“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
T ~ Bab 13
Kacuk mu tu, macam pisang Ulin, kecil, pendek, bantat.
......................
Selepas kepergian pak RT, kedua pemuda tadi masih di sana, mengawasi dan memastikan keadaan aman terkendali.
Dhien, Amala, dan juga Meutia, mulai berdiri, berjalan keluar rumah melalui pintu depan, lalu melangkah menuju bangunan belakang.
“Mengapa tak sekalian si Samson kau sangkutkan ke atap rumah saja, Tia?” tanya Dhien seraya menatap sebagian bodi motor warna kemerahan yang masih tertimpa seng.
Meutia mengedikkan bahunya, bibirnya mencebik. “Berakhir Tia juga ikut nyangkut gitu ‘kan, maksud Kakak?”
“Tumben pintar kau!”
“Dhien! Kita perlu bicara, Ikut aku!” Fikar menarik tangan Dhien, tetapi langsung ditepis kasar.
“Ingat status, Fikar! Kita sudah mantan, haram bagimu menyentuhku!” Dhien menatap nyalang manik hitam mantannya.
“Tia!” Mala menggeleng pertanda tidak setuju, menarik temannya agar sedikit menjauh. “Biarkan saja! Dhien pasti bisa mengatasinya, kita cukup mengawasi saja!”
Meutia membungkuk, mengambil batu sedikit besar untuk jaga-jaga.
“Jangan sok suci! Padahal aslinya murahan! Lagipula talak dariku masih dua kali, berarti belum SAH!” Fikar mencemooh.
Dhien menatap sekeliling, dimana ada sahabat nya dan dua pemuda yang sedang memantau, Suci dan Ramlah berdiri di pintu dapur.
“Aku rasa ada yang konslet dengan otak mu, Fikar! Daya ingatan mu betul-betul payah! Jelas-jelas kau semalam berulang kali menjatuhkan talak, atau … jangan-jangan dirimu ketagihan ya dengan punyaku?”
“Mimpi kau! Lobang longgar macam tu, mana bisa memuaskan ku!” sanggah Fikar.
“Lalu apa kabar Kacuk mu yang hanya sebesar Burung Emprit, menggigit saja tak, cuma geli-geli saja! Bodoh betul para korbanmu di luaran sana, atau mereka memang tak bisa membedakan mana Pisang Tanduk dengan Pisang Ulin!”
Kumis Fikar naik turun, matanya terbelalak dengan hidung kembang kempis. “Kau menyamakan Kalajengking ku dengan pisang Ulin?”
“Ha ha ha … Kuntul pendek, bantat macam tu kau namai kalajengking? Percaya diri sekali kau, Fikar! Jangankan mengentup, bergerak saja nya kesusahan, dikarenakan terlalu cebol!” Dhien tersenyum sinis seraya menatap area sensitif si Fikar.
“Kurang ajar! Sudah sepantasnya memang aku menceraikan wanita pembawa sial macam kau ni! KU CERAIKAN! KU CERAIKAN KAU DHIEN!” Tangannya sudah terangkat tinggi, siap menyakiti.
"Bang Fikar! Tadi, kau sudah berjanji untuk tidak menggunakan kekerasan, jadi tolong jangan memancing keributan!” Peringat salah satu pemuda.
Fikar langsung menurunkan tangannya, dirinya sangat berang di hina habis-habisan. “Pergi kau dari sini! Muak kali ku tengok wajah mu tu!”
Dhien tersenyum remeh. “Siapa juga yang mau berlama-lama dengan orang macam kau! Sudah jelek, minim akhlaq, kebanyakan gaya, punya Burung pun, pendek pula. Sama sekali tak ada istimewanya kau, Fikar!”
Dhien melengos, melangkah lebar, lalu kakinya yang terbalut sandal bertali, menendang pintu kayu yang engselnya sudah berkarat.
BRAK.
Seketika daun pintu roboh, Dhien menginjak pintu papa itu, masuk kedalam rumah demi mengambil plastik berisi barangnya.
Semua yang ada di sana terbelalak, menahan napas, kecuali Meutia dan Amala.
“Tak dapat kubayangkan, kalau punya binik macamnya, salah sedikit nyawa taruhannya!” Pemuda tadi bergidik ngeri.
“Sebelum roh terpisah dengan raga, Peli kita pun pasti dipotong paksa, kalau sampai berani mendua!” balas pemuda lainnya.
“Makanya, punya mata tu dijaga! Jangan gatal menatap wanita yang bukan pasangannya! Mending kalau kalian kaya, ini udah kere, bertingkah pula!” Meutia ikutan mencibir, yang langsung membuat kedua pemuda tadi terdiam.
“Sudah semua? Tak ada yang ketinggalan ‘kan?” Mala bertanya pada Dhien.
“Tak. Ayo pulang!”
“Samson macam mana nasibnya, Kak?”
Dhien menghela napas panjang, lalu mendekati motor Meutia yang masih tertutup atap seng.
Dengan dibantu oleh Amala, Meutia dan kedua pemuda tadi, akhirnya Samson terbebas dari seng dan kayu.
“Terima kasih ya, Bang. Ingat pesan ku tadi! Kalau mau pusaka kalian aman, ya jangan berulah!” seru Meutia, kemudian mengengkol motornya.
Dhien duduk di gerobak bagian tengah, Amala pada jok belakang, mereka pulang tanpa berpamitan dengan penghuni rumah.
.
.
Selepas kepergian Dhien dan kedua pemuda desa.
Ramlah histeris. “Mamak kira mendapatkan babu gratis, tak tahunya membeli Kucing dalam karung! Kalau macam ni ceritanya, rugi Bandar kita!”
“Nanti kita minta balik Kambing nya, Mak! Sekarang ayo, cari dimana si gila tu mengubur barang-barang kamar mandi!” Suci bergegas mengambil cangkul yang ada di meja bambu panjang samping rumah.
“Daripada Abang berdiri macam orang bodoh, lebih baik bantu kami menggali tanah!” pinta Suci.
Fikar menggali gundukan tanah yang terlihat masih basah, Ramlah dan Suci mengais-ngais seperti pemulung yang sedang mencari harta karun dalam gunungan sampah.
“DHIEN!” Ramlah menjerit, kala membuka handuk yang berisi pecahan piring, gelas dan mangkuk.
Menggunakan batu gilingan, Dhien menghancurkan barang pecah belah, lalu membungkusnya dengan handuk yang tergantung pada belakang pintu kamar mandi, tidak ketinggalan sikat gigi dia patah jadi dua.
“Lihat ini, Mak!” Fikar baru keluar dari semak-semak, membawa drum air berwarna biru, yang bawahnya habis ditusuk pisau oleh Dhien.
“Tekor, tekor! Betul-betul bukan manusia nya tu! Entah keturunan apa!” Ramlah kembali berteriak.
"Kalau tahu macam ni kejadiannya, menyesal Mamak ... mengeluarkan piring-piring cantik dalam buffet!" niat hati ingin menyiksa Dhien, malah dirinya yang kena apesnya.
Ramlah sengaja mengeluarkan simpanan piring dan lainnya dari lemari penyimpanan, semua itu dia lakukan untuk membuat Dhien kelelahan, tapi lihatlah sekarang!
“DHIEN PAOK! perawatan kecantikan ku habis nya tumpahkan!” Suci histeris, menangisi botol-botol krim yang sudah kosong, padahal baru seminggu yang lalu dibelinya.
Ketiga sosok itu begitu shock, mereka sampai terduduk pada tanah. Kali ini seperti bukan berhadapan dengan manusia, tetapi sosok wanita tarzan.
.
.
“Macam mana perasaan, Kakak?” tanya Meutia sambil mengendarai Samson, mereka sudah melewati kampung Pertanian, kini memasuki jalanan tanah kering berdebu tebal yang diapit perkebunan jeruk manis.
"Perasaan ku, baik-baik saja. Alhamdulillah masih bernapas, sehingga memiliki kesempatan untuk terus melihatmu melakukan hal-hal tak masuk akal!” jawab Dhien, dia duduk seraya memangku plastik hitam.
Meutia mendengus, tetapi dirinya paham kalau kak Dhien tidak ingin berbagi lebih dalam lagi soal hal pribadi.
“Siang-siang macam ni, enaknya mencuri buah jeruk ya, Kak? Atau kita berkunjung saja ke rumah Aki dan Nini! Tak payah nyolong, tinggal minta lalu petik banyak-banyak!” usulnya seenaknya sendiri.
Belum juga ditanggapi oleh Dhien dan Amala, Meutia sudah histeris kala melihat ketiga anak laki-laki yang keluar dari semak-semak jalan setapak menuju sungai.
“Hei Kurcaci! Jangan lari kalian Wee!” Meutia memutar gas tangan, sepeda motornya melaju kencang, sampai badan Mala dan Dhien berguncang-guncang, disebabkan oleh jalanan sedikit bergelombang.
“Jangan gila kau, Meutia! Mala, ayo melompat!” Dhien sudah berdiri, bersiap melompat, tetapi kembali terduduk kala Meutia memutar setang motornya, sampai gerobaknya hendak terbalik.
“Meutia ini tak lucu!” Mala ikutan berteriak, ritme jantungnya sudah menggila, tangannya menarik hijab Meutia, agar wanita yang masih mengebut ini berhenti ugal-ugalan.
“Ya Allah, ya Allah! Kakak remnya blong! Hei lobang! Minggir kalian!”
Akh.
BUGH.
Motor beroda tiga itu pun masuk parit, dikarenakan Meutia menghindari lobang yang cukup dalam.
“Kakak! Kalian di mana? Jangan mati! Nanti kami hendak berguru dengan siapa?”
“Kak Meutia! Kak Dhien! Masih hidup ‘kan …?”
.
.
Bersambung.
semangat Thor..