NovelToon NovelToon
My Lecture, Like My Sugar Daddy

My Lecture, Like My Sugar Daddy

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Nikahmuda / Nikah Kontrak / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Sugar daddy
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Licia Bloom

"Ingat, saat di kampus kita adalah dosen dan mahasiswa, jadi bersikap sewajarnya."

"Hayolo, dosen mana yang ngajak mahasiswanya ke rumah?"
~
Lolos SNBP jurusan keperawatan ternyata tak membuat impian Jihana Soraya menjadi perawat bisa terkabul. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat bunda melarangnya kuliah. Apalagi bunda memang menganggap kuliah itu sia-sia.

Kecewa dengan pemikiran pendek bundanya, Jihan malah tanpa sengaja berkeluh kesah pada tetangga barunya yang ia panggil Om Lino. Pria itu cukup ramah, tapi dia tampak sangat kaku dan bahasanya pun baku sampai Jihan menggelarinya KBBI berjalan.

Om Lino menyarankan satu solusi pada Jihan, yang menurutnya sangat gila. Menikah dengan pria itu, maka dia akan membiayai seluruh pendidikan Jihan. Tadinya Jihan menolak, tapi ketika keadaan semakin mendesak dan ia tidak memiliki pilihan lain, Jihan pun menerimanya.

Jihan seketika merasa Om Lino sudah seperti sugar daddynya saja. Tapi tunggu dulu! Ternyata Om Lino juga dosennya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Licia Bloom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kamu Sedang Cemburu?

Pada akhirnya, Om Lino terpaksa menjemput aku lagi ke kampus. Padahal aku yakin dia baru saja sampai di rumah setelah mengantarku tadi pagi. Eh, belum lama, aku malah minta dijemput lagi.

Kalau dipikir-pikir, keterlaluan juga aku ini.

Tapi entah kenapa, rasa kesal masih mengendap di dadaku. Sepanjang perjalanan, aku diam saja, menatap keluar jendela sambil pura-pura sibuk memperhatikan gerimis tipis yang memburamkan lampu jalan.

Aku tahu Om Lino dari tadi beberapa kali melirikku. Dia pasti sedang menimbang-nimbang kapan waktu yang tepat untuk bicara.

Ketika mobil keluar dari area kampus, akhirnya dia membuka suara.

“Ada apa?” tanyanya, nadanya tenang seperti biasa.

“Apaan?” sahutku, nada suaraku lebih tajam dari yang aku maksudkan.

Dia melirikku lagi, kali ini alisnya sedikit terangkat. “Kamu kenapa terlihat kesal?”

“Biasa aja,” jawabku singkat.

“Kesal dengan saya saya?” tanyanya lagi, nadanya tetap datar, tapi kali ini terdengar sedikit ragu.

“Enggak.”

Aku yakin dia pasti bingung sekarang. Aku sendiri juga bingung. Ngapain coba aku ngambek ke dia? Dia salah apa? Tapi, ya, aku tetap merasa ingin ngambek, meski aku gak tahu alasannya apa.

Hening. Suasana di dalam mobil terasa canggung. Aku tetap memandang keluar, berusaha menenangkan diri, tapi rasa kesal itu tetap mengganjal.

Dia tiba-tiba berkata lagi, kali ini dengan nada berbeda, lebih lembut. “Kamu lapar?”

Pertanyaan itu membuatku menoleh. Sejujurnya, aku memang lapar. Jadi, aku hanya mengangguk tanpa suara.

“Mau mampir ke tempat makan dulu? Kamu ingin makan apa?” tanyanya sambil melirik ke arahku sebentar sebelum kembali memandang jalan.

“Terserah,” jawabku.

Dia menghela napas pelan. “Sebut saja apa yang kamu mau. Biar saya langsung membawa kamu ke sana.”

“Udah dibilang terserah!” jawabku dengan nada lebih tinggi dari yang aku perkirakan.

Aku langsung menyesal. Kok aku malah ngegas gini?

Dia gak membalas apa-apa, hanya menatap jalan dengan raut wajah yang sulit ditebak. Aku merasa bersalah, jadi aku mencoba memperbaiki suasana. “Ke restoran Cina aja, Om. Saya lagi kepingin makan dimsum sama bakmi,” kataku pelan.

“Baiklah,” jawabnya singkat. Dia langsung mengubah rute tanpa protes.

Aku bersyukur dia bukan tipe orang yang gampang kesal. Kalau dengan cowok lain yang gak pengertian, mungkin sudah ribut dari tadi.

Selama perjalanan ke restoran, aku diam lagi. Kali ini bukan karena dongkol, tapi karena sibuk memikirkan kenapa mood-ku tiba-tiba seburuk ini. Aku sendiri gak ngerti apa yang bikin aku uring-uringan.

Begitu sampai di restoran, dia yang langsung memesan makanan. Aku bahkan gak ikut memilih menu, hanya duduk diam sambil melamun.

Ketika makanan datang, aku mulai makan, tapi tetap tanpa suara. Sendok dan sumpit jadi satu-satunya suara yang terdengar dari arahku.

“Ada masalah, Jihan?” tanya Om Lino tiba-tiba.

Aku mendongak, menghentikan gerakan tanganku. “Kenapa, Om?”

“Saya bertanya, kamu sedang ada masalah?” Dia menatapku dengan serius. “Sejak pulang kampus tadi, kamu terlihat sedikit uring-uringan.”

Aku menghela napas, akhirnya mengakui. “Enggak tahu, Om. Saya sendiri bingung kenapa mood saya jelek.”

Dia diam sebentar, menatapku seperti sedang mencoba membaca pikiranku. “Kalau begitu, tidak apa-apa. Tapi kalau ada sesuatu, kamu bisa cerita.”

Aku mengangguk kecil. Meski gak menjawab langsung, kata-katanya cukup untuk membuatku merasa sedikit lebih tenang.

Dia mengubah topik, mungkin untuk mencairkan suasana. “Kamu sudah bertemu Hans tadi?” tanyanya.

Aku mengangguk lagi. “Sudah. Jadi dia itu sepupu Om, ya?”

“Iya. Dia adik sepupu saya,” jawabnya sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.

Aku mencoba mengingat-ingat. “Dia datang ke acara waktu itu, kan?”

“Tentu saja. Dia yang mengobrol dengan saya di kapal hari itu,” jelasnya.

Aku menyipitkan mata, berusaha mengingat lebih jauh. “Saya benar-benar lupa ternyata.”

Dia hanya tersenyum tipis, tidak berkomentar. Suasana jadi lebih santai sekarang. Setidaknya, mood aku sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya.

“Ah, lagian, Om gak pernah cerita-cerita tentang keluarga Om.” aku membuka obrolan sambil melirik Om Lino di depan. Tanganku sibuk memutar sumpit, tapi pikiranku lagi-lagi terjebak pada fakta itu.

Dia hanya mengangkat alis, menunggu aku melanjutkan.

“Bahkan tentang orang tua Om aja gak pernah. Aku baru tahu kalau Mama sama Papa itu ternyata dosen juga.” Aku mencoba menahan nada bicaraku agar terdengar santai, tapi ujung-ujungnya malah terdengar seperti protes.

“Kamu tidak bertanya.” suaranya tetap datar, seperti biasa, seakan itu adalah jawaban yang paling logis sedunia.

Aku mendengus. “Ih, gimana aku mau nanya kalau Om aja gak pernah kasih spoiler? Gak pernah ngomongin apa pun yang nyangkut pekerjaan atau keluarga.” Aku menyeret sumpit ke mangkuk bakmi dengan gerakan yang terlalu keras, merasa sedikit kesal.

Om Lino tetap tenang, hanya menyendok kuah ke mangkuk kecil di depannya.

“Kalau dipikir-pikir ....” aku menambahkan dengan nada lebih rendah, “kita tuh masih kayak orang asing banget, tau, Om. Kayak bukan sepasang—”

Kalimatku menggantung di udara. Aku terdiam, mulutku setengah terbuka. Kata terakhir yang hampir meluncur dari bibirku sukses membuatku langsung siaga satu. Astaga, tadi aku nyaris bilang apa, sih?

“Memangnya kamu mau kita sedekat apa?” suara Om Lino masih terdengar santai, terlalu santai, sementara dia tetap menyuap dimsum tanpa sedikit pun menoleh ke arahku.

Aku terpaku. Tuh, kan!

Panas dingin langsung menjalar dari tengkuk ke ujung kakiku. Makanan di mangkuk mendadak gak menarik lagi.

“E-enggak. Saya salah ngomong.” suaraku terdengar kecil, hampir tenggelam.

Aku buru-buru menunduk, menyibukkan diri dengan mangkuk di depanku, meski pikiranku berputar-putar memikirkan betapa salahnya aku barusan.

“Jihan.” suaranya memanggilku, lembut tapi jelas.

Aku nyaris menjatuhkan sumpit. “I-iya?”

“Tidak masalah kalau kamu ingin memberi saran untuk hubungan kita ke depannya. Saya akan memikirkannya sebaik mungkin.”

Aku mendongak. Apa? Maksudnya?

“Maksudnya, Om?” tanyaku dengan nada bingung, lebih karena aku mencoba memahami apa yang sebenarnya dia pikirkan.

Tring!

Suara notifikasi ponsel memecah suasana. Om Lino mengangkat tangannya sebentar, memberi isyarat agar aku menunggu. Dia sibuk membuka pesan di layar ponselnya.

Aku menghela napas lega, memanfaatkan momen itu untuk kembali fokus pada makanan di depanku. Tapi pikiran tentang apa yang tadi dia katakan terus membayangi.

Lalu, tiba-tiba, sebuah ide muncul di kepalaku.

“Om punya Instagram?” tanyaku tanpa berpikir panjang.

Dia mengalihkan pandangan dari ponselnya, menatapku dengan ekspresi netral. “Ya. Kenapa?”

“Di-private, Om?”

Dia mengangguk singkat. “Ya.”

“Kenapa?”

“Saya tidak suka orang asing melihat apa yang saya unggah di media sosial. Hanya orang-orang terdekat saja yang tahu.”

Jawaban itu membuatku refleks mencebik. Aku kembali menunduk, menyumpit bakmi dengan gerakan asal, mood-ku mendadak anjlok lagi.

Om Lino memperhatikanku, lalu menghela napas. “Kenapa, Jihan?”

“Gak papa,” jawabku singkat.

Dia hanya memandangku sebentar sebelum kembali melanjutkan makannya. Aku tahu dia pasti bingung melihatku yang seperti cuaca mendung: suram, berubah-ubah tanpa sebab jelas. Tapi aku sendiri juga gak tahu kenapa aku begini.

“By the way, teman-teman saya cantik, kan, Om?” tanyaku sambil memutar sumpit di antara jari-jari, mencoba terdengar santai.

Om Lino hanya mengangguk kecil, seperti mengiyakan tanpa benar-benar peduli.

“Apalagi yang namanya Ayyara,” lanjutku. “Cantik banget, deh. Udah gitu body goals banget, kayak model. Auranya tuh kayak princess.”

Dia mengangkat wajah dari makanannya, menatapku datar. “Siapa?”

Aku menahan diri untuk tidak memutar mata. “Ya Ayyara, Om. Kan tadi saya udah bilang namanya.”

“Saya tidak tahu orangnya yang mana,” balasnya, masih dengan ekspresi sama.

Aku terkekeh pelan, sedikit tak percaya. “Ah, masa sih? Bukannya dia mahasiswi kesayangan Om Lino, ya?”

Dahi Om Lino langsung mengernyit. “Sejak kapan saya mempunyai mahasiswi kesayangan?”

“Ya sejak dia bisa jawab pertanyaan Om dengan benar.”

Om Lino menatapku lebih lama, seakan mencoba mengingat sesuatu. “Memang saya bertanya apa padanya?”

Aku menghela napas panjang. “Ih, gak usah pura-pura lupa deh, Om. Orang waktu itu Om juga sempat kritik saya soal nyebut nol itu kosong.”

Dia diam sejenak, lalu menatapku lagi. Matanya yang biasanya netral kini terlihat lebih lembut. “Kamu masih marah pada saya karena kejadian itu?” tanyanya perlahan.

Aku menggeleng cepat. “Ih, bukan! Bukan masalah saya ditegurnya.” Aku berhenti sebentar, mencoba mencari kata-kata. “Tapi tentang Om yang masih ingat sama Ayyara—”

“Tunggu.” Dia memotong dengan suara rendah, tapi tajam. “Jadi kamu sedang cemburu?”

Aku langsung tersedak. “HAH?! Ya enggaklah, Om!” Aku memekik, telingaku mendadak panas. “Apa sih? Ngawur banget deh!”

Dia mengangkat bahu kecil, seolah itu bukan hal besar. “Lalu kenapa kamu—”

“Bla-bla, gak tahu, gak tahu! Pokoknya Om katanya masih ingat sama Yara dan bahkan tertarik sama dia. Titik.”

Aku menyerah, memilih fokus kembali ke mangkuk bakmi di depanku. Tapi aku tahu wajahku pasti merah padam sekarang. Aku malu luar biasa.

Masa iya aku tadi disangka cemburu? Ngawur banget, kan!

Tiba-tiba, aku mendengar suara kecil, seperti kekehan. Saat aku mendongak, Om Lino menunduk sambil memijat keningnya. Dia ... tertawa?

Aku menyipitkan mata, menatapnya penuh curiga. “Om ketawain saya?!”

Dia mendongak, dan ya, ada senyum samar di wajahnya.

“Kenapa ketawa? Saya gak lagi ngelucu, ya, Om!” seruku, sudah kepalang malu.

Dia hanya menatapku, lalu menjawab dengan nada yang lebih lembut dari biasanya. “Oh, ya?”

“Iya! Saya serius, tau! Gak ada yang lucu!”

Dia mengangkat bahu lagi, senyumnya semakin lebar. “Entahlah ... mungkin karena kepribadian unik kamu terlihat menggemaskan di mata saya.”

Aku membeku. Otakku berhenti bekerja selama beberapa detik. WHAT THE—

ARE YOU KIDDING ME, MARLINO?!

Kebiasaan banget, sih, bikin orang baper seenaknya!

Dia menghela napas pelan, kemudian kembali ke mode seriusnya. “Jangan tercengang seperti itu. Habiskan makan kamu, Jihan. Setelah mengantar kamu pulang, saya ada urusan lain.”

“A-apa, sih?!” Aku buru-buru menunduk, menyumpit makananku dengan asal. Ya, pura-pura sibuk aja lah.

Tiba-tiba terdengar bunyi cekrek!

Aku menoleh cepat. “Eh? Om ngapain?”

Om Lino mengangkat ponselnya, memperlihatkan layar. “Tadi saya bertemu Hans. Dia bilang, kenapa saya tidak pernah memposting foto kamu seperti pasangan-pasangan pada umumnya.”

Aku mengerutkan dahi. “Terus?”

“Jadi, boleh saya memposting foto kamu agar dia tidak banyak tanya lagi?” tanyanya dengan nada serius yang gak bisa kubedakan apakah dia sedang bercanda atau benar-benar tulus.

Aku terdiam. Kalau Om Lino gini terus, aku bisa kena serangan jantung sebelum waktunya.

Duh, apa aku cari cowok aja, ya? Biar selamat dari serangan om-om ngeselin kayak dia ini.

1
Rian Moontero
lanjooott thoorr💪💪🤩🤸🤸
Sakura Jpss
seruuu! Lucu, gemess, baperrr🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!