu telah berputar mengikuti kehendak Azazel. Yang artinya perang ini sebenarnya telah di menangkan bangsa iblis bahkan sebelum perang itu di mulai, Cukup membingungkan.
Tapi seperti inilah kekuatan tidak masuk akal dari sang Monster Keadilan.
Azazel menatap gerbang hitam yang muncul di hadapannya, portal gelap yang mengeluarkan hawa kutukan mematikan.
Itu adalah gerbang milik Raja Iblis Zhask, yang kini dipinjamkannya kepada Azazel.
“Gabriel telah bergerak,” ucap Azazel sambil menatap gerbang dengan tatapan tajam penuh determinasi. “Saatnya aku mengambil kepalanya.”
Tanpa ragu, Azazel melangkah menuju gerbang hitam. Namun tiba-tiba, sebuah suara yang lemah lembut namun menggema menghentikan langkahnya.
“Senang bertemu denganmu, mantan Jenderal Langit Agung generasi pertama. Maaf atas keterlambatan ku.”
Azazel berhenti seketika. Matanya menyipit saat ia menoleh ke arah sumber suara. Dari balik bayangan medan perang, muncul sosok seorang kakek tua dari ras manusia.
Tubuhnya kurus, rambutnya memutih, dan aura di sekitarnya begitu tenang—namun justru ketenangan itu menimbulkan kecemasan yang mendalam.
“Siapa kau?” tanya Azazel dengan nada dingin, meskipun terlihat jelas rasa penasarannya. “Aku sama sekali tidak merasakan energi dalam dirimu. Apakah kau utusan Kaisar Langit?”
Sang kakek tersenyum tipis. Wajahnya tak menampakkan ketegangan sedikit pun. “Bukan,” jawabnya pelan namun penuh kepastian. “Lebih tinggi lagi.”
Sejenak, waktu seolah berhenti. Senyum itu, jawabannya, dan kehadirannya menghancurkan aura dominasi Azazel dalam sekejap. Untuk pertama kalinya, ekspresi Azazel berubah.
Matanya melotot terkejut, bibirnya sedikit terbuka. Tubuhnya menegang seolah-olah menghadapi sesuatu yang tidak bisa ia pahami—atau mungkin, sesuatu yang ia takuti.
“Apa... maksudmu?” gumam Azazel, nadanya goyah.
Gerbang hitam di hadapannya terus berputar, memancarkan hawa kutukan yang semakin pekat. Namun Azazel tak lagi memperhatikannya. Fokusnya kini sepenuhnya tertuju pada sosok kakek tua itu—seseorang yang mampu menghentikan langkahnya dengan satu kalimat.
Sosok itu, dengan tenang, menatap Azazel yang akhirnya kehilangan ketenangan legendarisnya. Senyumnya perlahan memudar, digantikan dengan tatapan serius yang mengintimidasi.
“Azazel,” ujar sang kakek dengan nada pelan namun penuh kekuatan, “kau telah melampaui batas yang seharusnya tidak pernah dilanggar. Hari ini, langkahmu berhenti di sini.”
Dan dengan kata-kata itu, babak baru dalam perang besar ini dimulai.
Di depan gerbang Kekaisaran Surgawi, sepuluh prajurit elit pelindung Kaisar Langit berdiri dalam keheningan yang tegang. Mereka tahu, kedatangan Raja Iblis hanyalah soal waktu. Tempat ini adalah satu-satunya jalan menuju Istana Langit, dan mereka ditugaskan untuk menghentikan kehancuran yang mungkin akan datang.
“Apa jebakan yang sudah dipasang akan mampu menjebak Raja Iblis?” salah satu prajurit bertanya dengan nada ragu. Meski tubuhnya tampak tenang, matanya yang tajam mengamati setiap sudut sekitar, siap menghadapi ancaman kapan saja.
“Jebakan ilusi itu tidak lebih dari mainan untuk iblis rendahan,” balas prajurit lainnya dengan sinis. Ia bersandar pada pedang besarnya, posturnya seolah seperti batu karang yang tidak tergerak bahkan oleh angin badai sekalipun.
Namun, suara sang kapten memotong ketegangan ringan itu. “Lawan kita adalah Raja Iblis. Jangan lengah—bahkan untuk berkedip sekalipun!” Seruan itu terdengar tegas, menggema di udara dingin yang mengelilingi mereka. Wajahnya keras, penuh tekad. “Ini bukan hanya pertempuran biasa. Ini hidup dan mati.”
“Siap, perintah dimengerti!” jawab mereka serempak. Suara itu bergaung seperti dentuman genderang perang, penuh keyakinan meskipun di dalam hati mereka sadar bahwa kemungkinan ini tidak semudah yang mereka bayangkan.
Dari belakang, seorang informan bergegas menyampaikan kabar. “Perang besar di Alam Dunia telah selesai. Iblis... mereka keluar sebagai pemenangnya.”
Keheningan yang mencekam menyelimuti. Beberapa dari mereka menunduk, merasakan beban yang kian berat, sementara yang lain menggenggam senjata mereka lebih erat.
“Sudah kuduga,” gumam seorang prajurit dengan tubuh penuh tato. Suaranya mengandung amarah terpendam. “Mengirim hanya satu Jenderal Langit Agung? Itu jelas keputusan bodoh! Apa yang ada di pikiran para petinggi?”
“Seorang Jenderal Langit Agung, dengan kekuatan hampir menyamai Tiga Keadilan Absolut, berhasil ditumbangkan. Ini semakin menarik,” sela prajurit lain dengan senyum liar. Lidahnya menjulur seperti ular, matanya menyala-nyala dengan antusiasme yang ganjil. “Aku tidak sabar ingin bertarung habis-habisan.”
“Itu wajar saja,” jawab sang kapten, tatapannya dingin menembus cakrawala. “Musuh mereka adalah Azazel.”
Ucapan itu membuat beberapa prajurit muda terkejut. Salah satu dari mereka, yang baru dilantik, memberanikan diri bertanya. “Kapten, maaf... tapi siapa sebenarnya Azazel? Apakah dia benar-benar sekuat itu?”
Kapten menatap prajurit muda itu. Ada kilatan emosi di matanya, campuran antara kenangan pahit dan penghormatan. “Dia adalah mantan Jenderal Langit Agung, pemegang gelar Monster Keadilan. Gelar itu dulunya diberikan pada tiga prajurit terkuat di Alam Langit : Gabriel, Mikael, dan Azazel. Mereka adalah simbol kekuatan mutlak.” Suaranya dipenuhi gravitasi, membawa setiap kata seperti beban yang mengguncang jiwa.
Namun, suaranya mengeras saat melanjutkan. “Setelah pengkhianatannya, gelar itu dihapus dan digantikan oleh Tiga Keadilan Absolut. Tapi ingatlah, dia bukan hanya legenda. Dia nyata. Dan dia lebih berbahaya dari yang bisa kau bayangkan.”
Prajurit muda itu menelan ludah, merasa kecil di bawah bayang-bayang nama Azazel, sosok yang seblumnya hanya ia anggap pemimpin pasukan iblis biasa. Ternyata dia mantan tujuh jenderal langit agung, lebih parahnya lagi mantan tiga keadilan Absolut.
Kapten melangkah maju, tatapannya menembus jauh ke horizon seolah ia melihat sosok-sosok dari masa lalunya. “Ribuan tahun yang lalu, aku sendiri adalah salah satu dari tujuh Jenderal Langit Agung. Tapi bahkan aku tahu, di hadapan Gabriel, Mikael, dan Azazel, kekuatan kami yang lain hanyalah bayang-bayang.”
Kata-kata itu menancap dalam hati para prajurit. Mereka menyadari, pertarungan ini lebih dari sekadar melindungi Kaisar Langit. Ini adalah ujian keberanian, kekuatan, dan tekad mereka menghadapi kekuatan yang pernah menjadi lambang harapan—dan kini menjadi musuh yang paling ditakuti.
Prajurit muda itu mengangkat tangan ragu, lalu bertanya, “Aku baru tahu jika Kapten adalah mantan Jenderal Langit Agung. Tapi, kenapa Kapten terlihat begitu tua sekarang? Tidak seperti Tuan Mikael dan Gabriel…”
Nada suaranya penuh rasa ingin tahu, tetapi juga terdengar kurang sopan, seolah terlupa bahwa ia berbicara dengan seorang yang sangat di hormati. Kata-katanya membuat suasana tegang.
“Hey, bocah magang!” Suara tegas memotong suasana. Wisteria, prajurit wanita dengan rambut ungu yang memancarkan aura ketegasan, melangkah maju. Matanya memandang tajam ke arah prajurit muda itu.
“Jaga ucapanmu di depan Kapten! Tindakanmu sama sekali tidak mencerminkan rasa hormat pada seorang yang begitu dihormati di Alam Langit.”
Prajurit muda itu langsung menundukkan kepala, wajahnya merah padam. “Maafkan kelancangan saya, Nona Wisteria. Harap dimaklumi... saya hanya seorang prajurit elit magang.”
Sang Kapten mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada Wisteria agar lebih santai. “Tidak apa. Biarkan ia bertanya. Rasa ingin tahu adalah awal dari kebijaksanaan,” katanya dengan nada bijak, meski sorot matanya menyimpan kenangan yang kelam.
Wisteria mundur dengan hormat, tetapi tetap memandang tajam si prajurit muda.
Sang Kapten menghela napas panjang sebelum mulai berbicara. “Pemberontakan Azazel dimulai dari sebuah luka... bukan luka fisik, melainkan luka harga diri. Itu terjadi setelah kami menyelesaikan misi pemusnahan sosok malapetaka di Alam Neraka. Kemenangan itu membawa penghargaan dan pujian dari seluruh penduduk langit, dari Benua Satu hingga Benua Tujuh. Namun, semua penghargaan itu diarahkan hanya kepada Gabriel.”
Kata-kata itu membawa keheningan berat di antara mereka. Beberapa prajurit tampak terkejut mendengar kisah yang mereka hanya tahu sebagai mitos.
“Azazel merasa tersisihkan,” lanjut sang Kapten, suaranya kini lebih dalam, seolah menggali kembali rasa sakit lama. “Bagi Azazel, itu adalah penghinaan. Ia merasa perjuangan dan pengorbanannya—pengorbanan kami semua—terlupakan hanya karena sosok Gabriel yang dianggap paling bersinar.”
Ia berhenti sejenak, memandangi para prajurit satu per satu. “Dan itulah awal mula retaknya persatuan prajurit langit. Sebagian memihak Gabriel, menganggapnya sebagai pemimpin yang sah. Sebagian lagi mendukung Azazel, yang percaya bahwa keadilan dan pengakuan tidak boleh diberikan hanya kepada satu orang.”
Prajurit-prajurit muda menahan napas, merasa terbawa dalam cerita yang memancarkan konflik dan rasa kehilangan.
“Ketegangan itu semakin memuncak,” Kapten melanjutkan, “hingga akhirnya Jenderal Tertinggi Iskandar Agung turun tangan. Kaisar Langit memerintahkan penyelesaian. Keputusan diambil: Gabriel dan Azazel akan berduel. Duel ini akan menentukan siapa yang pantas menjadi pemimpin pasukan besar prajurit langit.”
Wisteria, yang biasanya tenang, terlihat sedikit terkejut. “Duel?” tanyanya dengan suara rendah, hampir berbisik.
Kapten mengangguk perlahan. “Ya. Mereka bertarung di tempat terpencil, jauh dari jangkauan makhluk hidup, agar kehancuran yang mereka timbulkan tidak mempengaruhi dunia. Ini bukan duel biasa. Ini tentang kehormatan, tentang harga diri, dan tentang siapa yang berhak memimpin pasukan di bawah naungan Jenderal Tertinggi.”
“Berapa lama mereka bertarung, Kapten?” tanya salah satu prajurit dengan suara bergetar.
“Duel itu berlangsung selama tujuh bulan,” jawab Kapten, tatapannya kosong, seolah kembali menyaksikan pertempuran itu dalam pikirannya. “Dua Jenderal Langit Agung dengan gelar Monster Keadilan—keduanya berada di puncak kekuatan mereka. Tidak ada yang tahu siapa yang akan menang hingga akhir.”
Para prajurit menatapnya, terpesona sekaligus tegang. Bahkan Wisteria, yang biasanya tak terpengaruh emosi, terlihat menggenggam pedangnya lebih erat.
“Lalu, Gabriel menang,” lanjut Kapten, suaranya pelan. “Namun kemenangan itu tidak mengakhiri semuanya. Azazel menghilang setelah itu, membawa luka dan kebenciannya. Dan kini, setelah ribuan tahun, ia kembali. Kembalinya bukan sekadar sebagai musuh, tetapi sebagai ancaman terbesar yang pernah dihadapi Alam Langit.”
"Tidak ada yang tau kejadian itu kecuali para petinggi dan beberapa pasukan khusus. Yang mereka semua tahu Azazel menghilang begitu saja, seperti tertelan alam." Lanjutnya.
Keheningan yang mengikuti terasa menyesakkan. Para prajurit kini menyadari bahwa mereka bukan hanya menghadapi musuh biasa. Mereka menghadapi sejarah yang hidup, luka yang belum sembuh, dan perang yang telah membara sejak ribuan tahun lalu.
Sang Kapten tersenyum tipis, sesuatu yang jarang mereka lihat. “Alasan aku jadi tua seperti ini sederhana. Aku tidak pernah memakan Pil Abadi atau Pil Dewa dari Kebun Adam,” katanya, suaranya diselimuti nada ringan. “Andai saja aku menjadi salah satu dari Tiga Jenderal Langit Agung terkuat, mungkin aku akan memakan pil itu. Dan sekarang, wajahku pasti setampan Gabriel dan Mikael.”
Tawa kecil terlepas dari beberapa prajurit. Gurauan itu terasa hangat di tengah ketegangan yang menghantui. Melihat Kapten mereka, sosok yang selalu tegas dan penuh wibawa, menunjukkan sisi manusiawinya adalah pemandangan langka yang menguatkan semangat mereka.
Namun bagi mereka, Kapten adalah lebih dari sekadar pemimpin pasukan elit. Ia adalah pelindung, pelatih, dan panutan. Sebagian besar dari mereka berasal dari berbagai benua Alam Langit, berjuang dari bawah hingga menjadi seperti sekarang, semuanya berkat Kapten. Jika bukan karena bimbingannya, mungkin nasib mereka hanya akan menjadi bayang-bayang di tanah surga yang luas ini.
Di Alam Langit, terdapat tujuh benua. Semakin tinggi benua, semakin besar energi dan kekuatan penghuninya. Tetapi itu juga berarti benua-benua yang lebih tinggi sering bertindak semena-mena terhadap yang lebih lemah. Kapten adalah salah satu dari sedikit yang mampu melawan ketidakadilan itu, meski dirinya berasal dari benua yang lebih rendah.
Suasana damai itu tiba-tiba pecah oleh munculnya cahaya terang yang menyilaukan. Sinar itu begitu intens hingga menyelimuti seluruh dataran gerbang surgawi, membuat para prajurit menutup mata mereka sesaat. Perlahan, cahaya tersebut mengambil wujud seorang dewi dengan paras yang begitu anggun, penuh kelembutan dan kasih sayang.
Wisteria, yang biasanya keras, langsung berlutut dengan hormat. Begitu pula dengan sembilan prajurit lainnya. Sosok itu adalah Dewi Athena, Dewi Suci Barat, yang dihormati karena kebijaksanaan dan keberaniannya.
“Wahai anak-anakku,” ucap Dewi Athena dengan suara yang lembut namun menggema dalam hati mereka. “Sebentar lagi, iblis itu akan datang. Bersiaplah menyambut kedatangan Raja Iblis Zhask dengan seluruh kemampuan yang kalian miliki.”
Para prajurit serempak menjawab, “Kami akan memberikan yang terbaik untuk menghentikan pergerakan iblis tersebut, wahai Dewi Suci Barat Athena.” Suara mereka menggema dengan penuh penghormatan.
Dewi Athena melangkah mendekat, menyentuh udara di depan mereka seolah memberkati para prajurit dengan kekuatan dan keberanian. “Harapan akan selalu ada,” katanya lembut, matanya menatap setiap prajurit dengan kasih. “Kepercayaan satu sama lain adalah kunci keberhasilan.”
Kata-katanya seperti nyala api kecil di dalam hati mereka, membakar rasa takut yang sempat merayap. Dewi itu kemudian menghilang dalam seberkas cahaya lembut, meninggalkan mereka kembali dalam suasana yang tegang namun penuh tekad.
Para prajurit mempersiapkan diri dengan lebih sungguh-sungguh. Mereka tahu, yang akan mereka hadapi bukan sekadar musuh biasa. Raja Iblis Zhask adalah simbol kehancuran, sosok yang mengukir ketakutan bahkan di hati para penghuni langit.
Sang Kapten menatap ke langit tempat sosok Dewi Athena tadi menghilang. “Dewi... sosok yang anggun. Penuntun kebijakan seluruh bangsa Langit,” gumamnya dengan nada penuh penghormatan, seolah keindahan kehadiran sang Dewi masih menyelimuti tempat itu.
“Anugerah telah turun,” ucap salah satu prajurit dengan nada penuh keyakinan. “Kemenangan kita sudah di depan mata!”
“Coba bayangkan,” sela prajurit berbadan besar dengan baju tempur yang berkilau. “Andai aku bisa bersama dengan Empat Dewi Penjuru Arah, hidupku pasti penuh kebijaksanaan dan kedamaian.”
“Beruntungnya mereka yang memiliki ikatan emosional dengan para Dewi,” lanjutnya sambil melamun, bibirnya sedikit tersenyum seakan membayangkan kehidupan sempurna.
Wisteria mendengus. “Cukup halu mu itu. Kau tidak pantas membayangkan sosok semulia para Dewi, apalagi dengan kebiasaan buruk mu minum-minuman keras dan merokok. Perbaiki dulu dirimu.”
“Hahaha!” pria besar itu tertawa lepas. “Sepertinya kau terlalu mengamati kebiasaanku selama ini.”
“Cih... sok tahu!” balas Wisteria tajam. “Bukankah kau sendiri yang selalu memamerkannya di depan semua orang?”
Namun percakapan itu terhenti tiba-tiba saat tanah di bawah mereka bergetar hebat. Getaran itu diiringi ledakan aura kutukan yang begitu kuat dan busuk hingga udara terasa berat. Para prajurit elit langsung merapatkan formasi, berusaha menahan tekanan energi tersebut.
Langit berubah hitam pekat, diliputi awan kutukan berwarna gelap. Kilatan petir menggelegar tanpa henti, membelah udara seperti belati yang haus darah. Bau busuk menyengat menusuk indra penciuman mereka, membuat beberapa prajurit elit mulai mengeluarkan darah dari hidung dan telinga.
Kapten berdiri tegak di tengah kekacauan itu, matanya tajam seperti baja. “Dia datang. Persiapkan diri kalian. Pertempuran ini bukan sekadar pertarungan, ini adalah soal hidup dan mati!”
“Baik, Kapten! Perintah diterima!” jawab seluruh pasukan dengan suara lantang meskipun wajah mereka menampilkan kelelahan akibat tekanan kutukan yang menyiksa.
Tanpa membuang waktu, mereka menggabungkan energi mereka. Aura terang mulai terbentuk, menangkis kutukan yang menyerang. Udara yang sebelumnya penuh beban perlahan-lahan kembali normal.
Meskipun wajah mereka penuh keringat dan luka kecil, mereka berhasil memulihkan keseimbangan energi di tempat itu.
Namun ketenangan itu justru membuat mereka semakin waspada. “Ke mana perginya aura kutukan tadi? Apakah energi gabungan kita berhasil menyingkirkannya?” tanya salah satu prajurit dengan nada bingung.
“Entahlah,” jawab yang lain. “Tapi sekarang aku merasa sedikit tenang.”
Ketegangan meningkat ketika gerbang besar pertahanan Super Great Adam, yang seharusnya disegel dengan kekuatan tertinggi, mulai terbuka perlahan. Asap tebal keluar dari dalamnya, menyelimuti seluruh area gerbang.
“Siap-siaga! Ada sesuatu di balik asap itu,” seru salah satu prajurit dengan nada tegas.
Sosok siluet muncul perlahan dari balik asap. Wujudnya seperti manusia tidak seperti iblis pada umumnya, namun dengan empat tanduk hitam dan dua sayap besar yang mengancam. Itu jelas-jelas iblis.
“Apakah itu Raja Iblis yang kita tunggu?” gumam seorang prajurit, mencoba membaca situasi.
Kapten menatap tajam ke depan, tetapi ekspresinya tetap tenang. “Aku tidak merasakan tekanan energi dari sosok itu,” katanya.
“Begitu juga aku kapten,” tambah prajurit lain. “Tidak ada tanda-tanda kekuatan luar biasa di dalamnya.”
“Tetap waspada,” potong Wisteria, matanya tajam. “Makhluk ini berhasil melewati segel Great Adam. Itu saja sudah cukup membuktikan kalau dia bukan sembarang makhluk.”
Salah satu prajurit mengaktifkan skill mata supernya. Namun, meskipun penglihatannya mampu menembus ilusi dan energi terkuat, ia tetap tidak dapat melihat apa pun dengan jelas dari sosok itu. “Aku tidak bisa membaca energi atau melihat bentuk sebenarnya. Ini mustahil. Makhluk itu tidak mungkin lemah.”
Ketegangan mencapai puncaknya ketika seorang prajurit tiba-tiba jatuh berlutut. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya gemetar hebat. Mulutnya menggumamkan kata-kata tidak jelas, seperti seseorang yang kehilangan kewarasan.
“Kita akan mati! Tidak ada yang akan selamat! Makhluk ini tidak seharusnya ada! Aku tidak mau berada di sini lagi. Bawa aku pergi! Bawa aku pulang!” jeritnya putus asa, suaranya pecah seperti cermin yang terhempas ke lantai.
Yang lain hanya bisa memandangnya dengan ngeri. Sosok itu berdiri diam di balik asap, tanpa gerakan, tanpa suara. Tapi kehadirannya cukup untuk membuat seorang prajurit elit kehilangan akal sehatnya.
"Hei! Apa yang terjadi denganmu, Rein? Sadarlah! Ini bukan waktu untuk bertingkah bodoh! Cepat bangkit!" seru salah satu prajurit dengan nada tegas, mencoba menutupi kepanikannya yang semakin terasa di tengah suasana genting itu.
Rekan lainnya, yang berdiri tak jauh dari Rein, menyela dengan nada tergesa. "Apa yang terjadi dengannya? Kenapa dia seperti itu?"
"Aku juga tidak tahu! Dia tiba-tiba seperti ini setelah mencoba menggunakan teknik Long Energi untuk mendeteksi sosok di depan kita," jawab prajurit yang sejak tadi di sisinya, suaranya gemetar, wajahnya penuh keterkejutan.
"Long Energi?" potong prajurit berbadan besar penuh tato dengan nada tidak percaya. "Apa hubungannya dengan teknik itu sekarang?"
"Entahlah! Jangan tanyakan hal yang hanya membuat situasi semakin kacau!" balas yang lain dengan frustasi.
Long Energi adalah teknik mendeteksi cakupan energi dengan radius yang luas, mampu menjangkau jarak ribuan mil, jauh lebih unggul dibandingkan Low Energy, yang hanya efektif di area terbatas. Tapi apa yang dialami Rein, sesuatu yang begitu tak terduga, membuat mereka semua tertegun.
"Sungguh tidak mungkin! Ini di luar kemampuan siapa pun!" seru salah satu prajurit yang baru saja menggunakan teknik serupa. Matanya terbelalak, tubuhnya gemetar hebat seperti melihat sesuatu yang seharusnya tidak ada.
"Apa yang kau lihat? Cepat katakan!"
Dengan nada tergagap, ia berteriak. "Cepat aktifkan teknik Long Energi kalian semua!"
Satu per satu, para prajurit elit mengaktifkan teknik tersebut. Seketika, wajah mereka berubah pucat. Nafas mereka tercekat, seperti baru saja dihempaskan oleh badai yang tak kasat mata.
"Ini... ini tidak masuk akal!" ucap salah satu dari mereka dengan suara nyaris tak terdengar.
"Luapan energinya... mencakup seluruh wilayah Alam Langit dan bahkan Alam Neraka!"
Hening melanda sesaat, sebelum seorang prajurit lainnya berteriak, suaranya hampir pecah. "Gila! Ini benar-benar gila! Energi sebesar ini tidak mungkin dimiliki oleh makhluk! Bahkan jika energi Lucifer dan Gabriel digabungkan, mereka tidak akan mendekati ini!"
Sosok misterius di depan mereka masih berdiri dalam diam, seperti patung hitam yang memancarkan aura kematian. Tidak ada gerakan, tidak ada suara, tapi keberadaannya mencengkeram hati setiap prajurit yang ada di sana.
Ketua pasukan elit menatap makhluk itu dengan wajah pias. Tubuhnya bergetar, dagunya bergetar hebat, tapi ia tidak bisa menahan dirinya untuk berkata pelan, hampir seperti bisikan yang dipenuhi ketakutan. “Kau… benar-benar sosok malapetaka…”
Kesunyian menyelimuti tempat itu, hanya suara napas terengah-engah yang terdengar di antara prajurit. Mereka semua tahu, saat ini, tidak ada lagi harapan untuk menang.
Namun, meskipun demikian, tak satu pun dari mereka melangkah mundur. Mereka adalah prajurit langit. Pasukan elit yang dipilih untuk menjaga kehormatan Gerbang Besar Great Adam.
Dengan sisa keberanian yang ada, sang ketua pasukan perlahan menghunus pedangnya, suaranya bergetar namun tegas, “Jika ini adalah akhir kita, maka kita akan bertempur dengan kehormatan. Tak ada satu langkah pun yang akan mundur.”
Mata para prajurit lainnya membara, menggema semangat terakhir di hati mereka meskipun tahu kemenangan berada di luar jangkauan. Dalam diam, mereka semua mengangkat senjata mereka, bersiap untuk menghadapi sosok yang tak terlukiskan itu.
Langit di atas mereka semakin gelap, badai petir menggelegar seakan memberi tanda dimulainya pertempuran terakhir. Dari balik asap yang pekat, sosok itu mulai melangkah maju, setiap langkahnya seperti membawa dunia mendekati kehancuran.
Dan begitulah, di bawah langit yang hitam pekat dan badai yang bergemuruh, pertempuran antara cahaya dan kegelapan akan segera dimulai kembali...